Denpasar (Metrobali.com)-

Kasus bunuh diri di kalangan pelajar sempat mencuat kembali dan bahkan menjadi wacana publik yang cukup memprihatinkan. Pada umumnya, kasus bunuh diri terjadi karena faktor ekonomi, dan masalah asmara atau percintaan. Ironisnya, justru kenapa aksi nekat bunuh diri itu kini cenderung terjadi pada kalangan pelajar yang notabene termasuk pribadi berpendidikan atau terpelajar.

Pengamat pendidikan, Dr. Made Suarta mengakui memang prihatin dengan maraknya aksi bunuh diri di kalangan pelajar seperti kasus teranyar, belum lama ini. Yakni: siswi SMPN 1 Amlapura, Ni Luh Ayu Gelvina Aldiana (13), yang ditemukan gantung diri di kamar tidurnya di banjar Kutuh, Jasri Kelod Karangasem. Di duga bunuh diri karena tekanan bathin di tengah kehidupan keluargannya.

Menurutnya, peristiwa tragis seperti itu tak akan sampai terjadi jika semua komponen dalam dunia pendidikan, baik pihak sekolah maupun keluarga (orang tua) mau membuka dialog yang sinergi terkait berbagai permasalahan yang dihadapi anak atu peserta didiknya. Peran orang tua di rumah sangat vital dalam memantau perkembangan perilaku anak. Hampir semua orang tua pasti mencintai anaknya. Tapi, kasih sayang saja belum cukup mampu mengatasi gejolak dari tuntutan psikologis anak.

Diakuinya, kasih sayang itu harus terlihat dalam pelukan, senyuman, bahkan dalam nada bicara orang tuanya di dalam keluarga. “Jika anak salah, jangan sontak memarahi anak dengan kata-kata kasar. Karena dapat berdampak anak menjadi depresi. Tapi, cobalah beri teguran yang sifatnya lebih mendidik, atau petuah-petuah yang tak sampai mengguncang perasaannya (anak),” sarannya.

Lebih jauh, Rektor IKIP PGRI Bali ini menambahkan bahwa perilaku menyimpang dari anak-anak seperti kebrutalan, kecanduan narkoba, pemurung, apatis dan lainnya seringkali tumbuh dalam keluarga yang tidak memberikan kepuasan kasih sayang terhadap anaknya. Dampaknya, anak-anak mudah untuk melakukan tindakan kriminal seperti mencuri, bunuh diri, patah hati, atau kejahatan lainnya untuk membalas sakit hatinya terhadap kehilangan cinta dari orangtua atau siapa saja. Makanya, orang tua harus melakukan antisipasi lebih serius. “Supaya anaknya tidak merasa kehilangan kasih sayang,” ujarnya.

Di samping itu, solusi alternatif yang cukup efektif harus dilakukan adalah memberdayakan psikolog sekolah sebagai guru bimbingan dan konseling siswa terkait psikologisnya saat berada di sekolah maupun keluarganya. “Ini penting untuk membantu siswa dalam mencapai ketenangan jiwa dan rasa aman saat mengenyam pendidikan,” tegasnya.

Dengan kata lain, katanya, jika ada siswa menunjukkan kebiasaan menyimpang seperti sering termenung, dan menyendiri, sering bolos, atau nilai pelajarannya anjlok psikolog sontak dapat melakukan komunikasi dengan siswa bersangkutan. Untuk mengetahui permasalahannya dan membantu mencarikan solusi penyelesaian terbaik. “Sehingga siswa tersebut tidak bertindak kriminal atau sampai nekat bunuh diri,” imbuhnya.

Senada dengan itu, dr. Nyoman Ratep menegaskan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Dalam kondisi ini remaja terutama kalangan pelajar belum sepenuhnya memiliki pertimbangan yang matang dan emosinya cenderung tinggi atau tidak stabil.

Diakuinya, pada usia inilah remaja sangat perlu ada pendampingan. Karena perkembangan psikologisnya cenderung dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, baik di dalam keluarga, maupun dalam sekolah serta di tengah masyarakat. Maka itulah, keinginan bunuh diri tidak muncul secara tiba-tiba begitu saja. Pada umumnya sebelum memutuskan untuk melakukan bunuh diri, keinginan jahat itu didahului oleh munculnya depresi.

Ditambahkannya, upaya mencegah kasus bunuh diri di kalangan remaja, dapat dilakukan melalui pendekatan psikologi komunikasi dua arah. Ini artinya, orang tua harus mampu menjadi pendengar yang baik terhadap berbagai keluhan anaknya. “Sehingga anaknya tidak merasa kehilangan kasih sayang dari orang tuanya,” imbuhnya. Nyoman Wija