Catatan Agus Dei, Penulis merupakan seorang akademisi/mantan wartawan

Denpasar (Metrobali.com)-

Selama 100 tahun terakhir, perubahan budaya itu memang sangat cepat dan orang menyebut sebagai satu kemajuan. Saking majunya, kita sampai pada satu titik, kita linglung, bingung mau ke mana. Kita seperti tercerabut dari akar, sedangkan yang di depan terlalu jauh untuk diraih. Begitu pun Desa-desa adat di Indonesia yang makin tertantang zaman. Deras dan cepatnya perubahan zaman menggeser nilai-nilai tradisi dan adat masyarakat.

Arus budaya modern membuat masyarakat kehilangan orientasi budaya, sehingga pada tahun 2016, ada program pemerintah yakni Revitalisasi Desa Adat. Masyarakat dalam komunitas budaya itu perlu hidup, berkembang, serta menghidupi nilai budaya dan tradisinya masing-masing.

Nilai-nilai khas tersebut merupakan pegangan hidup dan prinsip aktivitas sehari-hari bagi anggotanya. Nilai itu diyakini dengan teguh kebenaran dan kesakralannya serta diwariskan secara turun-temurun sehingga menjadi kekayaan bangsa yang wajib dilestarikan dan dilindungi.

Bali memiliki khazanah budaya yang melimpah, baik berupa tangible cultural heritage (warisan budaya benda) maupun intangible cultural heritage (warisan budaya tak benda). Khazanah budaya ini bersumber dari desa adat, nilai, tradisi, adat istiadat, dan kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Apabila kekayaan budaya ini dikelola dengan baik, dapat menjadi kekuatan penggerak dan modal dasar pembangunan berkelanjutan di Bali.

Dalam perbincangan dengan penulis tentang keberadaan Desa Adat di Bali, Gubernur Bali 2018-2023, Dr. Ir. I Wayan Koster, MM menegaskan, sesungguhnya desa adat merupakan warisan adiluhung Ida Bhatara, Leluhur, dan Lelangit Bali, yang sejak ribuan tahun telah menjadi benteng pertahanan peradaban Bali.

Adat istiadat Bali menyatukan Krama dalam tata-titi hukum adat yang mengatur hubungan pemerintahan, kemasyarakatan, dan kebudayaan yang terlembagakan dalam desa adat, meliputi Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan.

Pak Koster menyadari dan meyakini sepenuhnya keluhuran dan kemuliaan Desa Adat di Bali, sehingga cita-cita memuliakan warisan adiluhung menjadi hulu dari kebijakan pembangunan Bali secara fundamental dan komprehensif.

Kata pak Koster, sejak lama desa adat tidak mendapat pengakuan, pelindungan, perhatian, dan keberpihakan yang memadai dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Keberpihakan yang tidak memadai itu, tercermin dari: lemahnya regulasi, tidak ada perangkat daerah yang khusus menangani urusan desa adat, tidak ada Kantor Majelis Desa Adat yang representatif, dan minimnya dukungan anggaran dibandingkan dengan kemuliaan serta posisi sangat vital dan strategis Desa Adat di Bali.

Karena itu, setelah dilantik pada tanggal 5 September 2018, Pak Koster langsung mengambil langkah-langkah cepat untuk memperkuat kedudukan, kewenangan, dan fungsi desa adat dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman, guncangan, dan intervensi serta persaingan global.

Langkah awalnya dia langsung membentuk Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali untuk memperkuat kedudukan, kewenangan, dan fungsi desa adat diikuti dengan membentuk Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali yang khusus menangani urusan Desa Adat. Selanjutnya, membangun Gedung Kantor Majelis Desa Adat Provinsi Bali dan Kota/Kabupaten se-Bali mulai tahun 2019 hingga tahun 2022 dengan dana Bantuan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.

Menyediakan pegawai dan sarana-prasarana untuk mendukung kegiatan pembinaan desa adat, dan yang paling terpenting adalah meningkatkan alokasi anggaran untuk 1.493 desa adat sebesar Rp 447,9 Milyar, yang ditransfer langsung ke rekening masing-masing desa adat sebesar Rp 300 Juta per tahun sejak 2020.

Keberanian yang dilakukan pak Koster ini, adalah untuk pertama dalam sejarah Pemerintahan Daerah di Bali dan satu-satunya di Indonesia.

Menurut Pak Koster, kebijakan pemuliaan Desa Adat di Bali merupakan Tonggak Peradaban BALI ERA BARU. Desa adat dalam BALI ERA BARU niscaya semakin maju dengan tetap mempertahankan jati diri, menjaga eksistensi secara berkelanjutan, dari generasi ke generasi sepanjang zaman, dalam menghadapi dinamika modernisasi global.

Kebijakan pemuliaan desa adat memastikannya semakin berdaya dalam

meningkatkan etik dan etos, serta swagina Krama Bali dalam membentuk

kebudayaan yang khas, lentur, dan berdayaguna untuk membangun kesejahteraan bersama dengan guyub, semangat gotong royong, gilik-saguluk parasparo, salulung sabayantaka, sarpana ya, sesuai linggih, sesana, swadharma, dan swadikara.

Jika kita mengingatkan kembali bagaimana dulu orang bisa membangun peradaban. Hal itu bukan berarti kita ingin kembali ke kehidupan masa lalu. Tentunya kita ingin modern, tapi dengan cara kita sendiri, dari tradisi sejarah kita sendiri, tidak meniru gaya Eropa, Tiongkok, ataupun gaya Arab. Untuk memanggil kembali ingatan masa lalu, kita butuh revitalisasi desa adat. Revitalisasi itu berfokus pada kesadaran, bukan semata menghidupkan secara fisik, seperti membangun rumah adat yang bisa rusak lima tahun kemudian.

Hal ini menjadi jelas, keberpihakan terhadap Desa Adat di Bali sebagai warisan adiluhung terus dilestarikan dan dijaga keberlangsungannya secara nyata, dan telah ditunjukan oleh anak Desa Sembiran, Buleleng itu, ketika menjabat gubernur lima tahun lalu dengan berbagai kerja nyata, terukur serta terprogram dalam Visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali.

Bali dengan jumlah penduduk sekitar 4,3 juta jiwa di atas luas 5.636,66 Km persegi. Hingga saat ini memiliki 1500 desa adat di sembilan kabupaten/kota, 57 kecamatan, 636 desa dan 80 kelurahan. Menurut Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat (DPMAD) Provinsi Bali, IGAK Kartika Jaya Seputra, sebelumnya memang hanya sejumlah 1.493 desa adat.

Namun sekarang bertambah lagi tujuh, sehingga totalnya menjadi 1.500 desa adat di Bali. Ketujuh desa adat yang baru ini bukan dari pemekaran. Namun desa adat yang tercecer. Dari tujuh desa adat itu, terletak di Kecamatan Nusa Penida Klungkung sebanyak tiga desa adat, kemudian dua di Bangli, dan dua di Badung.

“Jadi saat pembahasan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali, tujuh desa adat itu sedang berproses, sehingga tidak dimasukkan. Namun, ketujuh desa adat tersebut, sudah ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur pada Agustus 2023 lalu,” cerita Kadis PMAD belum lama ini.

Prof. Dr. Wayan P Windia, Guru Besar Hukum adat Universitas Udayana menegaskan desa adat merupakan kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak-hak tradisional, harta kekayaan sendiri, tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun dalam ikatan tempat suci yakni kahyangan tiga atau kahyangan desa.

Selain itu terdapat juga misi yang ingin diwujudkan, yakni memperkuat kedudukan tugas dan fungsi desa adat dalam menyelenggarakan kehidupan krama Bali yang meliputi parahyangan, pawongan dan palemahan.

“Penguatan desa adat juga dilakukan pada penguatan pemerintahan/ kelembagaan desa adat, pengembangan perekonomian desa adat, pemberdayaan krama desa adat, pemajuan hukum adat, memantapkan sistem pengamanan wewidangan desa adat serta mampu membangun kerjasama desa adat, sehingga mampu mewujudkan penguatan desa adat untuk mewujudkan kasukretan desa adat yang meliputi ketenteraman, kesejahteraan, kebahagiaan dan kedamaian sekala-niskala,” tambah Prof Windia.

Bali sudah ada 1500 desa adat yang berdiri kokoh dan menjaga tradisi serta warisan budaya sebagai roh kehidupan masyarakatnya. Perda Nomor 4 tahun 2019 telah menetapkan urusan desa adat menjadi wajib. Artinya, ke depan, Pemda Bali harus tetap hadir dalam upaya-upaya pembangunan di bidang kebudayaan secara makro.

Melalui fasilitasi ini, diharapkan komunitas budaya dan desa adat selalu terjaga keberadaannya. Keberadaan masyarakat adat dan komunitas budaya menjadi media strategis bagi upaya interaksi masyarakat pendukungnya, sosialisasi dan pendidikan nilai-nilai desa adat dan budaya kepada masyarakat luas.

Warisan adiluhung harus dijaga sehingga proses pewarisannya berlangsung mulus dari satu generasi ke generasi berikutnya. Anak-anak Bali masa kini, menjadi garda terdepan dalam menyerap warisasn adiluhung sekaligus belajar mempraktikkannya. Kalau bukan kalian, siapa lagi! Semoga!