Menyelamatkan Demokrasi, dengan Spirit Kepahlawanan
Ilustrasi
Denpasar, (Metrobali.com)-
Demokrasi harus diselamatkan dari Demokrasi prosedural (Demokrasi “seolah-olah”), tampak di permukaan demokratis, tetapi substansinya anti demokrasi.
Hal itu dikatakan I Gde Sudibya. intelektual, pembelajar sejarah kebangsaan, pengamat kecenderungan masa depan, pada Senin 11 Nopember 2024
Dikatakan, saat ini demokrasi di Indonesia “ditunggangi” oleh kepentingan: politik dinasti, kolusi penguasa – pengusaha, gabungan kepentingan bercokol -vested interest- pada pusat-pusat kekuasaan dari pusat ke daerah, yang menggerus demokrasi berkelanjutan, dan dapat mengantarkan demokrasi menuju ke kematiannya.
Kritik bernama satire dari Dr.Sukidi, intelektual pemikir kebhikekaan dengan tema: “Hitler Jawa” di majalah Tempo, yang mengulas konstitusi “ditekuk” untuk meloloskan politik dinasti, untuk tujuan pelanggengan kekuasaan, dengan “menunggangi” kekuatan politik formal, hasil Pemilu. Mirip seperti yang dilakukan Hitler di Jerman di era tahun 1930’an.
Menurutnya, Demkrasi harus diselamatkan dari “liang lahat” kehancuran, menginspirasi keberanian para pejuang kemerdekaan di Soerabaja, 10 November 1945, dan di Margarana 20 November 1946.
Dikatakan, Kalangan generasi muda, meminjam istilah Soekarno: “rawe-rawe lantas, malang-malang putung”, berjuang untuk: menegakkan marwah konstitusi, penegakan hukum -equal before the law- tidak ada orang kebal hukum, menyelamatkan negeri dari korupsi kekuasaan yang nyaris telah menjadi “budaya”, menyelamatkan alam, karena krisis iklim bisa membuat bumi yang kita tempat menjadi “neraka” di dunia.
“Demokrasi yang sehat diperlukan untuk membangun sistem sosial, yang membebaskan massa rakyat dari “cekikan” ketidak-adilan. Sementara, demokrasi yang tidak sehat merupakan bagian dari antidemokrasi yang menjadikan “biang kerok” kemiskinan masyarakat,” kata I Gde Sudibya. intelektual, pembelajar sejarah kebangsaan, pengamat kecenderungan masa depan. (Sutiawan)