Oleh :
 I Nengah Muliarta
Komisioner Bidang Kelembagaan KPID Bali

Istilah polusi suara atau kebisingan sudah lumrah kita dengar. Dimana polusi suara diartikan sebagai gangguan pada lingkungan yang disebabkan oleh bunyi atau suara yang menyebabkan kondisi tidak nyaman. Suara atau bunyi dikataan mencemari ketika melebihi ambang batas yang dapat didengar secara normal sehingga menimbulkan gangguan pada manusia dan makhluk hidup lainnya. Manusia dapat mendengar bunyi saat gelombang bunyi yang berupa getaran di udara sampai ke gendang telinga. Tingkat frekuensi bunyi yang dapat didengar oleh telinga manusia berkisar antara 20 Hz sampai 20 kHz pada amplitudo yang beragam. Sedangkan nilai ambang batas kebisingan untuk bekerja secara nyaman bagi manusia selama 8 jam per-hari yaitu 85 dB.  

 Dalam sebuah berita di cnnindonesia.com tertanggal 9 juni 2015 menyebutkan bahwa upaya mengurangi polusi suara bisa menghemat ongkos penyakit jantung. Kajian tersebut berdasarkan hasil penelitian di wilayah paling bising di Amerika Serikat, dimana upaya mengurangi tingkat polusi suara penyebab tekanan darah tinggi dan penyakit jantung dapat menghemat lebih dari US$ 3 miliar atau sekitar Rp 40 triliun per-tahun. penelitian senior Richard L. Neitzel dari University of Michigan School bidang Kesehatan Publik di Ann Arbor mengatakan Banyak pekerjaan yang dilakukan untuk mengurangi polusi udara dan beban kesehatan masyarakat, tetapi suara sepertinya tidak pernah menjadi pertimbangan yang sama. Padahal tingkat kebisingan yang tinggi berkaitan dengan gangguan tidur sehingga menyebabkan stres dan mengganggu siklus tubuh.

Polusi suara terjadi akibat adanya suara dengan volume tinggi sehingga menyebabkan kebisingan pada suatu daerah dan menimbulkan ketidaknyamanan. Peralatan rumah tangga seperti radio dan TV dapat menjadi salah satu sumber kebisingan. Suara radio dan TV dapat dikatakan menimbulkan polusi suara apabila kebisingan yang ditimbulkan melebihi ambang batas kebisingan. Sesuai Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep 48/MENLH/11/1996 tentang tentang baku tingkat kebisingan menunjukkan bahwa ambang batas kebisingan untuk kawasan perumahan dan pemukiman yaitu 55 dB. Jadi jika suara radio dan TV yang dihidupkan menimbulkan kebisingan lebih dari 55 dB maka berarti suara TV dan radio telah menimbulkan polusi suara.

Nyepi siaran dapat menjadi salah satu alternatif solusi dalam upaya mengurangi terjadinya polusi suara dalam satu hari. Seperti biasanya setiap setahun sekali lembaga penyiaran di Bali, baik radio atau TV menghentikan seluruh operasional siaranya selama satu hari penuh atau melakukan Nyepi siaran. Nyepi siaran tersebut dilakukan sebagai komitmen untuk menghormati masyarakat Hindu di Bali yang melakukan tapa beratha penyepian atau menghentikan seluruh aktivitas selama satu hari penuh. Pada tahun ini, umat Hindu Bali melaksanakan Nyepi pada Rabu, 9 Maret 2016.

 Seberapa besar Nyepi Siaran dapat mengurangi polusi suara di Bali? Guna menjawab pertanyaan tersebut tentu memerlukan suatu penelitian yang mendalam. Namun yang pasti saat pelaksanaan Nyepi seluruh masyarakat Bali mematikan radio dan TV. Begitu juga seluruh lembaga penyiaran di Bali mematikan seluruh peralatan yang dapat menimbulkan kebisingan. Belum lagi melalui Nyepi siaran, pesawat TV yang ada di kamar-kamar hotel di Bali juga dimantikan. Jadi Nyepi siaran bukan sebatas mengurangi polusi suara tetapi juga sebagai upaya dalam menghemat penggunaan energi dan mengurangi emisi.

Nyepi bagi masyarakat Bali memiliki arti hening atau sepi. Saat masyarakat Bali melaksanakan Nyepi tidak ada polusi suara. Suara yang dapat didengar adalah suara burung dan hewan lainnya serta suara desiran angin. Melalui Nyepi siaran secara otomatis lembaga penyiaran di Bali turut serta mewujudkan keheningan. Meniadakan kebisingan tentu sangat sejalan dengan konsep pelaksanaan Nyepi.

Saat Nyepi masyarakat Hindu Bali melaksanakan tapa brata penyepian yaitu amati geni (tidak menyalakan api/listrik), amati karya (tidak bekerja dan tidak melakukan aktivitas), amati lelungan (tidak bepergian) dan amati lelanguan (tidak mengumbar hawa nafsu, tanpa hiburan/bersenang-senang). Bila ditinjau dari fungsi lembaga penyiaran yaitu memberikan hiburan maka menghentikan siaran juga berarti menghentikan hiburan. Jadi dengan tidak bersiaran saat Nyepi secara tidak langsung lembaga penyiaran di Bali turut serta melakukan amati lelanguan.  Saat tidak bersiaran, lembaga penyiaran di Bali secara otomatis tidak menyalakan pemancar dan tidak menggunakan listrik sehingga sejalan dengan amati geni. Maka Nyepi siaran bagi lembaga penyiaran di Bali tidak sebatas menghormati kearifan lokal dan budaya Bali tetapi juga berperan serta dalam mengurangi polusi suara.

Mungkin masih ada pendapat bahwa penghentian siaran oleh lembaga penyiaran berarti kehilangan sumber pendapatan dari iklan. Kedepan perlu penelitian ilmiah untuk menjawab pendapat tersebut. Hal terpenting yang harus diperhatikan adalah apakah kehilangan pendapatan dari iklan lebih besar dari keuntungan ekologis dan penyelamatan lingkungan. Keuntungan dari penghematan penggunaan energi, keuntungan dari pengurangan emisi dan keuntungan dari pengurangan polusi suara. Catatan penting yang perlu juga diingat adalah bahwa perkembangan pembangunan dunia saat ini juga mengarah pada pembangunan berkelanjutan. Pembangunan yang mengedepankan konsep ekologis dan bukan keuntungan ekonomi semata.

Hasil penelitian Prof. I Wayan Suarna, dkk  dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Udayana menunjukkan bahwa Fluktuasi tingkat kebisingan di Kota Denpasar tersebar merata untuk berbagai peruntukan kawasan yang berbeda. Fluktuasi tingkat kebisingan ini berkisar antara 32,52 – 72,90 dBA. Dimana penyumbang tingkat kebisingan terbesar adalah bersumber dari kendaraan bermotor. Pada kawasan perumahan, tingkat kebisingan yang terjadi sudah melebihi baku mutu lingkungan yang diperbolehkan menurut Peraturan Gubernur Bali No. 8 tahun 2007, dan Keputusan Menteri LH No. 48 Tahun 1996 untuk semua titik-titik pengukuran pada periode pengukuran siang hari (55 dBA). Pada kawasan ruang terbuka hijau, yang dilakukan pengukuran di taman kota yaitu di lapangan Puputan Badung, Taman Kota Lumintang dan di lapangan Bajra Sandi renon tingkat kebisingan yang terjadi sebagian besar sudah melebihi baku mutu (55 dBA). Tentunya pada saat Nyepi tingkat kebisingan akan turun jauh dibawah ambang batas yang ditentukan. Sebab saat Nyepi tidak akan ada kendaraan bermotor yang melintas di jalan raya. Begitu juga sumber kebisingan lainnya seperti suara radio dan TV akan dimatikan.

Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa kebisingan dapat menimbulkan gangguan fisiologis berupa peningkatan tekanan darah. Kebisingan juga dapat menimbulkan gangguan psikologis berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, susah tidur, emosi dan lain-lain. Selain itu, kebisingan juga dapat menimbulkan gangguan keseimbangan yang menyebabkan gangguan seperti kepala pusing, mual dan lain-lain. Dari berbagai gangguan yang disebabkan oleh kebisingan, gangguan terhadap pendengaran adalah gangguan yang perlu diwaspadai karena sifatnya serius. Dimana kebisingan dapat menyebabkan hilangnya pendengaran atau ketulian. Hilangnya pendengaran dapat bersifat sementara, namun jika paparan kebisingan terus menerus terjadi maka daya dengar akan mengalami penurunan hingga bersifat permanen. Guna menghindari terjadinya kehilangan pendengaran secara permanen maka perlu upaya untuk melakukan pencegahan. Salah satunya menghindari sumber kebisingan. Nyepi menjadi salah satu cara untuk menghindarkan diri dari kebisingan selama satu hari penuh. Bukan hanya alam yang dapat beristirahat saat pelaksanaan Nyepi, tetapi tubuh manusia juga mendapatkan waktu untuk beristirahat dan terbebas dari kebisingan. Nyepi juga menjadi bagian dari upaya menjaga kesehatan pendengaran. Bagi pekerja penyiaran tentu Nyepi menjadi waktu yang tepat untuk mengistirahatkan tubuh terutama telinga dari kebisingan suara musik ataupun suara di dalam studio. Termasuk mengindarkan diri dari kerasnya tingkat kebisingan di ruang pemancar.  

Bukti bahwa kebisingan berpengaruh terhadap penurunan pendengaran dapat dilihat dari hasil penelitian Ni Ketut Susilawati, dkk dari Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Fakultas kedokteran Universitas Udayana. Penelitian yang dilakukan tahun 2010 tersebut terkait Pengaruh bising lalu lintas terhadap penurunan fungsi pendengaran pada juru parkir di kota Denpasar. Terdapat 40 juru parkir dengan umur rata-rata di atas 35 tahun yang dijadikan obyek penelitian. Juru parkir dengan masa kerja antara 10-15 tahun sebanyak 36 orang (90%) dan tidak ada yang menggunakan alat pelindung telinga saat bekerja. Terdapat 7 juru parkir (17,5%)  yang mengalami penurunan fungsi pendengaran akibat bising atau noise induced hearing loss (NIHL). Sedangkan dari kelompok kontrol hanya 1 orang (2,5%). Secara statistik dinyatakan terdapat pengaruh yang bermakna antara bising lalu lintas dengan penurunan fungsi pendengaran juru parkir.

Bagaimana dengan kesehatan pendengaran  pekerja penyiaran? Sebut saja seorang penyiar radio yang rata-rata menggunakan headphone atau headset saat bersiaran selama 2-3 jam dalam sehari. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan headset menyebabkan perbedaan fungsi pendengaran kedua telinga antara penyiar radio dan yang bukan penyiar radio. Penelitian tersebut dilakukan oleh Lily Wongso, dkk dari Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado pada tahun 2013. Dalam penelitian dengan judul “perbandingan dampak penggunaan headset terhadap fungsi pendengaran pada penyiar radio dan yang bukan penyiar radio di Kota Manado” dijelaskan bahwa Pemakaian headset berlebih dalam kurun waktu yang lama dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Saat menggunakan headset, telinga menerima gelombang suara yang kemudian diubah menjadi pulsa listrik yang kemudian diteruskan ke korteks pendengaran melalui saraf pendengaran. Paparan bising untuk waktu lama dapat menyebabkan kerusakan sel-sel rambut di koklea saraf pendengaran yang memperburuk proses degenerasi saraf pendengaran. RED-MB