Mengontrol hakim lewat lembaga eksaminasi

Presiden Joko Widodo (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)
Jakarta (Metrobali.com)-
Banyaknya para hakim dan panitera pengadilan negeri yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belakangan ini menunjukkan adanya kegagalan reformasi di bidang hukum. Penegakan hukum di Indonesia bukan hanya berjalan di tempat. Bahkan, penegakannya justru mengalami kemunduran hingga masyarakat tampaknya tak lagi percaya dengan hukum itu sendiri.

Diantara mandat reformasi 1998, salah satunya adalah pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), serta diciptakannya aparatur negara yang bersih dan jujur (good corporate governance). Namun faktanya, jumlah aparatur penegak hukum, termasuk pengacara yang terjaring OTT KPK terus bertambah.

Belum lama pada pertengahan April 2016, rumah Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung Nurhadi digeledah KPK. Pihak itu menyita uang sebesar Rp1,7 miliar berupa mata uang asing, seperti riyal, dolar Singapura, dolar Amerika Serikat dan rupiah. Nurhadi dituding berada di balik pengajuan peninjauan kembali (PK) kasus kelompok Astro dari Malaysia, berperkara dengan PT Ayunda Prima Mitra, sebuah perusahaan terafiliasi Lippo Group.

Selang dua bulan berikutnya, pertengahan Juni di tahun yang sama, Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, Bengkulu, Janner Purba dan anggota hakim Ad Hoc Toton, termasuk lima orang lainnya turut ditangkap dalam kasus tindak pidana korupsi pembangunan rumah sakit umum daerah. Sementara di Jakarta Utara, salah satu panitera pengadian Jakarta Utara dan pengacara Saipul Jamil, Bertha Natalia juga ditangkap KPK terkait dugaan penyuapan beberapa hakim lewat panitera PN Jakarta Utara.

Melihat perkembangan hukum yang tidak menggembirakan itu, Presiden Joko Widodo dalam pembicaraan dengan Anggota Asosiasi Pimpinan Perguruan Tingi Hukum Indonesia (APPTHI) pekan lalu di Istana Negara, merasa prihatin dan sedih karena hukum tak lagi dijadikan sebagai acuan hidup bangsa Indonesia untuk mencari kepastian dan keadilan, tetapi justru dijadikan instrumen perdagangan.

“Saya sedih dan prihatin melihat perkembangan hukum akhir-akhir ini. Banyak hakim tersandung korupsi. Indonesia sebagai negara hukum tampak mulai tergeser. Saya punya keterbatasan untuk itu. Silahkan para ahli hukum ini membuat kajian yang rinci dan mendalam guna melakukan perbaikan agar masyarakat kembali percaya pada hukum,” pesan Joko Widodo kepada anggota APPTHI itu.

Kepedihan Presiden terjadi lantaran ia tidak dapat serta merta mengganti pimpinan Mahkamah Agung atau mencopot para hakim korup. Aturan konstitusi, kewenangan yudikatif tidak berada di bawah eksekutif, alhasil, Presiden Joko Widodo meminta kajian lebih komprehensif tentang kemungkinan didirikannya lembaga eksaminasi putusan pengadilan, termasuk MA itu. Pasalnya, selama ini tak ada satupun lembaga hukum yang dapat mengontrol putusan hakim, meskipun hasil persidangan itu nyata bertentangan dengan fakta, berlawanan dengan norma hukum, bahkan nurani hukum hakim yang bersangkutan. Hal itu terjadi lantaran sifat koruptif para hakim sudah demikian melekat. Sikap koruptif terhadap berbagai putusan itu yang menjadikan masyarakat kehilangan rasa percaya (distrust) terhadap hukum, hingga akhirnya APPTHI terpanggil membentuk lembaga eksaminasi.

Alat Kontrol

Urgensi pembuatan lembaga eksaminasi dinilai cukup mendesak demi mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan pengadilan yang kian hari terus melemah. Lembaga itu bukan hanya dapat menghukum hakim nakal, tetapi juga mampu mewujudkan peradilan bersih dan berwibawa (Zulkarnain, 2016).

Eksaminasi merupakan serapan dari kata bahasa inggris “examination,” berarti ujian atau pemeriksaan terhadap produk. Kata itu menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, Zulkarnaen, merujuk pada “legal annotation” yakni ujian atau pemeriksaan. Dalam konteks pengadilan, eksaminasi merupakan uji petik terhadap putusan pengadilan, apakah hasil tersebut sesuai dengan fakta dan norma hukum, atau justru sebaliknya, putusan mengabaikan berbagai fakta hingga menimbulkan perdebatan yang kontra-produktif di masyarakat.

Lembaga itu awalnya sudah ada di internal MA. Surat Edaran Ketua MA No.1 Tahun 1967 menunjukkan, lembaga tinggi hukum mempunyai lembaga eksaminasi secara internal. Tujuannya adalah mengontrol putusan para hakim yang kemungkinan berdampak luas kepada masyarakat, ataupun mempengaruhi komunitas internasional.

Itu sebabnya, kalangan internal di MA sempat memiliki lembaga eksaminasi walau hasil di persidangan sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde).

Sayangnya, lembaga itu dihapus dengan lahirnya UU No.1 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasan Kehakiman, bahkan mengutip pendapat Lacia Marzuki (2002), dihapuskannya lembaga kekuasaan kehakiman seolah menjadi bagian yang tidak terpisah dari kepentingan politik dan keinginan eksekutif.

Oleh karenanya, lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2002 telah menggagas perlunya akses atas putusan pengadilan bagi masyarakat. Tujuannya agar, publik dapat melakukan eksaminasi putusan pengadilan, sehingga jika ada hakim yang membuat hasil persidangan yang bertentangan dengan nurani kebenaran, ia akan diadili oleh masyarakat luas. Akhirnya, hakim itu pun sebenarnya tak layak diberikan palu.

Gerakan ICW tampaknya melemah dan tidak bergema. Kali ini APPTHI lewat ketuanya, Laksanto Utomo melakukan tekanan lewat publik bahwa kini sudah saatnya lembaga eksaminasi dilahirkan agar putusan para hakim, khususnya hasil persidangan dari hakim agung dapat dilakukan uji petik.

MA adalah lembaga tertinggi peradilan, tempat masyarakat mencari keadilan dan kepastian. Bagaimana mungkin masyarakat akan percaya jika para hakim agung dalam membuat putusan sering melawan nurani hukum? Laksanto Utomo mencontohkan, putusan pailit terhadap perusahaan. Di seluruh dunia, jika ada putusan pailit dari sebuah mahkamah, harga saham perusahaan bersangkutan pasti jatuh. Di Indonesia, justru sebaliknya, yakni harga sahamnya tetap tidak turun, bahkan diperdagangkan seperti biasa seolah putusan pengadilan hanya suatu permainan biasa.

Itu sebabnya, para investor asing menilai, Indonesia secara ekonomi sudah tumbuh baik, tetapi dalam sektor hukum belum ada kemajuan, bahkan terjadi kemunduran, kata Laksanto.

Gagasan membuat lembaga eksaminasi, katanya, sudah mendapat restu dari Presiden Joko Widodo, karena itu dalam waktu dekat APPTHI akan menyerahkan draf atau naskah akademik kepada Presiden agar dibahas lebih lanjut.

Di samping presiden yang sudah setuju, kalangan hakim agung juga sudah menyatakan dukungannya. Gayus Lumbuun, salah satu hakim agung MA mendorong agar APPTHI mereformasi kelembagaan guna mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap peradilan nasional.

“Lembaga ini merupakan kepentingan bersama, karena lembaga peradilan tidak bisa berdiri tanpa ada kontrol dari pihak luar. Itu sebabnya, semua elemen mendukung dibuatnya lembaga eksaminasi guna menjadikan putusan hukum sesuai dengan norma, nurani dan fakta hukumnya. Bukan karena ada faktor lain yang dapat mempengaruhi putusan seorang hakim,” katanya. Sumber : Antara