Denpasar, (Metrobali.com)-

Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Bali. Moeldoko mengatakan pemerintah memastikan konflik agraria di Pulau Bali akan selesai bulan ini.
Kabupaten Buleleng, Bali menjadi tempat pertama dari 137 lokasi dari kasus konflik agraria prioritas 2021 yang dikunjungi Moeldoko hari ini. Moeldoko mengatakan konflik agraris di Bali ini harus tuntas pada Maret ini.

“Dari kronologi yang saya terima, kasus Sumberklampok ini sudah berlangsung sejak 1991. Maka sebagai lokasi pertama yang saya kunjungi, kasus ini harus segera dituntaskan,” ungkap Moeldoko, saat memimpin rapat koordinasi Percepatan Penyelesaian Konflik lokasi prioritas agraria di Provinsi Bali, di Wiswa Sabha Kantor Gubernur Provinsi Bali, Kamis (18/3/2021).

Moeldoko menjelaskan ada dua kasus konflik agraria yang menjadi perhatian Pemerintah pusat di Buleleng. Pertama, konflik terkait Hak Guna Usaha (HGU) yang sudah habis masa berlakunya, yang ditangani oleh Kementerian ATR/BPN melibatkan luas lahan sebesar 640-an hektare dengan jumlah kepala keluarga (KK) terdampak sebanyak 915 KK.

Dari kasus ini, Moeldoko melihat telah ada kesepakatan bersama antara Pemprov Bali, Kanwil BPN dan masyarakat terkait skema penyelesaian dan sudah ada persetujuan pelepasan aset dari DPRD pada 17 November 2020, yang mengacu pada Perpres 86 Tahun 2018, dengan kesepakan skema pembagian 70% dan 30%..

“Diluar tanah pemukiman, fasum dan fasos, yakni pembagian tanah garapan seluas 70% untuk warga desa (359,8 ha) dan seluas 30% untuk Pemerintah Provinsi Bali (154,2 Ha), yang akan direncanakan untuk pembangunan Bandara Bali Utara. Secara keseluruhan, sudah siap untuk diredistribusikan,” tutur Moeldoko.

Sementara itu, untuk kasus kedua adalah permohonan pelepasan kawasan hutan yang ditangani oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Moeldoko mengatakan kasus ini perlu penanganan khusus oleh KLHK.

Pada kunjungan ini, Moeldoko didampingi Deputi II KSP Albeftnego Tarigan. Albertnego menegaskan penyelesaian konflik agraria dengan turun secara langsung ke lapangan merupakan tindak lanjut Rapat Tingkat Menteri pada 8 Maret 2021.

Moeldoko yang saat itu memimpin rapat, membahas akselerasi kerja Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Agraria 2021 sebagaimana SK Kepala Staf Kepresidenan Nomor 1B/T Tahun 2021 serta percepatan upaya penyelesaian di lapangan terhadap 137 Konflik Agraria yang diprioritaskan pada 2021.

Sekretaris Daerah Provinsi Bali, Dewa Made Indra mengatakan untuk merespons pernyataan KSP Moeldoko, pihaknya telah membentuk ‘Tim 9’ yang berkomunikasi langsung dengan Gubernur dan Wakil Gubernur. Tim ini juga melibatkan tokoh masyarakat dan Kepala Desa. Dewa Indra menyebut hasilnya, sudah ada kesepakatan mengenai pembagian tanah.

“Kesepakatan ini sudah diberikan kepada DPRD, sudah diberikan persetujuan, dan dibentuk kesepakatan tertulis di atas meterai. Proses administrasi sedang berjalan sesuai dengan proses-proses yang dimintakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN),” ujar Dewa Indra.

Sementara itu, Kepala Wilayah BPN Bali Rudi Rubijaya mengatakan, dari 70% tanah menjadi hak masyarakat, dibutuhkan kesepakatan internal mengenai alokasi tanah berdasarkan dari tujuh Jenis Tipologi KK beserta luas yang dimintakan. Sedangkan untuk pembangunan bandara, Pemprov Bali akan memaksimalkan 30% lahan yang dimilikinya.

“Kekurangannya, sudah dibicarakan oleh Tim 9, bahwa akan dibentuk skenario: jika membutuhkan lahan masyarakat, akan diberikan ganti rugi dan renovasi rumah yang menjadi tanggungan pemerintah provinsi bali, masyarakat juga akan diberikan kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan perekonomian,” jelas Rudi.

Perwakilan CSO dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika mengingatkan tentang 10 (sepuluh) wilayah kasus Bali yang diusulkan KPA, yang 3 (tiga) diantaranya menjadi prioritas, yakni konflik HGU di Sumberklampok dan Sendangpasir, serta Transmigran eks Tim-tim. Sekaligus, mendorong pelibatan KPA dan Serikat Tani dalam pemastian peruntukan 70% tanah yang menjadi hak masyarakat, yang akan diredistribusi dan dilegalisasi. Menurut Dewi, pemberian SK Redistribusi dan SK Legalisasi bisa mencontoh apa yang telah dilakukan di Desa Mangkit, Sulawesi Utara.

Sementara mengenai pelepasan kawasan hutan, perwakilan KLHK dalam pertemuan itu memaparkan bahwa berdasarkan kalkulasi, luas kawasan hutan pada wilayah administrasi Bali adalah sekitar 22%. Dari jumlah tersebut, penetapan kawasan hutan untuk seluruhnya dan penetapan batas sudah dilakukan. (Nk)