PERHELATAN dari konstruksi Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-34 tahun ini telah ditutup secara resmi oleh gubernur Bali, Made Mangku Pastika bersama wakilnya, AAN Puspayoga dengan ditandai pemukulan kentongan lanang wadon di panggung terbuka Ardha Candra, Art Centre Bali, Denpasar, Senin (9/7) malam lalu. Acara serimonial penutupan PKB tahun ini dipungkasi pementasan sendratari berjudul Nila Candra Ngeka Swarga persembahan SMKN 3 Sukawati, Gianyar. Berkisah tentang pergolakan paham siwa-budha antara Sang Prabu Nila Chandra dengan Sang Prabu Yudistira sebagai simbolik dari bahasa ungkap dalam menguji kepemimpinan yang merakyat dan satya wacana, serta tidak otoriter dan tidak feodal dalam melaksanakan tugas pengabdiannya sebagai abdi negera sekaligus pengayom kepentingan khalayak publik, kalangan masyarakat luas.

Yang menarik dalam sambutannya gubernur Bali, Made Mangku Pastika sempat menegaskan bahwa evaluasi dari seluruh unsur penyelenggaran tetap harus dilakukan sebagai pedoman untuk pelaksanaan kegiatan serupa tahun depan, agar lebih baik terutama dalam kualitas penyelenggaraan, peningkatan partisipasi peserta, serta animo masyarakat hingga aspek-aspek teknis seperti pengaturan jadwal yang koordinatif, kebersihan, penataan parkir serta aspek keamanan dan ketertiban. Sebagai upaya peningkatan kualitas dan karakter bangsa terutama sumber daya masyarakat Bali. Mengingat PKB sebagai penyangga utama dan pengawal peradaban Bali sekaligus media publik untuk meneguhkan komitmen dalam penggalian, pelestarian dan pengembangan seni budaya Bali ke depan demi mewujudkan masyarakat Bali yang aman, damai dan sejahtera.

Menyikapi pandangan tersebut, kini saatnya publik menguji kekuatan “taring” dari para tim pengawas dari konstruksi PKB dalam menjawab dampak negatif arus budaya global dengan ideologi kapitalisme berbasis keuntungan (profit) belaka. Intinya, apakah para tim pengawas PKB tahun ini mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara proporsional dan profesional serta punya cukup nyali dan keberanian untuk mengungkap secara jujur dengan apa adanya tentang dinamika paras paros dalam kebersamaan yang terjadi selama penyelenggaraan PKB ke-34 tahun ini, sejak mulai dari 10 Juni hingga 9 Juli 2012. Terutama terkait beragam persoalan klasik yang mengakibatkan konstruksi PKB selama ini dicap publik selalu monotun hingga kehilangan gregetnya, karena kekuatan tata nilai adiluhung ruh dan taksunya yang kini semakin memudar secara lokal, nasional maupun dunia.

Ragam masalah klasik yang cukup urgen dan sangat relevan terhadap upaya peningkatan citra budaya dalam konstruksi PKB tersebut seperti persoalan pasar malam atau pesta dagang, aksesbilitas arus lalu lintas, parkir liar di atas trortoar dan ruas jalan raya, kesemrawutan estetika kota berbudaya, rendahnya perilaku tertib dan bersih masyarakat, serta tindakan hegemoni persekusi etnisitas masyarakat dari kelompok tertentu dalam ekologi desa pekraman. Ironisnya, persoalan paling klasik adalah tidak adanya komitmen dari para elite penguasa pemangku kebijakan yang satya wacana dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengayom kepentingan khayalak publik, kalangan masyarakat luas.

Faktanya, belum adanya niat baik dan tulus iklas dalam menutup “lubang tikus” yang ada di areal Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar. Padahal sudah menjadi rahasia publik bahwa “lubang tikus” tersebut telah mengegemoni kepentingan khalayak publik, kalangan masyarakat dalam artis seluas-luasnya hingga memicu terjadinya kesenjangan sosial di tengah masyarakat serta merosotnya citra budaya dari konstruksi PKB selama bertahun-tahun sebagai pasar malam atau pesta dagang. Pasalnya, berdasarkan kajian empiris pengakuan sejumlah responden yang bersumber dari kalangan masyarakat pengunjung PKB secara jujur menyatakan bahwa tidak mengetahui kalau pintu utama Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar berada di Jalan Nusa Indah, Denpasar, Kenapa ? Karena selama berkunjung ke PKB selalu masuk dari Jalan Hayam Wuruk melalui lorong di antara barisan pasar malam di banjar Kedaton, Denpasar.

Realitas sosial ini juga diungkap oleh Kepala Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar, I Ketut Mantara Gandi, yang mengaku sangat prihatin dan sedih sekaligus kecewa karena tidak mampu berbuat banyak untuk membenahi citra budaya dalam konstruksi PKB akibat hirarki kepemimpinan yang tidak sinergi dan tidak satya wacana. Dia mengakui memang sebagian besar pengunjung PKB tidak tahu gapura pintu masuk menuju Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar berada di Jalan Nusa Indah, Denpasar. Celakanya, kalangan masyarakat pengunjung menyatakan kalau konstruksi PKB itu sebagai ajang pesta dagang atau pasar malam, sedangkan pementasan pertunjukan seni budaya hanya sebagai pelengkapnya. Karena itulah, ke depan harus ada perubahan yang lebih konkret dan nyata dengan menutup “lubang tikus” sekaligus membenahi areal di depan gapura pintu masuk agar memiliki akses publik yang lebih terbuka.

Tak hanya itu, sejatinya gubernur Bali, Made Mangku Pastika bahkan telah berjanji dan sekaligus sudah memerintahkan Kadisbud Bali, Ketut Suastika untuk menuntaskan beragam masalah klasik yang selama ini telah menjadi kendala teknis pencapaian visi dan misi PKB ke depan dalam mencetak karakter dari generasi emas bangsa khususnya Bali yang lebih berbudaya bermartabat dan berkeadaban. Terutama dengan menutup “lubang tikus” yang selalu menjadi folemik dan wacana publik selama bertahun-tahun. Namun, fakta di lapangan hingga kini justru sebaliknya dan tidak ada realisasinya.

Persoalannya, apakah para elite penguasa pemangku kebijakan selaku pemimpin masih punya nyali besar ataupun keberanian dan kepatuhan serta ketaatan dari untuk menegakkan hukum negara demi melindungi dan mengayomi kepentingan khayalak publik, kalangan masyarakat dalam arti seluas-luasnya dari tekanan hegemoni persekusi etnisitas masyarakat dari kelompok tertentu dalam ekologi desa pekraman, sehingga “lubang tikus” tersebut dapat ditutup secara konkret dan nyata. Di samping itu, juga adakah kemauan kuat untuk membela kepentingan atas hak mutlak para seniman dalam mengapresiasi karya kreatifnya dalam PKB yang akan datang.

Inilah salah satu uji nyali yang sangat terpenting dari rekomendasi evaluasi tim pengawas PKB dalam mengungkap beragam fenomena penyimpangan dibalik niat baik panitia dalam mencapai keberhasilan menuji visi dan misi PKB tahun ini sebagai media edukasi untuk penghalus budi pekerti dan hari nurani demi terciptanya masyarakat yang berkeadilan, makmur dan sejahtera. Selain itu, demi upaya pencitraan PKB yang lebih baik di masa akan datang.

Oleh I Nyoman Wija, SE, Ak. *

 *) Penulis adalah Jurnalis dan Fotografer sebuah Media Harian di Bali, yang juga Aktivis Kordem Bali Pemerhati Sosial Budaya dan Karyasiswa Kajian Budaya Unud Denpasar.