Menakar Tanggungjawab Sosial Lembaga Penyiaran Radio Dalam Bentuk ILM
Oleh :
I Nengah Muliarta (HP. 081338576547)
Praktisi Penyiaran Bali dan
Konsultan Bali Broadcast Academia (BBA)
Sebagai media komunikasi massa dengar, lembaga penyiaran radio memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, kontrol dan perekat sosial. Kendati pada sisi lain lembaga penyiaran radio juga memiliki fungsi hiburan bagi masyarakat. Sebagai lembaga yang menggunakan frekuensi publik, sudah sepatutnya lembaga penyiaran radio menjalankan tanggungjawab sosialnya kepada masyarakat. Lembaga penyiaran radio sebagai media komunikasi massa harus memberikan kontribusi melalui siaranya dengan mengarahkan masyarakat untuk menuju kea rah yang lebih baik. Salah satu wujudnya dalam bentuk siaran adalah pesan/iklan layanan masyarakat (ILM). Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran disebutkan bahwa “iklan layanan masyarakat (ILM) adalah siaran iklan nonkomersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan gagasan, cita-cita, anjuran, dan/atau pesan-pesan lainnya kepada masyarakat untuk mempengaruhi khalayak agar berbuat dan/atau bertingkah laku sesuai dengan pesan iklan tersebut”.
Melalui siarannya, lembaga penyiaran radio dapat mempengaruhi pola pikir pendengarnya. Sekaligus dapat menggerakkan solidaritas masyarakat/pendengarnya untuk menghadapi permasalahan yang ada. Kecenderunganya ILM digunakan untuk memperbaiki kesalahan atau perubahan nilai yang terjadi di masyarakat. Dampak penayangan ILM terhadap perubahan pola pikir masyarakat sudah terbukti sejak lama. Melalui ILM lembaga penyiaran memiliki peran dalam menggerakkan masyarakat untuk melakukan perbaikan. Jika dicermati dari segi tujuan, ILM merupakan kampanye sosial yang bertujuan menawarkan ide atau pemikiran untuk kepentingan layanan masyarakat umum. Mengingat ILM berisi pesan ajakan kepada masyarakat untuk melakukan suatu aksi untuk kepentingan umum.
Berdasarkan hasil survey uji petik yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPID) Bali pada 2014 terhadap 15 radio menunjukkan hanya 5 radio yang memproduksi ILM sendiri. Sedangkan radio lainnya menayangkan ILM milik lembaga atau instansi lain. Kondisi ini berarti hanya 5 radio yang memiliki kesadaran akan hak publik untuk mendapatkan informasi dan pendidikan melalui ILM. Hanya 5 radio yang memiliki rasa tanggungjawab terhadap penggunaan frekuensi milik publik dan rasa penghormatan terhadap ruang publik. Hanya 5 radio juga yang tahu akan kewajiban kepada public taat pada aturan penyiaran.
Terdapat beberapa alasan yang disampaikan dari lembaga penyiaran radio yang tidak memproduksi dan menayangkan ILM. Alasan pertama adalah tidak memiliki studio produksi. Alasan Kedua tidak memiliki dana produksi. Alasan ketiga adalah tidak memiliki tim kreatif untuk produksi ILM. Alasan tidak memiliki studio produksi, tentu terlalu mengada-ada sebab produksi iklan layanan masyarakat bisa dibuat tanpa perlu studio khusus atau membeli dari pihak lain. Apalagi saat ini teknologi telah berkembang pesat sehingga peralatan yang diperlukan juga cukup sederhana yaitu komputer, software cool edit pro atau adobe audition dan alat perekam. Alasan tidak memiliki dana untuk memproduksi ILM juga terlalu mengada-ada, karena tentunya lembaga penyiaran harus memiliki dana untuk operasional. Begitu juga alasan tidak memiliki tim kreatif juga terdengar sangat aneh. Sebuah lembaga penyiaran radio yang merupakan sebuah industri kreatif tentu harus memiliki tim kreatif. Alasan-alasan tersebut seharusnya tidak muncul, jika terdapat rasa tanggungjawab dan mengetahui kewajiban dari penggunaan frekuensi yang merupakan milik publik.
Penayangan ILM merupakan sebuah kewajiban bagi lembaga penyiaran sesuai aturan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran pasal 46 ayat (7). Pada ayat (9) disebutkan “waktu siaran iklan layanan masyarakat untuk lembaga penyiaran swasta paling sedikit 10 persen dari siaran iklan niaga, sedangkan untuk lembaga penyiaran publik paling sedikit 30 persen dari siaran iklanya. Bila sebuah lembaga penyiaran radio swasta bersiaran selama 18 jam per-hari, maka durasi siaran iklan niaganya 20% dikali 18 jam yaitu 3,6 jam. Guna menghitung durasi siar ILM dapat dilakukan dengan mengalikan 10% dikali 3,6 jam yaitu sebanyak 0,36 jam (21,6 menit). Penghitungan yang sama juga dapat dilakukan untuk durasi siar ILM untuk lembaga penyiaran radio publik. Apabila lembaga penyiaran radio publik tersebut bersiaran selama 18 jam per-hari, maka durasi siaran iklan niaganya 15% dikalikan 18 jam yaitu 2,7 jam. Durasi siar ILM untuk lembaga penyiaran radio publik akan menjadi 30% dikalikan 2,7 jam yaitu 0,81 jam (48,6 menit).
Dalam Pedoman Prilaku Penyiaran (P3) bahkan terdapat aturan terkait penayangan ILM secara cuma-cuma. Pasal 44 ayat (4) P3 menyebutkan lembaga penyiaran wajib menyediakan slot iklan secara cuma-cuma sekurang-kurangnya 50 persen dari seluruh siaran iklan layanan masyarakat per-hari untuk iklan layanan masyarakat yang berisi : keselamatan umum, kewaspadaan pada bencana alam, dan/atau kesehatan masyarakat, yang disampaikan oleh badan-badan publik. Jika durasi siar ILM pada lembaga penyiaran radio swasta sebanyak 21,6 menit, maka durasi siar iklan yang harus disiarkan secara cuma-cuma oleh radio swasta sebesar 21,6 menit dikalikan 50% yaitu 10,8 menit. Sedangkan pada lembaga penyiaran radio publik sebanyak 48,6 menit dikali 50% yaitu 24,3 menit. Khusus untuk ILM yang berasal dari lembaga pemerintah atau institusi sosial lembaga penyiaran wajib memberikan potongan harga sekurang-kurangnya 50 persen dari harga siaran iklan niaga, sesuai ketentuan dalam pasal 44 ayat (5) P3. Tentunya kewajiban-kewajiban tersebut terkait hak masyarakat sebagai pemilik frekuensi untuk mendapatkan informasi dan pendidikan secara cuma-cuma melalui ruang publik di lembaga penyiaran. Ketentuan pada pasal 44 ayat (4) dan (5) juga memberi amanah bahwa lembaga penyiaran juga wajib memproduksi dan menyiaran ILM, tanpa menunggu adanya permintaan ataupun pesanan dari badan-badan publik. Kewajiban terhadap pemberian potongan harga khusus terhadap penayangan ILM juga diatur dalam Standar program siaran (SPS) pasal 60 ayat (4). Aturan terkait penayangan disetiap program juga diatur dengan jelas dalam ayat (6). Dimana disebutkan bahwa waktu siar program iklan layanan masyarakat wajib memperhatikan penyebaran tayangan di setiap program siaran per-hari.
Lembaga penyiaran radio yang tidak melakukan tanggungjawab sosial dalam bentuk penyiaran ILM dapat dikatakan telah melakukan tindakan korupsi durasi siar untuk ILM. Begitu juga terhadap lembaga penyiaran radio yang tidak secara penuh melakukan pemenuhan kewajiban persentase penayangan ILM. Jika dihitung secara material berapakah potensi kerugianya? Dengan asumsi bahwa durasi sebuah ILM adalah 1 menit (60 detik) dan dengan mengambil harga iklan spot untuk sekali putar sebesar Rp. 100.000, maka kerugian secara material dari satu lembaga penyiaran radio yang dalam sehari bersiaran 18 jam dapat ditentukan. Pertama, untuk lembaga penyiaran radio swasta yang memiliki kewajiban 50 persen (10,8 menit) siaran ILM yang harus diproduksi dan disiarkan secara cuma-cuma berpotensi merugikan sebesar Rp. 1.080.000. Kemudian untuk kewajiban ILM dengan harga 50 persen lebih rendah dari iklan niaga sebesar Rp. 540.000. Maka untuk lembaga penyiaran radio swasta yang tidak menyiarkan ILM dalam satu hari siaran berpotensi merugikan pemilik frekuensi sebesar Rp. 1.620.000. Bila diakumulasi dalam satu bulan, sebuah lembaga penyiaran radio swasta berpotensi merugikan pemilik frekuensi sebesar Rp. 48.600.000. Kedua, untuk lembaga penyiaran radio publik yang memiliki kewajiban 50 persen (24,3 menit) siaran ILM yang harus diproduksi dan disiarkan secara cuma-cuma berpotensi merugikan sebesar Rp. 2.430.000. Kemudian untuk kewajiban ILM dengan harga 50 persen lebih rendah dari iklan niaga sebesar Rp. 1.215.000. Jadi untuk lembaga penyiaran radio publik yang tidak menyiarkan ILM dalam satu hari siaran berpotensi merugikan pemilik frekuensi sebesar Rp. 3.645.000. Apabila diakumulasi dalam satu bulan, sebuah lembaga penyiaran radio publik berpotensi merugikan pemilik frekuensi sebesar Rp. 109. 350.000.
Kerugian material mungkin hanya bagian kecil saja, karena yang lebih penting adalah komitmen lembaga penyiaran terhadap apa yang disampaikan ketika meminta hak untuk mengelola frekuensi yang merupakan milik publik. Ketika meminta hak mengelola frekuensi melalui surat permohonan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), lembaga penyiaran menyampaikan berbagai komitmen. Beberapa komitmen tersebut diantaranya berupa surat pernyataan mematuhi dan melaksanakan Undang-Undang Penyiaran, surat pernyataan mematuhi P3 dan SPS. Pada saat lembaga penyiaran tidak menayangkan ILM dalam siarannya maka secara otomatis lembaga penyiaran radio telah melanggar komitmenya sendiri.
Pelanggaran terhadap penayangan ILM, baik disengaja atau tidak tentu berujung pada penjatuhan sanksi. Pasal 83 SPS menyebutkan lembaga penyiaran swasta yang tidak menyediakan waktu siaran untuk program siaran iklan layanan masyarakat paling sedikit 10 persen dari seluruh waktu siaran iklan niaga perhari, setelah mendapatkan teguran tertulis sebanyak 2 kali dikenakan sanksi adminitratif berupa denda administratif yang untuk jasa penyiaran radio paling banyak Rp. 100 juta. Sedangkan untuk jasa penyiaran televisi paling banyak Rp. 1 miliar. Bagaimana jika denda administratif tidak dilaksanakan? Pasal 84 SPS menyebutkan bahwa dalam hal lembaga penyiaran swasta tidak melaksanakan denda administratif dalam waktu 30 hari kalender setelah denda administratif dijatuhkan, maka sanksi ditingkatkan menjadi pembekuan kegiatan siaran sampai dipenuhinya kewajiban membayar denda administratif. RED-MB
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.