Oleh: I Gde Sudibya

Sembilan bulan pasca pemerintah menetapkan darurat nasional pandemi Covid-19, belum terdapat tanda-tanda penularan pandemi akan menurun. Para akhli epidemiologi menyebutnya curve pandemi belum mencapai puncaknya.

Diberitakan, dari permodelan yang dilakukan oleh FKM UI yang didukung oleh Bappenas, puncak pandemi diperkirakan akan terjadi di triwulan pertama tahun 2021, kemudian diperkirakan akan terus mengalami penurunan selama tahun 2021, dan di perkirakan  triwulan pertama tahun 2022 curve akan melandai pada titiknya yang terendah.

Dengan menyimak pola dan trend curve pandemi Nasional dan Bali selama ini, Bali tampaknya akan mendekati pola nasional berkaitan dengan pandemi ini. Berangkat dari premis: pemulihan ekonomi berbasis kesehatan, tingkat efektivitas pemulihan ekonomi sangat tergantung kepada tingkat kinerja penanggulangan pandemi, sehingga dari permodelan di atas, pemulihan ekonomi Bali belum bisa optimal di tahun 2021.

Inipun dengan asumsi tidak terjadi gelombang ke dua pandemi seperti yang dialami sejumlah negara Eropa, dengan tingkat penularan lebih tinggi, sehingga dilakukan kebijakan lock down yang menekan upaya pemulihan ekonomi.
Sehingga perekonomian Bali untuk tujuh bulan ke depan: Desember 2020, tiga bulan triwulan pertama dan tiga bulan triwulan ke dua tahun depan 2021, diperkirakan akan tetap mengalami tekanan.

Sedangkan realitasnya berdasarkan catatan statistik, pertumbuhan ekonomi Bali di triwulan ke tiga yang dihitung secara tahunan tumbuh negatif 12,27 per sen, kontraksi ekonomi tertinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya.
Realitas fisiknya: Ubud, Sanur,  Kuta  ,  Legian, Seminyak yang merupakan sebagian land mark pariwisata Bali, masih amat sepi pengunjung di malam hari.

Paceklik Pariwisata, Momentum Refleksi Diri

Dengan asumsi penanganan pandemi Covid-19 ke depan lebih cerdas dan transparan, seluruh kebijakan pemulihan ekonomi berjalan sesuai program,  masyarakat lebih disipilin menjalanlan prokes, dan kalangan industri pariwisata di tengah keterbatasan menyiapkan diri untuk menyongong era baru pariwisata, di tingkat perkiraan optimis, tujuh bulan ke depan, sampai triwulan ke dua tahun 2020 ekonomi Bali masih dalam tekanan, masa paceklik pariwisata tetap berlangsung.

Dalam masyarakat dengan tradisi sastra yang kental, sebut saja Rwa Bhineda: kedualistikan kehidupan ( positif – negatif , suka – duka, kaya – miskin, pesimis – optimis, sengsara – bahagia ), semestinya sanggup dan atau mengembangkan kesanggupan untuk mengasah Viveka ( kecerdasan melakukan pemilahan ), terhadap hukum ” besi ” Rwa Bhineda, sehingga bisa tampil cerdas, trengginas dalam merespons krisis ekonomi yang dibawakan pandemi Covid-19.

Ketrampilan merespons krisis ekonomi yang dimulai dengan refleksi diri, ketrampilan membumikan laku Tapa Brata, pengendalian diri dan refleksi diri ketat, sehingga diharapkan mampu melihat persoalan dengan lebih jernih, sehingga lahir keputusan dengan ketenangan pikiran dan kejernihan hati.

Tapa, Brata yang mampu melahirkan kekuatan penapisan diri terhadap aspek negatif kehidupan: pesimisme, keraguan melangkah dan merasa menjadi korban ( victimism ) keadaan.

Refleksi diri yang diharapkan mampu melahirkan pemikiran jernih dengan visi ke depan, menyebut salah satu diantaranya di antaranya: ketergantungan ekonomi Bali kepada industri pariwisata harus secara bertahap dikurangi.

Merujuk ke kearifan para akhli manajemen keuangan: ” jangan menaruh telur pada satu keranjang yang sama “. Sehingga pengembangan sektor ekonomi di luar pariwisata: industri kreatif, sektor manufactur berbasis inovasi, sektor pertanian yang dimodernidasi sesuai tuntutan zaman algorithma komputer, menjadi tuntutan dan panggilan zaman.
Merujuk ke pemikiran akhli filsafat: sejarah telah “mengetuk”pintu kita, tantangan bagi generasi baru Bali kini  untuk menjawab tantangan peradaban ini.

Tentang Penulis

I Gde Sudibya, ekonom dan pengamat ekonomi.