Denpasar (Metrobali.com)-

Menyimak Bangkok, Ibukota Thailand yang dikenal dengan pariwisatanya, sebenarnya ada beberapa hal yang dapat diadopsi di Bali. Kekuatan Bangkok dari segi pariwisatanya, pada intinya ialah dari kolaborasi/sinergi antara Kebudayaan dan Pariwisata di Thailand yang berjalan dengan baik. Selebihnya didukung sepenuhnya pula oleh Pemerintah (kerajaan Thailand) yang berkomitmen tentang hal tersebut. Demikian pengalaman, sebutlah seorang praktisi pariwisata, Dewa Ayu Laksmi.

“ Kita sebenarnya lebih kaya dengan keragaman, dari sisi seni budaya, juga epos sejarah kepahlawanan. yang bisa kita kemas dengan baik untuk pariwisata. Sedangkan Thailand negara yang tidak pernah dijajah, notabene otomatis tidak punya pahlawan, namun mereka bisa mengemas kreativitas lain untuk daya tarik pariwisatanya,” ujarnya.

Contoh yang dilihatnya belum lama ini di negara Gajah Putih, ialah pada kawasan wisata Pataya yang sekarang ini sudah bisa dikatakan tereksploitasi, sedangkan destinasi kuat lainnya seperti di Phuket, masih lebih baik dari Pataya namun juga sudah terbilang hampir rusak pula, hal ini akibat dari mass tourism “ ungkapnya.

Nah, langkah Pemerintah Kerajaan (yang bersifat absolut) menyikapi hal itu segera mengambil kebijakan protektif terhadap daerah lain agar tidak terjadi kerusakan seperti di dua destinasi tersebut, ialah dengan  sangat memproteksi  daerah lainnya seperti  Chiang Mai dan Chiang Rai, Doitung sebagai kawasan yang ramah lingkungan, mahal/elit. Disanalah benar-benar dikelola dan ditata pertimbangan dari segala perspektif. Integrasi semua pihak yang berkompeten pada pariwisata. “ Mereka berhasil disitu,” sela Laksmi.

Dari contoh sekilas itu, sebenarnya di Bali, bisa belajar dan melaksanakan hal tersebut. Seperti misal contoh untuk di Bali selatan, dimana pembangunan penunjang pariwisata sudah tidak terkendali, maka daerah/kabupaten lain jangan dieksploitasi seperti itu lagi ( Bali Selatan, red ). “  Kabupaten justru harus dijaga, selanjutnya berkoordinasi dengan baik dan benar. Baik dari pengambil kebijakan, pelaku pariwisata dan kaitan lainnya,” siratnya.

Seperti beberapa waktu lalu, dimana ketua PHRI (Cok Ace) menghimbau untuk jangan ada pertunjukan seni tari Bali secara terus menerus di Hotel, apalagi dengan personel yang lengkap. Tetapi biarkan wisatawan menikmati Barong di Celuk, menikmati Tektekan di Kerambitan, menikmati pentas lainnya di tempat yang memang menjadi kekhas-annya. “ Dengan begitu, leng of stay (waktu tinggal wisatawan) bisa lebih lama, sekaligus  kabupaten lain bisa ikut menikmati ‘percikan’ pariwisata tersebut,” paparnya.

Kemudian untuk pengelolaan Taman-taman/ruang terbuka hijau di Bangkok, memang benar-benar memperhatikan,menyajikan taman yang tertata apik, hijau, dan asri. “ Tentu ini menjadikan wisatawan akan mendapat point awal yang bagus,” selanya. Contoh lain dari pengembangan seni dan budaya, di Thailand memang banyak memberdayakan para transgender dalam setiap pertunjukan. “ Namun justru ke khasan tersebut menjadi salah satu daya tarik wisatanya, “ sela ibu cantik dan energik ini.

Thailand, seperti diketahui, adalah negara yang tidak pernah dijajah. Maka boleh dikatakan tidak memiliki pahlawan seperti di Indonesia. “ Untuk mengemas produk wisata, mereka hanya mengangkat thema kepahlawanan dari kisah di epos Mahabarata dan Bratayuda yang juga populer di Thailand. Nah, untuk itu kita sebenarnya lebih banyak punya kisah pahlawan, ” imbuhnya.

Maka menurutnya, sekarang yang diperlukan – sekali lagi – adalah komitmen pemerintah (sebagai pengambil kebijakan) bekerjasama dengan instansi terkait, juga seniman, dan kaitannya, kemudian semua itu juga untuk meningkatkan mutu SDM yang ada. “ sebab sejauh ini dari sudut pariwisata, Kita belum mampu menjadi price maker (baru price taker), kita masih tergantung harga pada mereka, bukan kita yang menentukan harga kita pada mereka (wisatawan, red),”urainya.

“ Sedangkan di Thailand soal Price Maker, mereka sudah mampu. Nah, pertanyaannya sekarang, bisakah semua itu diterapkan di Bali ?,  “ ujar Laksmi. HP-MB