Foto: Wakil Ketua Bidang Hukum dan Organisasi PHDI Provinsi Bali, Wayan Pasek Sukayasa.

Denpasar (Metrobali.com)-

Pengurus PHDI (Parisadha Hindu Dharma Indonesia) Bali buka suara terkait pernyataan Anggota DPD RI asal Bali Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa (Arya Wedakarna) yang mengkritisi sulinggih Bali dalam sebuah video yang juga viral di media sosial dan menuai reaksi keras dari para tokoh-tokoh Hindu Bali.

Wakil Ketua Bidang Hukum dan Organisasi PHDI Provinsi Bali, Wayan Pasek Sukayasa menegaskan sebagai majelis umat, PHDI Bali sangat kecewa dengan pernyataan Wedakarna dalam video yang viral tersebut.

“Dari unggahan video yang viral ini apa yang sampaikan oleh Wedakarna membuat onar, gaduh dan meresahkan umat kita,” kata Sukayasa saat dihubungi Sabtu (11/1/2020).

PHDI Bali juga menyayangkan pernyataan Wedakarna ini disampaikan dan menjadi viral saat kondisi di tempat lain di luar Bali umat sedang mengalami berat tertimpa bencana alam banjir. Semestinya Wedakarna sebagai senator harus berbuat lebih banyak di pusat untuk kontribusi di daerah guna meringankan beban moral dan sosial masyarakat.

“Bukan  malah ngomongnya memojokkan para pelayan umat yang bukan merupakan profesi. Sekarang menjadi gaduh dengan syarat-syarat yang disampaikan Wedakarna sebagai senator,” ujar Sukayasa lantas menambahkan PHDI Bali tetap sebagai pengayom umat, serta merekomendasikan pinandita, pemangku, serta sulinggih sebagai pelayan umat di NKRI.

PHDI Bali juga menilai sebagai senator Wedakarna tidak tepat memposisikan dirinya dengan mencerca pinandita, pemangku, atau sulinggih. Mereka ini  bagian dari  budaya yang dilindungi oleh UUD Tahun 1945 Bab XA Pasal 28 A sampai Pasal 28 J yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Sesuai Pasal 28 I  Ayat (2) Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak memdapat perlindungan terhadap perlakuan yg bersifat diskriminatif itu.

Dalam Pasal 28 I Ayat (3) juga disebutkan Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Selanjutnya dalam Pasal 28 J Ayat (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Lantas apa  selanjutnya sikap dan langkah PHDI atas polemik dan kegaduhan yang timbul atas nama pernyataan Wedakarna tentang sulinggih ini? Ditanya demikian Sukayasa menegaskan pengurus PHDI Bali bila seizin Ketua PHDI Bali Prof. Dr. Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si.,akan berkoordinasi dan berdiskusi dengan Majelis Desa Adat (MDA) Bali.

Sebab MDA yang punya wenang dalam hal umat dan upacaranya sesuai tiga kerangka dasar Agama Hindu yakni Tatwa, susila dan Upacara,. Sedangkan PHDI menyangkut perlindungan agamanya dalam hal ini tatwa dan susilanya.

PHDI Bali juga meminta Wedakarna menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada para sulinggih dan masyarakat Bali. “Permintaan maaf secara terbuka harus dilakukan oleh Wedakarna dan selanjutnya sebagai pejabat negara harus menghargai hak asasi setiap manusia di negara ini,” tutup Sukayasa.

Ini Kritikan Wedakarna untuk Sulinggih Bali

Sebelumnya dalam sebuah video yang beredar di media sosial dan juga grup WA, Wedakarna mengkritisi penyebutan “Surya” pada golongan kasta brahmana. Ia juga berbicara lantang mengkritisi persaingan antar sulinggih di Bali yang dinilainya tidak sehat.

Dalam video ini terlihat Wedakarna didampingi sulinggih dan sejumlah tokoh tampak sedang berbicara dalam sebuah forum. Di awal video ini Wedakarna menyatakan membela para sulinggih atau pendeta Hindu di Bali yang berasal dari semua golongan atau soroh.

“Tyang (saya) bela sulinggih Bujangga, Sri Empu, Bhagawan, Ida Dukuh, jujur saja saya selalu bicara keras soal ini,” katanya dengan mantap.

Selanjutnya Wedakarna lantas menyampaikan kritik dan ketidaksetujuannya atas penyebutan atau panggilan “Surya” yang digunakan secara sembarangan oleh orang-orang dari kasta brahmana yang belum menjadi sulinggih.

Ia meminta penyebutan atau panggilan “Surya”  ini tidak digunakan secara serampangan dan sembarangan melainkan hanya boleh digunakan oleh orang yang sudah resmi menjadi Sulinggih.

“Jangan sembrangan ngaku-ngaku “Surya”, Surya itu sebutan sulinggih untuk semua soroh, tidak hanya untuk satu soroh saja, ini semeton yang salah. Ketika bertemu (kasta) brahmana tapi masih walaka ngakunya Surya, ini semeton yang salah,” papar Wedakarna.

“Yang sudah ‘abhiseka’ dan sudah malinggih yang nggak masalah kalau dipanggi Ratu dan Surya karena sudah melewati proses. Tapi kalau masih ‘walaka’ (orang biasa) jangan dipanggil “Surya”, itu yang ingin saya tegakkan,”tegas Wedakarnaa.

juga berbicara lantang menyoroti  persaingan tidak sehat antar sulinggih yang terjadi di Bali. Ia menyontohkan ada sulinggih yang tidak mau muput (memimpin) upacara di tempat atau kelompok masyarakat tertentu.

“Ada sulinggih yang tidak mau muput karena merasa lebih tinggi (kastanya), nggak boleh begitu. Di sebuah kabupaten ada upacara “tawur” yang diulang, padahal bupatinya sudah buat ritual tawur dengan melibatkan sulinggih Sarwa Sadaka, semua sudah dilibatkan tapi upacara tawurnya diulang lagi oleh kelompok tertentu. Ini pendidikan yang nggak baik bagi anak muda, kita semua harus introspeksi diri, jangan saling menjatuhkan,” papar Wedakarna. (dan)