Nyoman Dhamantra1
Oleh: Nyoman Dhamantra

DINAMIKA rezim kekuasaan cukup panjang, yang datang silih berganti, dan enjadi sejarah bangsa kita. Sepanjang perjalanan itu, cukup banyak tragedi yang menjadi catatan sejarah. Apalagi, menyangkut kekuasaan dan juga kesewenang-wenangannya.

Hampir semua Rezim, ketika itu merebut kekuasaannya dengan cara yang ‘Anarkhis’. Saya berika tanda ‘petik’ dalam kata Anarkhis, karena memiliki makna yang tidak semua adalah kekerasan dan bunuh-membunuh. Dalam pengertian bahasa, Anarkhis diartikan “tanpa otorits, tanpa kekuasaan”.

Dinamika itu, dimulai dari bagaimana para pejuang kemerdekaan, yang kemudian disebut rezim “Orde Lama” merebut kekuasaan dari tangan penjajah. Saat itu, kompeni atau Belanda dibuat takluk oleh para pejuang. Di semua daerah di Nusantara ini, mereka menstigma para pejuang dengan sebutan ekstrimis dan anarkhis.

Pun demikian, juga dilanjutkan dengan rezim Orde Baru. Yang merebut kekuasaan dari tangan orde lama Soekarno alias Bung Karno. Dan yang terakhir, di era 1998, hampir sebagian besar masyarakat yang hidup di era sekarang menyaksikan pula bagiaman kekuasan rezim Orde Baru direbut oleh Orde Reformasi. Orde reformasi, saat itu diharuskan merebut kekuasaan dari rezim, yang kurang lebih 32 tahun gagah berdiri.

Dari fenomena di atas, jika diambil contoh, ketika kemenangan Orde Reformasi menumbangkan Orde Baru, sampai saat ini, kita bisa melakukan justifikasi atau mengatakan bahwa rezim Orde Reformasi diraih dengan cara ‘Anarkhis’. Hanya karena para aktivis menduduki gedung DPR/MPR RI. Di samping, memang sudah menjadi rahasia umum bahwa ada kebrutalan massa pd saat itu membakar mobil, rumah, gedung dan sebagainya?. Apa masih pantas sebuah perjuangan di luar aksi masa dapat disebut ‘Anarkhis’.

Sebagai legislator, saya berkeyakinan tidak mungkin ada klaim seperti itu. Meski fakta menunjukkan sebaliknya. Bahkan saat ini, para tokohnya justru sedang menikmati masa bulan madunya sebagai ‘Pahlawan Reformasi’.

Dari ulasan atas hal di atas, sejatinya, saya ingin menyatakan dengan tegas apabila ‎situasi itu akan berbeda bila konstraksi massa pada saat itu hanya diisi dengan parade ataupun sekedar barisan tertib massa. Sangat tidak mungkin nenumbangkan kekuasaan pada saat itu, hanya dengan aksi damai dan tanpa kekerasan.

Alasannya cukup banyak jika harus diuraikan. Namun intinya, ‎justifikasi ataupun pembenaran tunggal yang menjadi pemahaman aparat saat ini, tidak perlu mengadili mereka dengan tuduhan melakukan kegiatan anarkis. Kebrutalan. Atau apa yang membuat kengerian di masyarakat.

Karena pada dasarnya, semua itu lebih karena situasi itu terjadi akibat adanya manuver rakyat melakukan konstraksi politik melalui gerakan massa. Masyarakat menginginkan adanya perubahan, yang nyata. Yang dilakukan oleh Pemerintah dan juga Wakil Rakyatnya.

Seperti kita ketahui, pada saat dimana terjadinya perebutan kekuasaan, pemahaman tunggal itu sepertinya jauh panggang dari api.

Rezim yang berkuasa akan dengan segala cara mengkriminalisasi lawan politiknya, termasuk tuduhan melakukan kegiatan yang Anarkhis. Padahal, tidak ada situasi anarkhis, atau tanpa kekuasaan seperti yang disebut. Gerakan hati nurani rakyat, tidak bisa disebut sebagai gerakan anarkhis, atau untuk tujuan “negara tanpa otoritas, atau kekuasaan”.

Suatu situasi yang kini sedang bergulir di Bali. Terkait dengan kian massifnya gerakan Bali Tolak Reklamasi, empat tahun terakhir. Pemegang otoritas kekuasaan mencoba berbagai dalih untuk menutupi kebohonganya, mulai dari ancaman kekerasan, kriminalisasi, sampai pada stigma “Anarkhis” bagi para aktivis.

Dalam kaca mata saya, situasi Anarkhis memang terjadi. Dimana, pemegang otoritas, atau penguasa seolah tidak ada. Setidaknya, tidak hadir ketika rakyat yang tergabung dalam berbagai forum, ForBali dan Pasubayan Adat, dalam berbagai aksi massa mengajukan keberatan dan menolak proyek reklamasi Bali. Rakyat seolah kehilangan induk, bahkan seorang warga dalam sebuah kesempatan berucap:”…Kodok pun akan kami jadikan Gubernur, kalau mendengar aspirasi kami…”

Untuk itu, aparat kepolisian bersikap arif dalam menyikapi “tuduhan” anarkhisme, saat terjadi demo penolakan reklamasi Teluk Benoa. Apa yang dilakukan oleh ForBaLI, terlebih dengan Pasubayan Desa Adat, merupakan aspirasi hati nurani rakyat, yang telah sekian lama diabaikan penguasa. Sekali lagi, harus bersikap bijaksana, bukan men-stigma segenap komponen BTR dengan sebutan “Anarkhis”..

Karena, di sini berlaku hukum sebab dan akibat, kalau tidak ada api maka tidak akan ada asap. Pembiaran dari wakil rakyat di DPRD, Gubernur Bali, dan bahkan Presiden RI merupakan akar persoalan. Ketidakhadiran mereka ditengah rakyat, dan sekaligus mengabaikan aspirasi rakyat-lah menyebabkan keadaan “Anarkhis” itu sendiri.
Aspirasi para penolak reklamasi yang bernaung di bawah ForBALI diabaikan penguasa Bali,  merupakan biang kerok terjadinya eskalasi terhadap kontraksi politik massa. Hampir empat tahun tak didengar. Sehingga berdampak pada kegiatan bakar-bakaran. Bakar-bakaran itu sendiri merupakan ekspresi kekecewaan rakyat yang diabaikan. Sekaligus, peringatan buat penguasa untuk hadir dan menyelesaikan masalah -bukan berlindung dibalik punggung Presiden, yang sudah keberatan beban.

Hal itulah seharusnya disadari jika ingin menjaga stabilitas ekonomi dalam rangka menjaga stabilitas pariwisata di Bali. Sehendaknya wajib bertumpu pada stabilitas politik. Khususnya, yang terkait dengan efektifitas komunikasi rakyat dengan para pemimpinnya di Bali.

Untuk itu, para pengampu kekuasaan di Bali sebaiknya jangan main api dan jangan memercikan api jika tdk ingin ada asap dan kebakaran. Segera cabut rekomendasi, yang menjadi dasar keluarnya Perpres 51/2014 guna memuluskan reklamasi Benoa. Tanpa pencabutan itu, sulit bagi Presiden untuk mengambil keputusan, mengingat prinsip otonomi daerah.

Sebagai catatan akhir, rakyat Bali sebagai bagian dari Indonesia, sedang mempertanyakan ‘HAK TRADISIONAL’, yang selama ini diabaikan. Merupakan hak-hak dasar (HAM), yang  tidak akan mungkin bisa diganggu gugat. Ketika Hak Tradisional itu dicederai, maka luapan kekesalan terjadi di nurani rakyat. Terlebih dengan pemimpin, yang dipilih dalam kontrak politiknya selama 5 tahun, tidak dapat berjuang untuk rakyatnya. Kini, rakyat Bali bangkit dan berjuang untuk tanah kelahiran, berikut hak-hak adat dan budayanya.

*Nyoman Dhamantra, Angota DPR RI.