BEKAL hidup yang paling berharga dan sangat penting serta utama bukanlah harta atau kekayaan berlimpah, melainkan kemampuan dalam mengarungi dunia pendidikan untuk meraih masa depan melalui ilmu pengetahuan dan pengembangan wawasan terhadap peradaban informasi teknologi global. Pendidikan bukanlah dilihat dari apa itu perguruan tinggi negeri ataupun swasta serta program studinya dan berapa banyak uang sakunya, tapi, justru harus dilihat dari seberapa besar tekad serta kemauan secara serius untuk belajar menjadi pribadi cerdas intelekual, dan cakap secara emosional.

Seiring tumbuhnya kesadaran akan pentingnya sebuah pendidikan yang baik, bermutu dan berkualitas banyak kalangan masyarakat rela merogoh kocek dalam-dalam, hanya agar putra atau putrinya mampu menjadi pribadi yang terdidik, serta memiliki wawasan dan pengetahuan luas sebagai bekalnya dalam mengarungi kehidupan masa depannya. Dan, pada umumnya, ketika mencapai titik akhir masa sekolah para pelajar SMA harus berani menentukan pilihan dalam keadaan yang sulit, apakah harus mengarungi dunia kerja, ataukah melanjutkan studi ke perguruan tinggi, ataupun memilih yang lainnya.

 Menentukan Pilihan

Ketika pilihan itu jatuh kepada keinginan untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi berarti dituntut harus memiliki kejelian dan kecermatan dalam menentukan perguruan tinggi serta program studi yang akan digeluti, sebagai pedoman awal ataupun pondasi dasar dalam mengarungi masa pendidikan di lingkungan kampus. Di samping itu, harus menyadari kemampuan dari keinginan, bakat ataupun potensi diri. Bakat, pada dasarnya merupakan pembawaan seseorang dari lahir, dan potensi sebagai sebuah kelebihan yang belum tereksplorasi secara maksimal. Jika bakat dan potensi mampu searah dengan program studi yang digeluti, sudah tentu hasilnya akan menjadi lebih optimal dan mampu meningkatkan kegairahan untuk belajar.

Berikutnya, dituntut harus mampu menilai kualitas dan kuantitas perguruan tinggi serta program studi yang akan digeluti. Supaya pengembangan intelektualnya menjadi betul-betul berkualitas. Karena di antara perguruan tinggi baik negeri maupun swasta memiliki berbagai keunggulan tersendiri termasuk dalam kompetisi di dunia kerja. Kemudian, yang tak kalah penting adalah dituntut harus memiliki biaya dan kemampuan keuangan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Karena biaya pendidikan di perguruan tinggi cukup mahal. Bahkan, faktor biaya tinggi ini cenderung membuat banyak generasi emas bangsa yang berbakat dan memiliki potensi terhambat untuk melanjutkan studinya ke jenjang perguruan tinggi.

Persaingan Negeri versus Swasta

Menyikapi fenomana itulah, banyak perguruan tinggi negeri maupun swasta bersaing ketat untuk merebut peluang menjaring mahasiswa sebanyak-banyaknya melalui berbagai tawaran yang cukup menggiurkan. Namun, seringkali perguruan tinggi swasta kalah bersaing dengan perguruan tinggi negeri yang selalu memiliki keunggulan dari segi pencitraan publik, mulai dari beban biaya lebih murah dengan beragam bantuan pendidikan dalam bentuk beasiswa. Meskipun sejatinya pada saat ini perguruan tinggi swasta telah berbenah diri dan menyejajarkan diri dengan perguruan tinggi negeri. Yakni melengkapi berbagai segala keperluan dari proses belajar mengajar secara proporsional dan lebih profesional sesuai tuntutan perubahan peradaban globalisasi, termasuk akreditasi kelayakan kurikulum yang ditetapkan pemerintah.

Makanya, dilihat dari segi biaya, kualitas dan kuantitas antara perguruan tinggi negeri dan swasta sudah hampir tidak ada bedanya. Tapi, stigma publik bahwa perguruan tinggi negeri lebih baik dari swasta terlanjur telah mengakar di tengah kehidupan masyarakat. Sehingga, perguruan tinggi swasta seringkali menjadi “tempat pembuangan akhir” bagi mahasiswa yang tidak diterima di perguruan tinggi negeri. Karena itu, tidak salah jika ada perguruan tinggi swasta punya keinginan untuk melebur diri menjadi perguruan tinggi negeri untuk meningkatkan kredibilitas dan kepercayaan publiknya. Sepanjang hal tersebut memenuhi persyaratan kelayakan yang telah ditetapkan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Dan, bukan hanya sekadar politik kepentingan yang sifatnya sesaat dan dapat berdampak buruk terhadap pencerdasan dan pencetakan karakter dari generasi emas bangsa ke depannya.

Folemik Paradigma Baru

Yang cukup menarik, kini muncul wacana dari paradigma baru berupa penegerian Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar, yang bernaung di bawah Yayasan Pendidikan Widya Kerti milik Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat. Bahkan, Rektor UNHI Denpasar,  Prof. IB Yuda Triguna melalui panitia pelaksana Penegerian UNHI yang diketuai IB Dharmika dan Putu Gelgel selaku sekretaris telah menjaring dukungan dan meminta rekomendasi dari berbagai lembaga atau instansi pemerintah, di antaranya DPRD Bali, PHDI Bali, Kanwil Kementerian Agama Prov. Bali, MUDP Bali, Ketua Yayasan Widya Kerthi.

Ironisnya, wacana ini mulai menuai protes dan memicu konflik internal, karena proses penegerian UNHI dianggap telah bertentangan dengan Akta Yayasan, AD/ART PHDI, serta UU No. 28 tahun 2004  sebagai Perubahan atas UU No. 16/2001 tentang Yayasan. Ini artinya, secara substansial, UNHI memang seharusnya tetap dipertahankan sebagai aset umat Hindu melalui PHDI. Hal ini juga dipertegas dalam TAP VI Mahasabha 2011 yang telah merekomendasikan UNHI dipertahankan sebagai aset untuk dikembangkan dan disosialisasikan melalui pembentukan World Hindu Centre.

Tak hanya itu, rapat gabungan yang dihadiri Sabha Pandita, Sabha Walaka, PHDI Bali, Yayasan Pendidikan Widya Kerti yang hadir dalam rapat di Denpasar, Minggu (23/9) lalu sepakat menolak penegerian UNHI. Bahkan, rapat yang dipimpin Dharma Adhyaksa, Pedanda Sebali Tianyar Arimbawa telah membentuk Tim Penolakan Penegerian UNHI dengan mendaulat Putu Wirata Dwikora sebagai ketua. Tugasnya, adalah mengirim surat ke DPD, DPR, Presiden, Menteri Agama, DPRD Bali, serta instansi terkait lainnya, guna menyampaikan penolakan dan sekaligus meminta agar UNHI dipertahankan sebagai aset umat Hindu, karena umat Hindu dan PHDI memerlukan UNHI sebagai lembaga pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai Hindu.

Putu Wirata Dwikora, yang juga Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat, mengatakan penegerian UNHI dikhawatirkan dapat menutup akses PHDI dalam menanamkan nilai-nilai dan kearifan Hindu melalui pendidikan. Makanya, penegerian UNHI ditolak tegas, serta sekuat tenaga harus ditingkatkan kualitasnya baik kurikulum maupun rekrutmen dosen serta penerimaan mahasiswa. Selain itu, proses mengajukan permohonan penegerian UNHI melalui panitia pelaksana telah menyalahi prosedur organisasi, yayasan, maupun undang-undang. “Ini karena tiga lembaga PHDI Pusat, yakni Sabha Pandita, Sabha Walaka dan Pengurus Harian tidak pernah mengadakan rapat dalam rangka penegerian UNHI,” tegasnya.

Sementara itu, Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Ketua Paruman Walaka PHDI Bali menegaskan bahwa penegerian UNHI berarti mengalihkan aset PHDI baik berupa tanah, gedung dan fasilitas lainnya ke pemerintah, serta menghilangkan akses PHDI dan umat Hindu untuk mengembangkan nilai-nilai Hindu. Di umat lain, seringkali mempertahankan perguruan tinggi yang dimiliki dengan sekuat tenaga, guna terus ditingkatkan kualitasnya bukan justru dilakukan penegerian statusnya. Maka itu, katanya, sebaiknya penegerian UNHI ditolak dan secara bersama baik PHDI maupun Rektorat dan Senat UNHI berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang selama ini memang belum maksimal. “Jika mentok, proses penegerian UNHI tetap berjalan, langkah mediasi, atau proses hukum pun dapat dilakukan karena telah terjadi pelanggaran terhadap undang-undang yayasan, akta yayasan maupun AD/ART PHDI,” tegasnya.

Komersialisasi versus Politisasi

Munculnya folemik perguruan tinggi negeri atau swasta terkait penegerian UNHI sejatinya semakin memicu kesenjangan dari wacana publik antara komersialisasi versus politisasi dunia pendidikan tinggi sebagai ajang kompetensi keilmuan menjadi ajang bisnis untuk memeroleh keuntungan yang dipicu kepentingan kapitalisme global. Ini karena perguruan tinggi swasta yang mandiri harus bersaing dengan perguruan tinggi negeri yang mendapat dukungan pemerintah melalui dana operasional dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Akibatnya, mutu pendidikan menjadi terabaikan dan masyarakat pun bukan kuliah untuk meningkatkan kualitas diri, melainkan hanya mengejar gelar demi kepentingan gengsi atau prestise. Sebagai sebuah penguatan daya saing demi politik pencitraan publik semata.

Atas dasar itulah, rupanya muncul desakan untuk penegerian UNHI Denpasar. Dalam rangka menguatkan daya saingnya secara global dalam dunia pendidikan tinggi keagamaan di masa mendatang. Terutama dalam pengembangan program studi baru sesuai dengan kemajuan informasi dan teknologi terkini seperti Farmasi, Psokologi, Kedokteran, dan lainnya. Di samping itu, juga sebagai upaya pengembangan tri dharma perguruan tinggi serta nilai agama dan budaya Hindu. Demi penguatan pembangunan pariwisata budaya Bali yang berbasis ajaran Hindu ke depannya.

Prof. Putu Gelgel, sebagai sekretaris panitia pelaksana penegerian UNHI Denpasar, menegaskan bahwa niat baik penegerian UNHI semata-mata untuk mengatasi berbagai kendala yang dialami dalam proses perkulihaan selama ini. Termasuk rendahnya gaji pegawai dan dosen. Padahal telah mengabdi puluhan tahun. Bahkan nilai gajinya sangat memprihatikan, karena masih di bawah batas yang layak sesuai ketentuan pemerintah melalui upah minimum regional (UMR). “Sungguh saya merasa sedih dan prihatin melihat dosen dan pegawai yang mengabdi puluhan tahun hanya menerima gaji di bawah Rp 1 juta perbulan. Dan hal ini belum banyak yang mengetahui. Termasuk, para elite politik penguasa sebagai pemangku kebijakan yang terkait di bidangnya,” ungkapnya.

Menurutnya, usulan penegerian UNHI sejatinya telah melalui berbagai kajian sesuai dengan tuntutan realitas kekinian. Terlebih lagi, segala fasilitas yang dimiliki UNHI Denpasar saat ini merupakan sumbangan atau bantuan dari pemerintah. Selain itu, proses administrasinya telah melalui tahapan sesuai mekanisme yang semestinya. Seperti persetujuan dari pengurus harian PHDI Pusat, Sang Nyoman Swisma, Senat UNHI Denpasar, Piagam Campuhan terkait pendirian perguruan tinggi Hindu, dan lainnya. “Rasanya, semuanya telah diupayakan dengan baik untuk sebuah pandangan kritis menuju UNHI dalam paradigma baru yang lebih berbudaya dan unggul terhadap pengembangan informasi dan teknologi global terkini,” tegasnya.

Lebih jauh, dia hanya berharap folemik yang muncul dalam upaya penegerian UNHI itu sebagai proses demokrasi yang wajar untuk mencarikan solusi alternatif terbaik bagi kemajuan UNHI Denpasar ke depannya. Sehingga, sebagai lembaga pendidikan tinggi keagamaan Hindu mampu memenuhi visi dan misinya mengembangkan nilai agama dan budaya Bali secara berkelanjutan. “Saya harap para elite politik penguasa sebagai pemangku kebijakan di bidang terkait untuk dapat memberikan pemikiran yang sejuk dan langkah kebijakan sebagai solusi alternatif yang cerdas dan kritis demi kebaikan umat Hindu ke depannya,” harapnya.

 

Oleh I Nyoman Wija, SE, Ak. M.Si*

*) Penulis adalah Jurnalis dan Fotografer Sebuah Media Massa Harian di Bali, yang juga Aktivis Kordem Bali Pemerhati Sosial Budaya.