Denpasar (Metrobali.com)-

Dalam catatan Tokoh Puri Satria yang juga sesepuh PDI Perjuangan AAN Ratmadi,S.H peringatan Hari Lahir Bung Karno menjadi hal yang penting bagi kaum marhenisme. Sebab, ajarn Bung Karno itu tidak lekang ditindas kemajuan zaman.

Ajaran Soekarno masih hidup dan tetap diwariskan oleh generasi muda. Dan, Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia terus menggema di seantero Indohesia. Dan, pada Selasa 6 Juni 2023 adalah hari lahirnya Bung Karno. Perjalanan Spiritual Nusantara rombongan Cok Ratmadi dkk ke Natar Sunda selamat tiga hari 30 Mei s.d 2 Juni 2023 juga untuk mengenang 122 tahun Soekarno, pantas untuk dirayakan dan dibumikan ajarannya.

Menurut pengamat kebijakan publik Jro Gde Sudibya soal Pancasila dapat diberikan catatan dalam konteks refleksi perayaan 78 tahun, lahirnya Pancasila.

Soekarno adalah orang besar a great man, pemimpin yang melampaui zamannya. Kalau bangsa ini dihadapkan ke risiko keterbelahan akibat politik SARA, banyak orang menyimak kembali pemikiran kebangsaan Soekarno. Jika orang merasakan bagaimana pahitnya ketidakadilan sosial ekonomi bagi masyarakat bawah, “wong cilik” meminjam istilah Bung Karno, banyak orang menyimak kembali ideologi ekonomi kerakyatan MARHAENISME Soekarno.
Dalam ketidak pastian geo ekonomi dan politik global, terutama dipicu oleh perebutan pengaruh antara AS dan Tiongkok, orang menyimak prinsip DASA SILA BANDUNG, hasil kesepakatan KAA di Bandung tahun 1955.

Tidak demikian halnya bagi pemimpin kerdil, segera “dilupakan” oleh rakyat, masih pada saat yang bersangkutan berkuasa, karena dinilai bagian dari persoalan. Hanya dikelilingi oleh orang-orang yang punya kepentingan bercokol , vested interest, CECUNGUK meminjam istilah Bung Karno, untuk mengumpulkan remah-remah kekuasaan.

Menurutnya, kekuatan spiritual Bumi Nusantara adalah kebudayaan yang terus bertumbuh di rangkaian “mutu manik manikam” Bumi Nusantara. Kebudayaan yang bercirikan: respek pada alam, toleran dan harmoni dalam hubungan antar manusia tanpa membedakan latar belakang suku, agama, ras, perbedaan yang dihormati, diakui sebagai kekuatan dan bahkan “dirayakan”.

Ada ungkapan Soekarno yang sangat terkenal: “Jika sebuah taman hanya terdiri dari satu bunga, taman ini tidak akan menarik dan tidak indah. Taman akan menjadi indah, kalau dipenuhi oleh warna-warni bunga, itulah TAMAN SARI INDONESIA.

Bung Karno dalam pidatonya di hadapan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, 1 Juni 1945, yang kemudian hari ditetapkan sebagai Hari Lahirnya Pancasila, secara eksplisit mengatakan, laksanakan kehidupan keagamaan secara berbudaya, dengan demikian orang Islam Indonesia tidak perlu kearab-araban, orang Hindu Indonesia tidak perlu keindia-indian, orang Katolik dan Kristen Indonesia tidak perlu keeropa-eropaan. Pesan kebangsaan yang sangat jelas dari Founding Fatther, dalam menjalankan kehidupan keagamaan dalam negara bangsa yang akan didirikan. Pidato ini, memperoleh respons luar biasa dari para peserta rapat.

Dikatakan, secara implisit dalam pesan Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945, di Bumi Nusantara ini yang akan segera merdeka dari penjajah, janganlah agama menjadi hukum, dogma kaku yang ditafsirkan secara ortodoks, yang mengikat warga negara di sebuah negara bangsa yang akan diproklamasikan.

Dalam pandangan Soekarno, kata Jro Gde Sudibya agama mesti membebaskan, menghargai perbedaan, mengangkat harkat martabat manusia dan kemanusiaan. Pemikiran Soekarno ini dipengaruhi oleh pemikiran Cri Aurobindo intelektual ternama India, yang banyak dikutip oleh Soekarno dalam banyak tulisannya.

“Bahkan dalam pembacaan pledoi Soekarno di hadapan sidang pengadilan pemerintah India Belanda di Bandung tahun 1933, konon diselingi dengan pembacaan Bhagavad Githa Cri Aurobindo oleh para pengagum Soekarno.
Pledoi politik ini, kemudian oleh sejarah dicatat menjadi pidato politik INDONESIA MENGGUGAT,” katanya.

Ole karena itu, lanjut Sudibya “Mari kita bangkitkan kembali kekuatan spiritualitas kebudayaan Nusantara melaui kerja-kerja kebudayaan berkelanjutan tanpa henti, merajut kebersamaan, mengelola perbedaan dengan suka cita, kembali mencintai Ibu Pertiwi dengan merawat dan menjaganya, dalam TAMAN SARI INDONESIA, menuju, menggapai cita-cita bersama bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. (Adi Putra)