HARUMNYA  bunga, wangi dan dupa menyebar dalam lingkungan banjar, yang kondisinya masih asri dan lestari di Banjar Ole, Desa Marga Dauh Puri, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, 25 km barat laut Kota Denpasar.

Alunan instrumen musik tradisional Bali (gamelan) dari rekaman kaset tape recorder mengiringi persembahyangan di tempat suci tingkat rumah tangga (merajan), maupun di Pura Desa saat umat Hindu merayakan Hari Suci Kuningan, Sabtu (2/11).

Itulah suasana perayaan Hari Kuningan, yang jatuh sepuluh hari setelah Hari Suci Galungan yang bermakna untuk memperingati kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan).

Suasana demikian berlangsung di mana saja, baik di daerah perkotaan maupun pelosok pedesaan Pulau Dewata. Pria, wanita mulai dari anak-anak, dewasa hingga orang tua dengan mengenakan busana adat khas Bali nominasi warna putih sejak pagi hari sudah melakukan persembahyangan di tingkat rumah tangga.

Setelah itu mereka melakukan kegiatan serupa pada tiga pura dalam lingkungan desa pekraman (adat) masing-masing. Namun masyarakat Banjar Ole yang lokasinya bersebelahan dengan Candi Pahlawan Taman Pujaan Bangsa Margarana melakukan kegiatan ritual itu pada enam buah Pura yang diwarisinya secara turun temurun.

Keenam pura itu meliputi Pura Bale Agung, Pura Puseh, Pura Raja Pati, Pura Dalem Gede, Pura Dalem Sengawang dan Pura Dalem Base. Pura Dalem Base itu dulu pernah digunakan sebagai tempat sembahyang oleh pasukan Ciung Wanara yang dipimpin Brigjen anumerta I Gusti Ngurah Rai sebelum perang puputan melawan penjajah yang ingin kembali menguasai Indonesia, 20 November 1946.

Demikian pula umat Hindu di Kota Denpasar dan sekitarnya setelah melakukan persembahyangan di tempat suci keluarga melakukan kegiatan yang sama di Pura Jagatnatha jantung Kota Denpasar.

Seusai melakukan persembahyangan di pura Jagatnatha mereka melakukan hal yang sama ke Pura Sakenan, Kelurahan Serangan, 12 km arah selatan kota Denpasar.

Umat dengan naik sepeda motor maupun mobil dapat dengan mudah ke Pura Sakenan, tempat suci yang sebelumnya terpisah dengan daratan Pulau Dewata, sehingga umat Hindu yang bersembahyang ke sana sebelum tahun 2001, harus menggunakan jasa perahu motor atau jukung.

Namun sekarang lokasi tersebut menyatu dengan daratan Pulau Bali, berkat adanya pengerukan dan perluasan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan swasta nasional, sehingga daerah itu kini menyatu dengan daratan Bali.

Dengan demikian masyarakat secara mudah dapat menjangkau lokasi Pura dengan kendaraan bermotor. Hari Raya Kuningan yang jatuh bertepatan dengan upacara besar (pujawali/piodalan) di Pura Sakenan.

Pura Sakenan, salah satu Pura “Sad Kahyangan” (pura besar) memiliki keunikan dan keistimewaan dibanding tempat suci lainnya di Pulau Dewata, yakni terdapat “Persada” berupa bangunan yang bertingkat-tingkat seperti limas.

Menurut sejarah pura Sakenan dibangun oleh Asthapaka, seorang pendeta Budha. Hal itu dilakukan karena sang pendeta kagum akan keindahan laut terpadu dengan keindahan daratan.

Sang pendeta merasakan bahwa, di tempat itu ada suatu kekuatan suci, sangat baik untuk memuja Tuhan demi keselamatan dan kesejahteraan umat manausia.

Dapatkan Sinar Suci Ketua Program Studi Pascasarjana (S-3) Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar Dr I Ketut Sumadi mengharapkan umat Hindu pada hari raya Kuningan agar mampu memaknai mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa untuk mendapatkan sinar suci.

Selain itu memohon kemakmuran (amertha), mengasah kemampuan intelektual dan memperhalus budi pekerti. Umat Hindu pada hari raya Kuningan juga menghormati para leluhur dengan harapan kehidupan sekarang menjadi lebih baik.

Leluhur telah berjasa dalam memenangkan kebaikan dan menegakkan kebenaran termasuk menjaga keserasian dan keharmonisan antara sesama manusia, lingkungan dan Tuhan Yang Maha Esa.

Sumadi yang juga pengamat agama, adat, budaya dan pariwisata itu menambahkan Hari Raya Kuningan merupakan ajang untuk memperbaiki tingkah laku, sekaligus mengasah kemampuan intelektual dan memperhalus budi pekerti.

Hari suci Kuningan yang dirayakan setiap 210 hari sekali, atau sepuluh hari setelah Galungan merupakan hari turunnya para Dewata dan para leluhur ke dunia untuk memberikan penganugrahan kepada umat manusia.

Oleh sebab itu, umat patut bersyukur dan menghaturkan persembahan yang didasari rasa tulus ikhlas dan penuh rasa bhakti dengan melakukan persembahyangan maupun meditasi.

Umat Hindu pada hari raya Kuningan itu menghaturkan banten (rangkaian janur kombinasi bunga dan buah-buahan sebagai wujud rasa bhakti dan syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Upakara yang dihaturkan di “Sanggah Kemulan” dibagi menjadi dua, yaitu upakara yang dihaturkan di “Sanggah Kemulan Rong Tengah”, terdiri dari banten pejati asoroh, banten danan, selanggi dua buah, nasinya berwarna kuning dan canang pesucian.

Kemudian upakara yang dihaturkan di “Sanggah Kemulan Rong Kanan dan Rong Kiri”, yaitu masing-masing “banten sodan kuning”, “banten danan dan selanggi” dua buah.

Upakara yang dipersembahkan pada pelinggih lainnya, yaitu “banten sodan kuning”, “banten danan”, selanggi dua buah.

Isinya masing-masing mengandung makna dan simbol antara lain, nasi sebagai simbul amertha (kemakmuran) dan cinta kasih Sang Hyang Widhi Wasa kepada umatnya.

Sedangkan upakara yang digunakan untuk mendoakan manusia adalah “sesayut prayascita lwih”, untuk memohon kesucian pikiran dan tidak putus-putusnya untuk melakukan yoga semadi.

Selain mempersembahkan upakara tersebut, umat Hindu juga wajib mempersembahkan “Tamyang” sebagai simbol senjata cakra yang merupakan kekuatan Wisnu.

Oleh sebab itu sepeda motor maupun kendaraan yang lalu lalang di jalan raya saat hari raya Kuningan dihiasi dengan “Tamyang” yang terbuat dari rangkaian janur.

Makna hari raya Kuningan tidak hanya diaplikasikan saat hari berlangsungnya Kuningan, namun juga dalam kehidupan sehari-hari, termasuk tingkah laku yang senantiasa berlandaskan dharma, (kebaikan), tutur Ketut Sumadi.  Sutika/MB