Mengenang para “Penyaksi”, Merawat Ingatan Publik
Oleh : Ngurah Karyadi
Mengenang Para “Penyaksi”,
Merawat Ingatan Publik
Oleh: Ngurah Karyadi#
“Matinya sang penyaksi,
Bukan matinya kesaksian,
Tercatat di relung jiwa,
Duka cita terdalam…” (Iwan Fals, Doa untuk Sang Penyaksi)
Syair yang di dendangkan Iwan Fals, Doa untuk Sang Penyaksi, cukup tepat menggambarkan bagaimana suasana hati kita, ketika ditinggalkan orang-orang yang berbuat dan berjuang untuk orang lain. Bahkan dengan mengorbankan jiwa dan raga.
Mengingat, di negeri ini menjadi “orang baik” tidak mudah.
Apapun, segelintir orang tetap berusaha menjadi orang baik itu lebih baik, daripada tidak pernah mencoba menjadi orang baik satu kali pun dalam hidup ini. Selamat jalan Munir Abu Thalib (MAT), Mulyana Wira Kusumah (MWK), dan juga Abang Buyung Nasution (ABN)! Kita tahu, sesungguhnya mereka sudah berusaha sekuat tenagamu untuk menjadi orang baik selama hidup di dunia ini, dan menjadi panutan kita. Pergilah dengan tenang menghadap Tuhan Sang Pencipta. Mereka kita tempatkan sebagai “Penyaksi” penegakan hukum, HAM dan demokrasi negeri ini.
Pergilah dengan langkah kemenangan karena bekal kalian sudah cukup untuk kalian bawa menghadap kepada-Nya. Sang pencipta-Mu sungguh menyayangi dirimu. Itulah sebabnya Tuhan sudah memanggi kalian kembali, untuk pulang, beristirahat di rumah-Nya yang abadi. Semua amal ibadah serta perbuatan kalian di dunia ini, tak ada satu pun manusia yang dapat menilainya baik atau buruk. Semua catatan perjalanan hidup kalian hanya Tuhan yang tahu dan hanya Dia yang berhak menilainya.
Apa pun catatan yang telah digoreskan muram dengan tinta merah oleh segelintir orang tentangmu, bagi kami, kalian tetap pejuang hukum, HAM dan demokrasi sejati di Indonesia. Kalianlah sang pelopor kebangkitan hukum, demokrasi dan HAM negeri ini.
Jutaan doa mengiringi kepergian kalian meninggalkan bumi Nuswantara yang indah ini, Bung! Lihatlah bahwa kalian dipenuhi berkah dengan doa-doa mereka. Doa-doa keluarga, semua sahabat, doa-doa orang-orang miskin teraniaya yang pernah kalian bela dan lindungi pada jaman pemerintahan Orde Baru (Orba) berkuasa, dan doa-doa dari para mahasiswa pejuang reformasi di era Orba.
Semua, kami yang hidup di jaman reformasi ini sungguh berhutang budi banyak kepada kalian Bung! Terimakasih telah membantu berjuang dan mengawal demokarasi dan reformasi secara langsung, atau dari balik layar. Hanya segelintir orang yang tahu perjuangan kalian yang sangat panjang terhadap tegaknya demokrasi di tanah air ini. Jasa kalian akan tetap dikenang.
Udara kebebasan reformasi yang segar ini, kini telah kami hirup. Pergilah dengan tenang menuju keabadian, karena tugas kalian di dunia untuk mengawal demokrasi Indonesia telah selesai. Tugas kalian kini secara estafet telah diambil alih oleh para penerus pejuang demokrasi lainnya, yang menginginkan Indonesia menjadi bangsa yang adil dan makmur.
Begituah kira-kira suara kesedihan hati kami, dari orang-orang yang pernah mengenal MAT, MWK dan ABN secara dekat. Sedih karena kehilangan orang ‘baik’. Ya, bagi semua orang-orang yang pernah mengenal mereka secara dekat, selalu akan menempatkan mereka sebagai orang baik.
Harus diakui, MAT nyaris tanpa cela. Sementara, sebagian dari kita mungkin terpengaruh oleh catatan bahwa almarhum MWK misalnya, pernah divonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta dengan hukuman penjara selama 2 tahun 7 bulan dan denda Rp. 50 juta pada tanggal 12 September 2005.Begitu pula dengan ABN, karena membela TNI paska 1998, atau Jejak Pendapat Timor-timur.
Sehubungan dengan catatan tersebut, penulis dapat ungkapkan bahwa karena kerjanya panjang dalam menegakkan demokrasi tak banyak yang ingat dia. Orang lebih mudah mengenang yang pendek saja, apalagi itu catatan buruk. Selalu dijadikan stigma, seraya mengajak orang melupakan apa yang telah mereka perbuat demi hukum, demokrasi dan HAM di negeri ini.
Penulis, yang sejak mahasiswa dan aktivis bantuan hukum di masa Orba, sering dianggap dekat dengan MAT, MWK dan ABN. Saat masih menjadi mahasiswa, kami sering mendapat dukungan moral dan semangat dari mereka. Kami sering dianggap musuh oleh Soeharto, karena sering mengkritik pemerintahan Soeharto, dan sering berkeliaran di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan bertemu mereka di sana.
Sudah tentu dengan intensitas berbeda, dan saya pribadi lebih sering bertemu dan berdiskusi dengan MWK. Sering disebut aktivis lewat jam malam, atau urusan “bawah tanah”. Sementara, dengan MAT dan ABN lebih terkait dengan “urusan atas”, atau urusan kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dimana saya sebagai direktur LBH Bali.
YLBHI pada masa perjuangan reformasi menjadi rumah bagi para pemuda dan aktivis mahasiswa yang berjuang secara militan untuk meminta perlindungan hukum. Di YLBHI ini MWK bersama seniornya ABN juga bersama rekan hebatnya almarhum MAT, Bambang Widjayanto SH (mantan wakil Ketua KPK), dan Hendardi SH adalah orang-orang hebat yang berani bersuara lantang pada waktu itu, mereka menginginkan demokrasi harus segera terwujud nyata di bumi Indonesia.
Di kantor YLBHI di Jalan Diponegoro No 74 Jakarta Pusat inilah sesungguhnya yang menjadi pusat awal gerilya dari gerakan-gerakan reformasi mahasiswa. Pada awal-awal masa sebelum reformasi benar-benar terjadi di Indonesia, banyak sudah mahasiswa yang ditangkap, dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan pasal karet waktu itu (dianggap makar, terkena pasal subversi), pasal ‘ciptaan’ pemerintah Orba untuk melindungi dinastinya. Pada waktu itu adalah tabu apabila ada warga negara Indonesia yang berani berdemonstrasi turun ke jalan menyuarakan pendapatnya (dianggap makar).
Kebebasan berbicara sungguh amat sangat di kekang. Namun mahasiswa dan aktivis rakyat tidak patah semangat walaupun mereka tahu bakal masuk penjara dengan jeratan pasal karet yang tidak jelas itu. Di sinilah peranan YLBHI dalam membela para mahasiswa dan pejuang reformasi.
Tak heranlah pada masa itu YLBHI selalu dijaga oleh aparat kepolisian serta tentara, para aparat negara berusaha masuk untuk menciduk para mahasiswa dan para pemudapejuang reformasi yang membangkang pada rezim Soeharto. Namun biasanya aparat hanya berani sampai di luar pagar halaman YLBHI saja, tidak berani masuk dan menciduk para pejuang reformasi di dalamnya. Karena apa? Mereka dilindungi oleh YLBHI sebagai suatu lembaga non profit di bidang hukum yang sangat disegani oleh pemerintahan orde baru. Sebab di sana ada sederetan nama-nama hebat yang mempunyai pandangan politik yang sangat maju untuk kebebasan demokrasi dan reformasi di tanah air. Di antara orang-orang hebat yang telah saya sebutkan di atas, termasuk di dalamnya adalah almarhum MAT, MWK dan ABN.
Begitulah, hanya sedikit orang yang tahu tentang perjuangan panjang MAT, MWK dan ABN dalam menegakkan hukum, HAM dan demokrasi di tanah air. Melihat perjuangannya yang gigih maka sudah sepatutnya mereka dikenang. Mereka adalah sosok pejuang sejati. Mengenang para “penyaksi”, berarti kita merawat ingatan publik akan perjuangan penegakan hukum, HAM dan demokrasi negeri ini. Dalam bahasa Iwan Fals;
“…Hari ini,
kisahmu abadi,
berbaringlah kawan,
berbaringlah dengan tenang…”
#Penulis lepas, dan aktivis NGO
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.