Menatap Fajar Mentari Bali Tahun Baru Caka 1947 : “Ajeg” Bali Sekadar Jargon, Melahirkan Fenomena “Ajeng” Bali?
Denpasar, (Metrobali.com)
Perayaan Nyepi telah berlalu, setiap ritual keagamaan punya potensi kelebihan takaran, nyaris mirip sebuah industri. Ambisi besar mendekatkan diri pada Tuhan, tetapi faktanya realitas ke seharian amat sering berlawanan.
Hal itu dikatakan Jro Gde Sudibya, intelektual Bali, pengamat budaya dan kecenderungan masa depan, Minggu 30 Maret 2025, menyikapi makna Nyepi dan kepemimpinan Bali lima tahun ke Depan dibawa komando Wayan Koster dan Nyoman Giri Prasta.
Menurut Jro Gde Sudibya, apa yang disebut para teolog sebagai atheis praktis, secara teori percaya pada Tuhan dan ajaran agama, tetapi dalam praktik, “jauh panggang dari api” alias “nyaplir”, karena Tuhan praktis dianggap tidak ada. Akibatnya terjadi kemenduaan dan bahkan kemunafikan kehidupan, kaya atribut keagamaan, miskin substansi spiritualitas.
Dikatakan, bukanlah aneh dalam perjalanan sejarah agama dan sejarah Tuhan, agama dan bahkan Tuhan dijadikan sebagai simbol dalam perebutan kekuasaan dan bahkan perang atas nama agama.
Menurutnya, dalam hari-hari pertama sasih Kedasa, tahun baru Caka 1947, bagaimana kita memberikan persepsi terhadap fajar mentari pagi Bali, dalam bulan “bersih” Kedasa, menuju piodalan Purnama Kedasa.
Semestinya, Ritual keagamaan yang disebut: “Ngusaba Gumi”, “Bhakti Neduh”, yang bermakna “angayu bagya” untuk kesejahteraan lahir batin yang dibetkati Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Pertama, persepsi dan pemaknaan “Ajeg” Bali, dalam pengertian postif-konstuktif visioner. Ajeg Bali, sebagai ekspresi rasa percaya diri, optimisme dalam menjaga, melestarikan peradaban dan kebudayaan Bali dalam merespons tantangan perubahan zaman.
“Ajeg Bali sebagai proses dinamis, berangkat dari kearifan masa lalu, membangun visi masa depan, melalui tindakan nyata di hari-hari ini,” kata I Gde Sudibya.
Dikatakan, pengejawantahan kearifan manajemen waktu adalah kehidupan Tri Semaya. Ajeg Bali, sebagai strategi budaya dalam proses pertemuan budaya, akumulasi budaya dan bahkan “perang” budaya, untuk memenangkan pertarungan budaya yang merupakan keniscayaan sejarah.
Kedua, bagi kalangan yang bersikap skeptis, melihat realitas sosial yang ada, kerusakan lingkungan alam, keterpinggiran ekonomi masyarakat lokal, ketergerusan budaya, “Ajeg” Bali, sebatas jargon untuk menutupi kekalahan dan atau menunda kekalahan, dalam persaingan ketat-sengit kehidupan yang terutama distimulasi oleh kapitalisme pariwisata.
Ketiga, bagi mereka yang sinis, skeptis dan nyaris kehilangan harapan, “Ajeg” Bali, diplesetkan menjadi “Ajeng” Bali, semuanya bisa (maaf) dimakan, dalam artian semuanya bisa dijual, terhadap harta kekayaan material dan non material yang ada dan atau yang dimiliki Bali.
Dikatakan, Harta berwujud, mulai dari: tanah pertanian nan subur, hutan, lingkungan Danau, DAS dan semua Harta benda berwujud lainnya. Harta budaya yang tidak berwujud, -intangible culture asset-: dalam bentuk komersialisasi: sistem keyakinan, tempat suci, alam penyangga: pelestarian lingkungan dan merawat kesucian.
“Komersialisasi dan atau “penjualan” nya untuk keuntungan jangka pendek, cepat dapat uang -Quick yeilding-, tidak lagi peduli terhadap biaya sosialnya,” kata Jro Gde Sudibya, intelektual Bali, pengamat budaya dan kecenderungan masa depan.
Jurnalis : Nyoman Sutiawan