Mereka Tidak Mau Abraham Samad Muncul
Langit berangsur gelap, satu per satu penerangan di rumah penduduk yang dilewati rombongan wartawan dan rekan dari The Nature Conservancy (TNC) Indonesia dan Yayasan Penyu Berau (YPB) mulai menyala.
Iring-iringan mobil yang ditumpangi belum juga berhenti setelah dipacu dengan kecepatan tinggi selama lebih dari lima jam dari Tanjung Redeb, ibu kota Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
Saat jajaran pohon-pohon kelapa dengan tinggi tidak kurang dari delapan meter mulai “mengawal” di sisi jalan, laju mobil pun mulai dikurangi. Debur ombak tidak terdengar di tengah kegelapan, aroma khas pesisir pun belum tercium, sebaliknya aroma kotoran sapi samar terdeteksi indera penciuman begitu kaca mobil diturunkan.
Sapi yang menjadi hewan peliharaan warga di tempat itu memang tampak banyak berkeliaran, tidak heran jika kotorannya pun di mana-mana, mengotori jalan dan menyuburkan rumput jepang yang terhampar bak permadani di beberapa tempat di sana.
Menurut Erfan dari Yayasan Penyu Berau, kotoran sapi yang berserakan di tempat itu sebenarnya sudah jauh berkurang setelah ada kelompok warga yang mulai mengumpulkannya untuk keperluan biogas. Meski demikian, “ranjau-ranjau” itu masih cukup mudah ditemukan di mana-mana.
Rombongan semakin mendekati tempat tujuan, Kampung Teluk Sulaiman di pesisir selatan Kabupaten Berau, kampung berpenduduk 1.269 jiwa hasil pemekaran dari Desa Biduk-biduk di 2002. Rumah penduduk tampak semakin rapat, sama rapatnya dengan jajaran pohon-pohon kelapa jangkung yang sudah dilewati sebelumnya.
Perjalanan malam itu pun berakhir di depan rumah sederhana berdinding tembok yang membelakangi laut milik Sekretaris Kampung Teluk Sulaiman Risno Kiay.
Akan ada diskusi singkat mengenai program pendampingan yang telah dilakukan rekan dari TNC Indonesia di sana, pendampingan yang sudah dimulai sejak beberapa tahun sebelumnya hingga membantu warga kampung menyiapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kampung (RPJMK).
“Yang sudah selesai duluan (RPJMK-red) Giring-giring, kalau kita masih ada beberapa yang harus diselesaikan. Ini (RPJMK-red) saya angggap kitab suci kampung, penting untuk bisa ajak warga partisipasi dalam perencanaannya,” ujar Risno.
Sedangkan Sekretaris Kampung Giring-giring Ramli yang juga turut hadir dalam pertemuan malam itu mengatakan proses pengkajian masalah di kampungnya sudah selesai dilakukan warga. Dengan adanya pendampingan, kini mereka sudah dapat membuat perencanaan sendiri untuk pembangunan kampungnya.
“Masyarakat yang merencanakan dan masyarakat sendiri yang harus menjalankannya. Memang sudah saatnya masyarakat tentukan pembangunan di kampungnya sendiri,” ujar Ramli.
Kajian-kajian yang sudah mereka lakukan, menurut dia, berpatokan pada beberapa hal seperti peta desa, kalender musim, bagan sejarah, hingga bagan kelembagaan. Melalui kalender musim warga bisa melihat masalah-masalah apa yang biasa muncul dalam satu tahun, sedangkan melalui kajian bagan kelembagaan dapat terlihat “matinya” Karang Taruna di Kampung Giring-giring.
“Dari sana kita cari tahu kenapa Karang Taruna ‘mati’ dan harus mencari solusinya. Dengan mengkaji bagan sejarah, terpetakan apa yang sudah terjadi di kampung, contoh abrasi dalam kurun waktu 12 tahun, itu harus dipecahkan,” kata Ramli.
Takut Abraham Samad Kantuk mulai mendera, percakapan masih mengalir, kini giliran Risno lagi yang berbicara. Kali ini soal sikap warga Kampung Teluk Sulaiman yang menganggap setiap dana yang masuk ke daerahnya sebagai bantuan semata, padahal di masa sekarang ini ada pula dana-dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) khusus untuk desa dan kampung yang harus mereka kelola sendiri.
Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Desa memang pemerintah pusat mengucurkan Alokasi Dana Desa (ADD) atau Alokasi Dana Kampung (ADK) sebesar 10 persen dari transfer APBN ke daerah dikurangi dana alokasi khusus. Asumsi yang dilakukan pemerintahan sebelumnya bahwa dari dana transfer ke daerah sebesar Rp590 triliun sehingga 10 persen yang masuk desa sebesar Rp59 triliun, sehingga diperkirakan satu desa bisa mendapat dana hingga Rp1,4 miliar per tahun.
Selain itu, ada pula alokasi dana desa dari APBD, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Kredit Usaha Rakyat (KUR), bahkan di daerah seperti Daerah Istimewa Yogyakarta ada istilah tanah bengkok dan tanah kas desa untuk menambah pemasukan kas desa. Beberapa dana ini harus bisa dikelola sendiri oleh desa atau kampung, dan ini yang dipermasalahkan Risno.
Hingga saat ini, ia mengatakan perangkat kampung belum mendapat penjelasan atau pelatihan apa pun untuk mengelola dana tersebut. “Kita minta dilatih kalau memang dana itu ada. Karena kami tidak mau Abraham Samad muncul di (Kecamatan) Biduk-biduk,” ujar Risno.
Ucapan Risno mengingatkan Antara kepada ucapan Kepala Desa Garung Watson di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, sebulan sebelumnya. Desanya yang memang pernah mendapat pendampingan pembuatan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) masih mengharapkan pendampingan dilanjutkan, terutama untuk pengelolaan Alokasi Dana Desa yang berasal dari APBN sesuai dengan UU Desa.
Jika Risno mengkhawatirkan kehadiran Abraham Samad di Biduk-biduk, Watson tidak ingin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka kantor di Garung, Pulang Pisau. Ia berharap akan ada sosialisasi hingga pendampingan untuk mengelola dana tersebut dengan benar.
Pendampingan Berau Program Senior Manager TNC Indonesia Saipul Rahman mengatakan dengan adanya UU Desa, potensi awal ADK di Kabupaten Berau bisa mencapai Rp80 miliar. Angka itu belum termasuk dengan 10 persen dari APBD yang diarahkan ke kampung atau desa.
Menurut dia, pendampingan atau pelatihan bagi perangkat desa untuk mengelola ADD atau ADK yang bersumber dari APBN maupun APBD sangat dibutuhkan, mengingat banyak pula perangkat desa atau kampung yang tidak mengenyam pendidikan lanjut. Dana yang harus mereka kelola besar, belum pula termasuk dana dari bidang-bidang lain yang disalurkan ke desa atau kampung.
“Saya sempat terpukul masyarakat Long Duhung yang juga merupakan binaan kami tidak mau mengambil dana tersebut karena tidak mengerti cara membuat Anggaran Pendapatan Belanja Kampung (APBK). Tapi kita selalu dorong agar mereka ambil dana tersebut, karena ini juga kan penting untuk pembangunan kampung di masa depan,” ujar dia.
TNC, lanjutnya, mengupayakan program-program pengembangan masyarakat, termasuk terkait masalah pengelolaan Anggaran Pendapatan Belanja Kampung atau Anggaran Pendapatan Belanja Desa. Bersama dengan Yayasan Komunitas Indonesia (Yakobi) yang berada di bawah Nahdatul Ulama (NU), TNC Indonesia mengembangkan perangkat lunak (software) bernama Sistem Keuangan Kampung (Siskeukam) untuk mendukung pengelolaan dana desa atau kampung dengan format sesuai yang diminta Pemerintah Daerah (Pemda).
“Kita yang mendanai, Yakobi yang mengembangkan softwarenya. Kita mungkin bisa saja melakukannya, tapi kita memang organisasi masyarakat nonprofit atau lembaga swadaya masyarakat lokal dapat pula berkebang, paling tidak program ini bisa memberi referensi bagi mereka,” ujar Saipul.
Sebelumnya, menurut dia, bersama dengan Universitas Kutai Kartanegara dan konsultan dari Surabaya membangun software bersama selain juga mengumpulkan 80 pemuka kampung di Berau untuk memperoleh pelatihan pengelolaan dana kampung. Software yang dikembangkan terus disesuaikan dengan kebutuhan kampung atau desa dan juga Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemerintahan Kampung (BPMPK).
Saipul mengatakan software tersebut sudah sempat coba digunakan di pemerintahan kampung di Merabu, Kalimantan Timur. Hasilnya 95 persen sudah menjawab kebutuhan mereka dalam mengelola dana kampung atau desa, meski ada beberapa masalah yang masih harus dipecahkan.
“Sejauh ini TNC memang baru mencoba mengundang pelatihan di beberapa kecamatan di bagian dalam Kabupaten Berau di 2014. Rencananya memang penggunaan software sekaligus pelatihan juga akan diperluas ke wilayah pesisir Berau juga,” ujar dia.
Dengan gambaran di atas, maka pendampingan bagi perangkat desa atau kampung jelas sangat diperlukan. Alasan pertama karena jika desa atau kampung tidak mampu menyususun sendiri APBDes maka ADD atau ADK tidak dapat langsung diberikan ke rekening desa tetapi kemungkinan akan melalui kabupaten dan kecamatan, sehingga akan memperpanjang birokrasi.
Alasan lain, tentu demi terciptanya pengelolaan dana desa atau kampung yang transparan dan akuntabel, sehingga kekhawatiran perangkat-perangkat kampung atau desa seperti Risno, Ramli, dan Watson tentang hadirnya Ketua KPK Abraham Samad ke kampung dan desa mereka tidak terjadi.
Virna Puspa Setyorini/Antara
activate javascript
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.