Menjadi Media yang Dipercaya
MINGGU LALU, Rabu, 5 Desember 2013, saya menulis artikel dengan judul “Mari Bersikap Kritis Terhadap Berita”di Portal Berita Metrobali.com . Tulisan itu mendapat dua komentar. Satu mengatasnamakan diri chess point, satunya Ketut Belog Polos.
Jujur, saya senang komentar itu karena dari beberapa berita pada beranda media online itu, tulisan itu satu-satunya yang mendapat komentar.
“Kesimpulannya : percayalah pada media massa pemerintah! Saya humas Pemprov Bali. Jadi, percayalah pada saya.” Tulis chess point.
“chess point cuocok, cuocok, cuocok. Dewa Rai Anom dulu wartawan di KMB. Kini jadi Humas Pemprov Bali. Tapi sarannya bagus. Kritislah terhadap berita, termasuk kritis terhadap berita-berita dari humas. Justru, karena berita-berita berasal dari humas, harus dikritisi. Cuocok, cuocok. Dewa Rai maan ilmu baru setelah dadi humas. Ilmu jurnalistik anggut-anggut gen. Ha…ha…” Tulis Ketut Belog Polos berselang sejam setelah chess point berkomentar.
Minggu lalu saya menulis artikel perlunya bersikap kritis terhadap berita disebabkan hampir semua berita media massa sudah mengandung unsur 5W + 1H, namun tidak 3E +1N. Akibatnya berita media massa tidak diterima sebagai berita yang baik sehingga pembaca kecewa, marah, bahkan protes dengan menggunakan Hak Jawab.
Berbeda dengan media massa swasta, media massa pemerintah seperti LKBN Antara, LPP RRI dan LPP TVRI memiliki kriteria plus dalam membuat berita. Kriteria plus itu terdiri dari unsur 3 E + 1 N, yakni : enlightment (mencerahkan), empowerment (memberdayakan), education (mendidik) dan nationality (nasionalisme). Pemenuhan unsur-unsur 3E + 1N ini membuat berita-berita media massa pemerintah lebih dapat dipercaya.
Kesimpulannya, jika ingin membuat berita yang baik dan terpercaya, janganlah hanya memenuhi unsur 5W + 1H. Buatlah berita yang memenuhi unsur 5W + 1H plus 3E + 1N. N terakhir sangat penting karena berkenaan dengan nasionalisme, persatuan dan kesatuan bangsa kita yang luas dan beragam berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Komentar chess point dan Ketut Belog Polos di koment Metrobali.com memberi banyak arti buat saya. Namun, ada dua yang penting. Pertama, berkenaan dengan kepercayaan pada penulis berita. Ini karena kedua komentator tidak mempersoalkan substansi artikel, tetapi pada penulisnya.
Anne Ahira, sahabat saya di dunia maya pernah menulis artikel tentang kepercayaan. Katanya, kepercayaan adalah fondasi dari semua hubungan. Hubungan kerja, bisnis, kepemimpinan dan tentu saja cinta, dibangun atas dasar kepercayaan. Tanpa itu, sebuah hubungan tak akan berjalan. Sebuah organisasi pun akan kacau.
Saya percaya tulisan Anne. Bayangkan jika sebagai humas pemerintah yang berada dalam sebuah lingkungan, hubungan atau organisasi tanpa kepercayaan. Pastilah para stakeholder akan mencurigai. Eksistensi humas pemerintah akan sangat rapuh dan tinggal menunggu waktu untuk hancur.
Untuk mencapai kepercayaan, seseorang harus menginvestasikan banyak waktu untuk membangun kepercayaan itu karena kepercayaan itu sebenarnya dibangun di atas fondasi sederhana, tetapi butuh waktu. Adapun fondasi sederhana itu adalah menjalani kehidupan dengan penuh integritas, menghormati orang lain, konsisten dalam kata dan perbuatan, serta melakukan dan menepati apa yang dikatakan pada orang lain.
Kini berkenaan menjadi Humas Pemerintah yang dipercaya. Ada paling tidak 12 kualifikasi dasar yang harus dipenuhi, yakni: (1) dapatmengekspresikan diri kapan mendengar dan kapan berbicara, (2) menjadi pengamat yang baik, (3) menghargai nilai kemanusiaan, (4) memiliki keberanian dan integritas serta sistematis, (5) disiplin, (6) berkemampuan intelektual yang terus berkembang/dinamis, (7) kaya gagasan baru, (8) efisien dan cepat mengambil keputusan, (9) dapat menulis dengan cepat dan rapih, (10) memiliki kemampuan mengorganisir diri dengan orang lain, (11) bertindak diplomatis, dan (12) tidak senantiasa setuju/mendukung pemegang kekuasaan.
Dengan kualifikasi dasar seperti ini, sangat jelas, aparat humas pemerintah tidak dididik, dilatih dan dibina untuk menguasai “ilmu baru jurnalistik anggut-anggut gen’ seperti ditulis Ketut Belog Polos tetapi lebih daripada itu juga dididik dan dilatih untuk tidak senantiasa setuju/mendukung pemegang kekuasaan, nilai penting kedua yang saya petik dari komentar chess point dan Ketut Belog Polos.
Artinya apa? Artinya adalah, ilmu anggut-anggut gen tidak termasuk fondasi untuk membangun kepercayaan sehingga tidak direkomendasikan bagi mereka yang ingin belajar sungguh-sungguh menjadikan diri dan lingkungannya menjadi yang dipercaya.
Salam The Great Spirit of Bali.
Ditulis oleh : I Dewa Rai Anom
4 Komentar
9) dapat menulis dengan cepat dan rapih, –> tapi sayang kenapa justru tulisan di artikel ini tidak ada estetikanya. Kapan bold, kapan menggunakan bullet . Mungkin harus lebih rapi lagi agar enak dibaca. Jika tidak rapi, bagaimana mungkin unsur 5W1H3E1N akan tersampaikan, karena mau baca saja sudah duluan sakit mata.
Saya membaca artikel Pak dewa Rai Anom berjudul “Mari Kritis Terhadap Berita”. Ketika membaca judul artikel tersebut, saya langsung menyatakan diri sepakat. Karena menurut saya berita adalah sebuah konstruksi atas realitas yang telah lewat. Maka sangat tergantung pada siapa yang melakukan konstruksi dan berbagai nilai-nilai yang melekat pada diri pembuat beritalah yang menentukan seperti apa konstruksi realitas yang dibangunnya dalam berita. Bahkan dalam tingkat yang paling ekstreem, berita kebenaran agama yang dibawa oleh para nabi dan ditulis dalam kitab suci sekalipun menurut hemat saya selalu harus diberi ruang untuk kita bersikap kritis. Tidak ada kebenaran bernilai 100 persen dalam batas pemikiran manusia manapun didunia ini.
Tetapi…saya kemudian menjadi kecewa, karena antara judul dan isi artikel tersebut seperti tidak nyambung. Pasalnya dalam isi artikel justru dengan subyektif Pak Dewa Rai Anom, mengajak orang untuk “lebih” mempercayai berita-berita yang dibuat oleh lembaga berita pemerintah. Semacam LKBN Antara, RRI dan TVRI karena mengandung 3 E dan 1 N. Kritis menurut saya adalah selalu memiliki pandangan skeptis, yang berarti tidak bijak jika kita percaya begitu saja atas sesuatu. Ketika menjadi kritis, tentu saja kita harus menjadikan diri kita tidak lebih percaya yang satu dibandingkan dengan yang lain. Artinya berita darimanapun, masih harus tetap dikritisi. Ia bisa mengandung kebenaran, bisa pula tidak. Dan yang terpenting adalah dalam soal kebenaran sebuah berita, itu adalah sebuah klaim (pengakuan sepihak, mengingat bisa saja pihak lain menganggapnya bukan kebenaran).
Klaim sepihak juga bisa terjadi pada pemaknaan kata enlighment, empowerment, educate (3 E) dan nationality (1N). Akibatnya Unsur yang Pak Dewa Rai sebut sebagai penambah dari 5 W +1 H yakni 3E 1 N tersebut menjadi kurang relevan jika dipergunakan sebagai dasar argumentasi bahwa berita media pemerintah lebih bisa dipercaya. Mencerahkan, memberdayakan dan mendidik adalah kosa kata yang secara epistemologis kurang memiliki kekuatan obyektif. Berbeda halnya dengan kosa kata 5 W (Who, what, where, when dan why) dan How (1H) yang secara epistemologis masih memiliki kekuatan obyektif yang mudah diabstraksikan secara umum. Misalnya soal who (siapa) dalam berita, pada dirinya melekat identitas yang bisa membedakannya dengan siapa yang lain. Artinya ada unsur pembeda yang jelas (diferentia) pada soal who (siapa) yang diberitakan.
Sebaliknya, apa yang disebut mencerahkan, memberdayakan atau mendidik sangatlah subyektif. Yang seperti apa yang disebut mencerahkan? yang seperti apa yang disebut mendidik? Yang seperti apa yang disebut memberdayakan? Yang seperti apa yang disebut nasionalis? Bukankah itu tergantung dari siapa yang menilai? Dan penilaian tentulah subyektif. Karena subyektif itulah maka saya menyebutnya memiliki kecenderungan bersifat klaim sepihak.
Saya kira semua media, baik itu pemerintah, maupun swasta pastilah memiliki idealisme nya masing-masing. Semua akan mengatakan diri melakukan upaya pencerahan, pendidikan, pemberdayaan dan nasionalis. Setidak-tidaknya dari perspektif diri masing-masing. Sama dengan Pak Dewa Rai yang mengatakan bahwa media pemberitaan pemerintah menggunakan prinsip 3E 1N. Itu kan pendapat Pak Dewa Rai. Apakah pendapat Ketut Belog Polos dan Cess Point sama seperti Pak Dewa Rai? Saya kira belum tentu.
Menjadi pertanyaan besar kalau kemudian Pak Dewa Rai mengatakan bahwa media massa diluar milik pemerintahan tidak menerapkan prinsip 3E 1 N. Apa indikatornya sehingga Pak Dewa Rai berani mengatakan bahwa hanya media pemerintah saja yang menerapkan prinsip 3E 1N sementara media massa swasta tidak??
Mari kita berkaca pada sejarah. Jika saja tidak ada media massa swasta, apakah penumbangan rezim-rezim korup menjadi mungkin? Jika otak kita hanya dipenuhi dengan berita-berita milik pemerintah (yang menurut Pak Dewa Rai menerapkan 3E 1N) apakah rakyat bisa tercerahkan dan bangkit melawan pemerintahan yang korup dan otoriter?
Kembali kepada soal berita dan kepercayaan terkait dengan jawaban Pak Dewa Rai tentang tuduhan ilmu anggut-anggut dogen. Ketika Pak Dewa Rai bicara soal kepercayaan, maka saya punya rumusnya yang lain. Saya mendapatkannya dari Pak Anis Baswedan. Rumusnya begini: Trust (kepercayaan) = kedekatan+Integritas+kapabilitas – kepentingan pribadi (self interest). Mari kita uji soal tingkat kepercayaan Ketut Belog Polos dan Cess Point terhadap Pak Dewa Rai Anom yang juga adalah pegawai bagian humas pemerintah. Bagaimanapun, pak Dewa Rai tentu telah memiliki unsur kedekatan, integirtas (karena sudah senior) dan kapabilitas (sudah pengalaman). Tetapi bagaimana dengan soal kepentingan (self interest)? sebagai faktor pengurang, maka dalam hal kepentingan pribadinya? saya kira Pak Dewa Rai akan sangat sulit menghindar dari upaya-upaya melindungi kepentingan pribadi. Pada pegawai negeri sipil melekat justifikasi soal kepentingan pribadi (mempertahankan jabatan, agar tidak digeser atasan) sangat kuat. Itu sudah menjadi common sense.
Ketika sistem birokrasi negeri ini masih belum menunjukkan pembelaan yang kuat terhadap rakyat, maka penyebutan ilmu anggut-anggut dogen agak sulit dihindari disematkan kepada aparat birokrasi. Termasuk juga dalam kerja-kerja birokrasi dibidang penyampaian berita menyangkut pemerintahan.
Karena itulah bagi saya, dalam konteks soal berita, darimanapun asalnya ia harus tetap dikritisi. Tak ada yang lebih layak dipercaya dibandingkan dengan yang lain. Mari bersama dorong masyarakat untuk kritis terhadap berita dari media manapun.
Salam
Winata (wartawan di KMB)
Yth. Pak Penulis: dasar saya membuat kesimpulan bukan semata teks yang Anda tulis namun juga konteks yang sedang terjadi dalam dunia pemberitaan
Teks…..
1.perlunya bersikap kritis terhadap berita
2. hampir semua berita media massa sudah mengandung unsur 5W + 1H, namun tidak 3E +1N. Akibatnya berita media massa tidak diterima sebagai berita yang baik sehingga pembaca kecewa, marah, bahkan protes dengan menggunakan Hak Jawab.
3.media massa pemerintah seperti LKBN Antara, LPP RRI dan LPP TVRI memiliki kriteria plus dalam membuat berita. Kriteria plus itu terdiri dari unsur 3 E + 1 N, yakni : enlightment (mencerahkan), empowerment (memberdayakan), education (mendidik) dan nationality (nasionalisme). Pemenuhan unsur-unsur 3E + 1N ini membuat berita-berita media massa pemerintah lebih dapat dipercaya.
4.jika ingin membuat berita yang baik dan terpercaya, janganlah hanya memenuhi unsur 5W + 1H. Buatlah berita yang memenuhi unsur 5W + 1H plus 3E + 1N. N terakhir sangat penting karena berkenaan dengan nasionalisme, persatuan dan kesatuan bangsa kita yang luas dan beragam berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
1+2+3+4 = percayalah pada media massa pemerintah!
konteks….
Belakangan ini sangat jelas terasa “perang” media pro pemerintah dengan media kontra pemerintah. Humas pemprov Bali nampak kedodoran menghadapi serbuan berita miring terhdap pemprov Bali. Salah satu indikaornya adalah rekasi Humas pemprov Bali berulangkali menyampaikan hak jawab pada bebrapa media non pemerintah. Dalam konteks ini Humas Pemprov Bali nampak kehilangan kepercayaan diri ,dan tulisan Anda dengan jelas berusaha meraih kepercayaan publik terhadap media pemerintah.
nambah dikit:
Apa yang terjadi saat ini menjadi bagian dari kegagalan pemerintah daerah dalam membangun kehidupan pers yang sehat. Pemerintah Daerah Bali dari jaman dulu menjadi pihak yang turut serta menghancurkan kehidupan pers yang sehat. Dengan program-program yang anti pers jujur dan berkualitas seperti “amplop untuk wartawan” , dan “bertita terbayar”, dll.