Mencari Format Ideal Relasi Eksekutif-Legislatif
Jakarta (Metrobali.com)-
Eksistensi eksekutif dan legislatif dalam sistem demokrasi merupakan pilar yang menopang berdirinya sistem tersebut sehingga tentu saja diperlukan adanya relasi yang baik diantara kedua lembaga itu namun tetap diperlukan adanya mekanisme “check and balances”.
Proses check and balances itu berlangsung terkait erat dengan salah satu fungsi legislatif yaitu pengawasan, yang dijalankan setelah lembaga itu membuat peraturan perundang-undangan lalu pemerintah menjalankannya dan kemudian diawasi pelaksanaannya.
Terkadang dalam proses pengawasan itu terjadi “gesekan” antara kedua lembaga itu, misalnya di tingkat nasional di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo yang ingin menaikkan harga Bahan Bakar Minyak bersubsidi, kalangan DPR RI menyuarakan adanya hak angket.
Langkah DPR RI itu tentu saja membuat pola relasi kedua lembaga itu memanas meskipun hingga saat ini “bola panas” itu tidak jelas arahnya karena tenggelam begitu saja. Lalu instruksi Sekretaris Kabinet agar para menteri tidak menghadiri rapat di DPR RI di awal pemerintahan, menimbulkan respon dari internal DPR RI Munculnya dua poros kekuatan di legislatif yaitu Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat membuat relasi antara eksekutif-legislatif semakin menarik. KMP memposisikan diri sebagai partai di luar pemerintahan dan KIH sebagai partai pendukung pemerintah, dan disini proses tarik menarik kepentingan terjadi.
Ketua DPP Partai Hanura Dossy Iskandar mengatakan bangunan republik harus tetap dikuatkan yaitu dengan penguatan legislatif karena lembaga itu menjalankan fungsi “check and balances”.
“Membangun negara harus berdasarkan kepercayaan, masing-masing kekuasaan menjalankan tugasnya. DPR membentuk undang-undang bersama pemerintah dan pemerintah menjalankannya lalu legislatif mengawasi pelaksanaannya,” kata Dossy.
Menurut dia, DPR RI selama ini menjalankan tiga fungsi pengawasan terhadap eksekutif yaitu “control of executive”, “control of expenditure”, dan “control of taxation”. Hal itu ujar dia agar eksekutif melakukan sesuai dengan kebijakan apa yang telah ditetapkan oleh legislatif.
Pada masa sidang kedua tahun 2014-2015, DPR RI telah mengesahkan Undang-Undang APBN Perubahan 2015 yang diajukan pemerintah. UU itu merupakan titik penting bagaimana pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menjalankan janji-janji politiknya karena diawal pemerintahannya menggunakan anggaran “warisan” dari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.
Dossy menilai pengesahan UU APBN-P 2015 melahirkan bentuk check and balances oleh DPR terhadap pemerintah.
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Max Sopacua menegaskan partainya mendukung penuh pengesahan UU APBN-P 2015 karena berisikan program-program yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat. Partai Demokrat menurut dia meskipun memposisikan diri sebagai penyeimbang, namun tetap mendukung kebijakan pemerintah yang pro rakyat.
“Dalam UU APBN-P 2015 itu ada kepentingan rakyat sehingga kami ikut mengesahkan namun Demokrat sebagai partai penyeimbang akan mengkritisi apabila pelaksanaannya tidak sesuai janji pemerintah,” ujar Max.
Dia mengatakan poin-poin yang terkait dengan kepentingan untuk kesejahteraan rakyat akan menjadi titik tekan partainya untuk mengkritisi pemerintah apabila kebijakan yang dikeluarkan tidak pro rakyat. Max mencontohkan pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, infrastruktur, dan pertanian merupakan bidang yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.
“Apabila tidak sesuai dengan keinginan rakyat akan kami kritisi namun sebaliknya akan kami dukung,” ujarnya.
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal PKS Taufik Ridho mengatakan meskipun partainya menempatkan diri di luar pemerintahan namun tetap mendukung kebijakan pemerintah yang pro rakyat.
Karena itu menurut dia, berbagai program yang akan dijalankan Presiden Jokowi apabila sesuai dengan kepentingan rakyat maka tidak akan dihambat oleh partainya.
“Fungsi kontrol kami serahkan di DPR RI, misalnya saat ini sudah disetujui sebuah undang-undang namun ternyata pemerintah tidak menjalankannya maka mekanisme konstitusi yang akan berjalan,” ujarnya.
Taufik mengatakan KMP khususnya PKS, tidak akan menghambat program yang sudah dirancang pemerintah namun saat ini belum bisa dievaluasi karena APBN-P 2015 baru disahkan.
Menurut dia setelah APBN-P 2015 dijalankan maka baru bisa dilihat apakah pemerintah menjalankan janji-janjinya atau tidak, dan legislatif akan menjalankan fungsi pengawasannya.
“Semua sektor akan kami awasi,” tegasnya.
Konstitusi Menjadi Landasan Pasca pembatalan pelantikan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri oleh Presiden Jokowi, beberapa anggota DPR RI mempertanyakan langkah Presiden tersebut. Hal itu disebabkan karena presiden sudah mengajukan nama BG sebagai calon Kapolri ke DPR namun setelah disetujui legislatif, ternyata presiden tidak melantik.
Namun langkah mempertanyakan sikap presiden itu tertunda karena DPR RI memasuki masa reses II tahun 2015.
Selain itu dalam perkembangan kekinian, keputusan Menteri Hukum dan HAM Yasona H Laoly yang mengesahkan Partai Golkar hasil Munas Jakarta menimbulkan protes dari kalangan fraksi yang tergabung dalam KMP.
Mereka menilai keputusan Menkumham terhadap Partai Golkar dan PPP menimbulkan kegaduhan dalam politik nasional sehingga mereka berencana mengajukan hak angket terhadap keputusan Menkumham tersebut.
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Max Sopacua menilai relasi yang baik antara legislatif-eksekutif terkendala keputusan pemerintah yang sarat unsur politis. Menurut dia kebijakan Menteri Yasona itu berdasarkan pertimbangan politik bukan hukum.
“Apabila ada hal yang menyangkut keputusan di luar kebijakan dan di luar teori hukum maka akan sulit (bagi pemerintah) meskipun komunikasi antar kedua lembaga berjalan baik,” katanya.
Dia menegaskan seharusnya pemerintah mengambil kebijakan berdasarkan pertimbangan hukum bukan politis karena bisa menimbulkan kekisruhan hubungan antara eksekutif-legislatif.
Ketua DPP Partai Hanura Dossy Iskandar menilai DPR RI memiliki hak melakukan pendalaman terkait kebijakan mengenai calon Kapolri, artinya apakah langkah Presiden Jokowi itu mengada-ada atau merespon dinamika masyarakat.
Dia menilai dalam masalah itu seharusnya dilihat dalam kerangka positif bahwa Presiden Jokowi dihadapkan pada persoalan mekanisme kenegaraan konstitusional dan figur yang benar-benar sesuai harapan masyarakat.
“DPR menunggu apa yang menjadi alasan Presiden dalam dua perspektif yaitu mekanisme kenegaraan dan dinamika masyarakat,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal DPP PKB Abdul Kadir Karding menilai apa yang dilakukan DPR dalam permasalahan calon Kapolri merupakan kondisi wajar yaitu adanya dinamika dalam demokrasi. Menurut dia dinamika itu mendorong adanya perbaikan kualitas demokrasi di masa depan.
“Secara umum relasi antara eksekutif-legislatif sudah cukup baik terbukti dari pembahasan APBN-P 2015 relatif lancar,” katanya.
Karding menilai perlu hubungan yang lebih baik antara kedua lembaga itu sehingga agenda pembangunan dan penyusunan regulasi berupa UU bisa lebih lancar.
Bangun Komunikasi Antar Lembaga’ Abdul Kadir Karding mengatakan membangun pola hubungan yang lebih baik antara eksekutif-legislatif bisa dilakukan dengan komunikasi yang dilakukan secara intensif. Dia menilai komunikasi itu diperlukan untuk menghindari adanya salah pahaman antara kebijakan yang dilakukan eksekutif oleh legislatif.
Dossy Iskandar yang juga Ketua Fraksi Hanura di DPR RI menjelaskan agar tugas kepresidenan dan fungsi DPR berjalan dengan baik maka diperlukan komunikasi antara dua lembaga itu.
Ketika pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pimpinan lembaga negara rutin melaksanakan pertemuan dengan tempat pelaksanaannya bergantian. Pertemuan itu rutin dilaksanakan tiap tiga bulan sekali dengan membahas berbagai persoalan.
Sementara itu di era pemerintahan Presiden Jokowi, pertemuan antar lembaga negara dijadwalkan akan rutin dilakuka tiap dua bulan sekali.
Dossy tidak mempersoalkan mengenai format komunikasi yang dibentuk antar lembaga itu namun dirinya menyebutkan bahwa sifatnya harus memperbaharui informasi peristiwa antar kedua lembaga itu.
“Saya tidak tahu mau dibentuk nama forumnya apa namun harus di ‘upgrade’, apakah formal pimpinan lembaga negara dengan presiden atau Presiden mengatur waktu,” ujarnya.
Menurut Dossy isi pertemuan itu harus serius membicarakan masalah kenegaraan dan pembangunan bangsa untuk tujuan mensejahterakan rakyat. Dia menekankan prinsip gotong royong harus diutamakan dalam pola komunikasi ini, dan dibangun dalam pengertian positif.
Pola komunikasi yang baik antara eksekutif, dalam hal ini Presiden bersama pembantunya, dan legislatif harus terus berjalan dengan harmonis.
Intensitas pelaksanaan komunikasi bukan menjadi tolak ukur utama agar relasi kedua lembaga itu berjalan baik namun yang penting adalah isi komunikasi itu harus solutif menyelesaikan masalah kebangsaan.
Namun di sisi lain, legislatif harus tetap kritis dalam mengawasi kinerja pemerintahan sebagai bentuk mekanisme check and balances berjalan dengan baik dalam sistem demokrasi Indonesia. AN-MB
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.