Ilustrasi

Denpasar, (Metrobali.com)-

Pasca “penyelundupan” pasal dalam Keputusan MK No.90 yang kontroversial itu, Jokowi tidak menampilkan sikap rasa bersalah, tetap “kekeh” bahwa proses itu, wajar-wajar saja, walaupun terjadi penolakan dashyat terhadap majunya Gibran sebagai cawapres di media sosial dan protes mahasiswa terhadap isu: Mahkamah Keluarga dan Politik Dinasti.

Hal tersebut dikatakan I Gde Sudibya, aktivis demokrasi dan pembelajar budaya politik, Jumat 8 Desember 2023, menanggapi psiko politik Jokowi.

Dikatakan, publik semakin terperangah, di tanggal 29 November 2023, hari kedua kampanye, Prabowo “boro-boro” kampanye, tetapi bertemu Presiden di Istana Bogor, pertemuan ini memberikan signal ke publik, dan publik agaknya menangkap signal tersebut sebagai dukungan Presiden ke Prabowo.

“Publik semakin terperangah, kalau tidak salah di hari yang sama, ada rilis dari Menteri Keuangan yang menyatakan tambahan anggaran Alutsista untuk Kemenham dinaikkan sekitar 5 milyar dolar AS. Dari pernyataan Menkeu, publik bertanya: apakah tambahan anggaran ini telah mendapat persetujuan DPR,” kata I Gde Sudibya, aktivis demokrasi dan pembelajar budaya politik.

Menurutnya, rangkaian peristiwa di atas, yang sebelumnya diawali dengan wacana dan gerakan menunda Pemilu, memperpanjang masa jabatan Presiden dan riak-riak politik yang menyertainya, menggambarkan kepercayaan diri amat besar (over confidence) yang bersangkutan dalam berhadapan dengan PDI Perjuangan sebagai partai pengusungnya, Ibu Megawati Soekarno Putri sebagai “patronnya” dan kekuatan politik lain yang mengitarinya.

Dikatakan, kepercayaan diri amat besar ini, mungkin saja dilatarbelakangi oleh perjalanan politiknya, dari orang yang tidak diperhitungkan secara politik, sebatas pengusaha kayu, kemudian melejit menjadi Wali Kota Solo dua periode, Gubernur DKI Jaya dan dua kali menduduki jabatan Presiden.

“Mungkin saja kondisi ini, membuat ego bawah sadarnya membesar, melipatgandakan KEAKUANNYA, menggerus sikap pribadi, karakter yang dipersepsikan publik sebagai: sederhana, jujur, polos dan lurus,” kata I Gde Sudibya, aktivis demokrasi dan pembelajar budaya politik.

Lebih lanjut dikatakan, ego ini semakin membesar, setelah mampu “menundukkan” lingkaran elite kekuasaan teman dan lawan politiknya dalam koalisi gemuk menguasai parlemen, dalam politik transaksional bagi-bagi jabatan.

Selain itu, ego ini memuncah setelah berhasil melemahkan KPK, nyaris tanpa perlawanan berarti dari gerakan masyarakat sipil. Ego kekuasaan ini semakin membesar, setelah begitu mudah memperoleh “bonus” anaknya dan mantunya menjadi Wali Kota tanpa hambatan berarti.

“Rangkaian peristiwa di atas, mungkin melahirkan ambisi kekuasaan di bawah sadarnya, “tidak ada yang tidak mungkin bagi dirinya, kalau dia mau”. Ambisi bawah sadar ini, terekpresikan dalam prilaku POLITIK DINASTI, yang mendapat perlawanan dari gerakan masyarakat sipil,” katanya.

Dikatakan, dengan memahami psiko politik Jokowi ini, barangkali bisa diprediksikan langkah-langkah politik yang bersangkutan di hari-hari ke depan.

“Fenomena psiko politik Jokowi ini, sebut saja demikian, memberikan pesan moral, kekuasaan begitu menggoda dan bahkan memabukkan, bisa menggradasi karakter manusia lugu, lurus dan “innosense” menjadi berubah hampir 180 derajat,” kata I Gde Sudibya, aktivis demokrasi dan pembelajar budaya politik. (Adi Putra)