MENCUATNYA fenomena joged pornoaksi di dunia jejaring berbagi video bersama, Youtube seakan telah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dalam realitas sosial budaya di tengah kehidupan masyarakat kekinian. Pasalnya, kejadian maraknya gambar joged pornoaksi dalam perangkat teknologi internet selama ini masih sangat sulit untuk dihilangkan. Ini karena fenomena itu kembali muncul dan meresahkan denyut nadi kehidupan seniman Bali terutama para penari joged bumbung.

Tak hanya itu, para praktisi, akademisi, dan budayawan serta tokoh masyarakat pun turut merasa sedih dan prihatin sekaligus kecewa dengan kinerja pemerintah dalam mengantisipasi kejadian maraknya joged pornoaksi sebagai seni pertunjukan di depan publik dan bahkan disiarkan dalam bentuk video atau gambar secara mendunia melalui jejaring sosial berbagi video bersama, Youtube. Meskipun sebelumnya sudah sempat dilakukan tindakan pembinaan maupun pemblokiran joged pornoaksi dari situs internet Youtube tersebut.

Fenomena joged pornoaksi ini bagaikan pepatah ibarat nila setitik rusak susu sebelanga. Ini karena perilaku seni pertunjukan joged pornoaksi segelintir sekaa joged pornoaksi dapat merusak upaya peningkatan dan pengembangan kebudayaan bangsa yang berbasis kearifan budaya lokal Bali. Akibatnya, penguatan tata nilai adiluhung dari kekuatan ruh dan taksu kebudayaan bangsa menjadi semakin terancam dan bahkan cenderung kehilangan semangatnya dalam konsep ngayah tulus iklas tanpa pamrih.

Celakanya, penelanjangan tubuh perempuan dalam pertunjukan seni budaya berupa joged pornoaksi di depan publik ini seakan terjadi karena adanya tindakan pembiaran oleh pejabat bersama masyarakat di desa pekraman terutama di tingkat banjar. Ini diperkuat dengan adanya tindakan pemaksaan terhadap sekaa joged dari persekusi kelompok tertentu di desa pekraman supaya menampilkan pertunjukan seni joged pornoaksi. Ini artinya penari diperintah untuk menghilangkan rasa malu demi daulat uang dan daulat pasar, karena dipicu desakan sistem ekonomi kapitalisme global.

Implikasinya, pertunjukan seni budaya joged pornoaksi dicap publik hadir sebagai produk kehidupan berkesenian yang cacat moral, karena direkayasa oleh nafsu dari politik relasi kuasa yang berbasis keuntungan finansial semata dan sesaat saja tanpa adanya perubahan status ekonomi secara sistemik dan berkelanjutan bagi sekaa joged termasuk para penari jogednya. Tak pelak, kekuatan pengaruh ideologi pasar, ideologi patriarki, ideologi gender, dan ideologi seks seakan bergerak secara simultan melegitimasi pertunjukan seni joged pornoaksi di tengah kehidupan masyarakat kekinian.

Menariknya, fenomena joged pornoaksi ini bahkan telah menjadi kajian ilmiah dan telah diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Komodifikasi Tubuh Perempuan: Joged “Ngebor” Bali tahun 2010 oleh Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja. Di mana ditegaskan bahwa pertunjukan seni budaya yang salah kaprah dan cacat moral seperti joged pornoaksi harus mendapatkan perhatian lebih serius dan bersama-sama baik negara maupun para juru moral, sehingga proses hegemoni terhadap penelanjangan tubuh perempuan di depan publik atas dalil kepentingan modal ekonomi tidak semakin meresahkan dan merusak citra budaya bangsa dalam konteks kebermaknaan secara sosiobudaya di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat.

Menggugat Modal Kultural

Dinamika kehidupan seni pertunjukan joged bumbung memang cukup dilematis. Pertunjukan seni pergaulan yang bersifat balih-balihan (hiburan) dan sangat digemari masyarakat merupakan modal kultural dalam kebudayaan bangsa. Ironisnya, acapkali terhegemoni pengaruh negatif budaya global. Hingga terkonstruksi sebagai budaya salah kaprah dan cacat moral. Tak pelak, pencitraan dari pertunjukan seni budaya berbasis kearifan lokal khas daerah Bali ini pun tersandera sebagai tarian pornoaksi dengan goyang ngebor dan erotis. Bahkan, tarian joged bumbung sebagai tarian pergaulan yang nyeni disulap menjadi tarian demonstrasi aksi yang cenderung meniru tarian striptease, yakni dari olah gerakan tubuh sensual menjadi seksual. Karena ulah nakal dan nyeleneh dari segelintir penarinya, yang cenderung mengobral goyangan pornoaksi dan erotis.

Kenyataan ini menuntut publik untuk melihat kebudayaan bukan semata-mata sebagai komoditas ekonomis berbasis keuntungan finansial semata, melainkan justru harus dilihat sebagai sebuah ekspresi estetis, dan warisan adiluhung, sehingga tidak menjadi sekadar pertarungan politik dari kelompok dominan, berkuasa, dan bermodal yang dipicu budaya konsumtif dan hedonis berbasis kepentingan kapitalisme global. Dalam konteks ini, gagasan ide dari pertunjukan seni baik joged pakem sebagai modal kultural yang secara skematis mengandung unsur baik, benar, indah, dan terhormat tidak sampai kehilangan tata nilai adiluhung dari kekuatan ruh dan taksunya sebagai bagian dari kebudayaan bangsa, karena pengaruh buruk dari seni pertunjukan joged pornoaksi dan erotis yang cenderung mengejar modal ekonomi secara instan.

Atas dasar itulah, para elite politik penguasa pemangku kebijakan mulai dari tingkatan paling tinggi hingga terendah di lingkungan desa pekraman dituntut untuk menunjukkan pengabdian dan pengorbanannya sebagai pengayom setia kepentingan khalayak publik, masyarakat luas dalam menjaga ruh dan taksu kebudayaan bangsa berbasis kearifan budaya lokal Bali terutama pertunjukan joged bumbung, agar tidak tergerus arus budaya salah kaprah dan cacat moral seperti halnya joged pornoaksi dan erotis.

Prof. Dr. I Wayan Dibia, selaku Guru Besar Insitut Seni Indonesia (ISI) Denpasar mengatakan bahwa pada dasarnya, konstruksi seni pertunjukan joged pornoaksi berkembang berawal dari kelemahan daripada para elite politik penguasa pemangku kebijakan di tingkat desa pekraman terutama tingkat banjar. Jadi secara publik yang paling bertanggungjawab atas maraknya seni pertunjukan joged pornoaksi dan erotis adalah masyarakat di lingkungan desa pekraman, terutama para kaum intelektual dan elite politik penguasa pemangku kebijakan di tingkat balai banjar termasuk bendesa adat secara kelembagaan maupun personal kepengurusannya.

Makanya, publik berhak menggugat kinerja pengurus dari kelembagaan desa pekraman demi keadilan dan penegakan hukum, karena dianggap secara nyata telah gagal dalam menjaga kebudayaan bangsa khususnya kearifan budaya khas Bali. Sebagai upaya pencerahan, pembaharuan, dan pendidikan guna mewujudkan kepribadian dalam proses berkesenian yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan lebih berkeadaban termasuk menghargai harkat dan martabat kaum manusia, dan bukan melecehkannya.

Dalam hal ini, Dinas Kebudayaan (Disbud) Bali dengan seluruh jajarannya dan dilengkapi lembaga Listibya Bali, Majellis Madya Desa Pakraman, Disparda Bali, Biro Hukum dan HAM Setda Bali, Polda Bali, serta sejumlah tokoh, pemerhati, dan budayawan harus lebih intensif melakukan pembinaan dan sekaligus penindakan hukum yang tegas dan berkeadilan secara holistik dan komprehensif terhadap para pelaku kejahatan yang dapat merusak citra budaya bangsa khususnya Bali.

Dra. Ida Ayu Putri Masyeni, Msi, selaku Kabid Kesenian & Perfilman Disbud Bali di ruang kerjanya dengan didampingi Sulastriani mengatakan memang sangat sulit sekali memulihkan citra atau image joged bumbung dari kesan pornoaksi. Kenapa ? Karena masih rendahnya kesadaran masyarakat dan juga seniman dalam memahami arti penting dari nilai estetika, etika dan moralitas dari kehidupan seni budaya Bali.

Ironisnya, para elite politik penguasa, termasuk perangkat lembaga desa pakraman Bali dan jajarannya malahan disinyalir sebagai provokator dari konstruksi budaya salah kaprah dan cacat moral itu. Makanya, para tokoh dari kalangan praktisi, akademisi, intelektual, seniman, hingga budayawan secara terus menerus dituntut harus berbenah atau introspeksi diri. Sebagai upaya konkret dalam menghapuskan beragam budaya salah kaprah dan cacat moral itu.

Sentilan ala Joged Pong

Bagaikan api dalam sekam. Itulah geliat denyut nadi kehidupan seni pertunjukan joged pornoaksi dan erotis di tengah masyarakat hingga merambah dunia internet melalui situs You Tube. Akibatnya, kewibawaan lembaga pemerintahan dalam hal ini Disbud Bali sebagai leading sector kebudayaan Bali pun sontak tercoreng. Bahkan, kualitas intelektualitas seniman dan budayawan pun seakan ditelanjangi. Pasalnya, pertunjukan joged bumbung pakem sebagai modal kultural terkonstruksi menjadi seni balih-balihan dalam modal tubuh, serta modal libido. Karena itu, unsur erotis sah saja dalam joged bumbung, namun tidak sampai tergelincir pada pornoaksi maupun kekerasan terhadap perempuan, baik dalam bentuk kekerasan fisik, seksual, psikologis, simbolik maupun ekonomi.

Menyikapi fenomena itulah, kelompok seni budaya dari sanggar Cahya Art, Denpasar pimpinan I Ketut Lanus, SSn tergelitik untuk menggarap sebuah tarian kreasi berjudul Joged Pong. Garapan seni pertunjukan ini sengaja diciptakan untuk menggugat pertunjukan seni joged bumbung pornoaksi yang sempat meresahkan apresiasi kreatif para pegiat seni budaya Bali. Tarian kreasi Joged Pong ini diciptakan tahun 2008 lalu ketika tarian joged bumbung menjadi wacana publik sebagai tarian pornoaksi. Tarian ini melibatkan penata tari Ling Riati, dan penata kostum, Dewa Ayu Wedana Asih dari sanggar Cahya Art Suka, Denpasar. Sementara itu, iringan gamelan digarap oleh komposer muda, I Ketut Lanus, SSn bersama rekannya sesama musisi akademis dan sebunan (alam).

Komposer Bali, I Ketut Lanus SSn mengatakan bahwa tarian joged Pong ini kali pertama dipentaskan dalam parade tari nusantara di Jakarta. Ketika itu penari yang dilibatkan sebanyak sembilan orang dengan durasi waktu lima menit. Namun, seiring waktu bergulir tarian Joged Pong ini terus mengalami perubahan baik olah gerak tarian maupun perpaduan kostum dengan iringan gamelannya. Karena harus menyesuaikan dengan kebutuhan dan keperluan dari pementasannya.

Menurutnya, hingga kini tarian Joged Pong ini acapkali ditampilkan dengan durasi waktu sekitar 7-10 menit dan melibatkan penari selalu ganjil antara 5-7 penari. Seperti dalam penampilan di atas panggung musik fiesta Kuta Karnival. Tarian ini disajikan sebagai sebuah tarian kreasi yang berdiri sendiri. Mengadaptasi tingkah polah gerak tarian joged bumbung yang telah dikomodifikasi sedemikian rupa, dengan tetap bertumpu pada nilai estetika, etika, dan norma berupa Satyam (kebenaran), Siwam (kesucian), dan Sundaram (keindahan), serta pakem tarian khas Bali.

Diakuinya, tarian Joged Pong ini disajikan dalam tingkah polah kocak dan enerjik sebagaimana tarian pergaulan. Hanya saja tidak melibatkan pengibing. Sehingga mampu tampil sebagai hiburan bernilai edukasi positif terhadap pencitraan seni pertunjukan joged bumbung. Karena hiburan yang kocak dan menggelitik itu tidak harus vulgar dan pornoaksi. “Goyangan pinggulnya tetap erotis, tetapi tidak pornoaksi,” katanya, sembari menegaskan bahwa tarian Joged Pong ini juga sudah sempat dipentaskan dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) tahun 2009 lalu.

Sementara itu, Disbud Bali juga sempat menggelar parade joged se-Bali tahun 2010 dengan melibatkan penari joged setiap kabupaten/kota dengan melibtkan tim juri, yang terdiri dari Prof. Dr. I Wayan Dibia MA, Ketut Arini, dan Nyoman Budiartha. Bahkan, saat itu para penari joged bersama para pengibing diberikan pengarahan mengenai seluk-beluk tentang tarian pergaulan dari joged bumbung tersebut. Mulai sejarah, perkembangan hingga pencitraannya yang terakhir ini menjadi sorotan publik sebagai tarian goyang pornoaksi alias joged pornoaksi dan erotis.

Rupanya, beragam upaya itu belum maksimal dan masih kalah cepat dengan tindakan pengerusakan melalui pementasan di tengah masyarakat desa pekraman hingga penayangan gambar atau video di dunia internet, Youtube. Salah siapa ataupun siapa salah. Rasanya bukan itu pertanyaan yang mesti dijawab. Tapi, bagaimana kita bersama secara proaktif menjaga kebertahanan ruh dan taksu seni budaya Bali yang mendunia supaya dapat lestari dan berkembang sepanjang zaman dalam konteks moralitas sosial yang berkeadaban dan lebih bermartabat. Jadi tunjukanlah kreativitas seni dalam gagasan ide kreatif dan inovatif yang lebih baik demi kepentingan kejayaan kebudayaan bangsa.(*)

 

Oleh I Nyoman Wija, SE, Ak., M.Si*

Penulis adalah Jurnalis dan Fotografer sebuah Media Harian di Bali, yang juga aktivitas Kordem Bali Pemerhati Sosial Budaya dan Karyasiswa Kajian Budaya Pascasarjana Unud Denpasar.