KUTA adalah sebuah kecamatan yang memiliki luas 17,5 kilometer persegi yang kini dimekarkan menjadi tiga kecamatan di wilayah Kabupaten Badung. Kuta merupakan tambang dolar pariwisata Bali.

Jika menengok sejarahnya, Kuta adalah sebuah kawasan yang memiliki sejarah panjang, pada zaman kerajaan, kawasan Kuta dan sekitarnya dikenal sebagai kampung nelayan, pelabuhan, dan kawasan niaga.

Mahapatih Majapahit, Gajah Mada sekitar tahun 1343 dalam menaklukkan Bali, melabuhkan armada tempurnya di kawasan pantai yang dinamai Tuban (di selatan) dan Canggu (di utara).

Di antara kedua kawasan itu dinamai Kuta yang berarti benteng, kubu pertahanan, atau tempat berlindung yang kini berkembang ratusan hotel dalam berbagai kelas serta tersedianya fasilitas pendukung kepariwisataan, tutur Wayan Jengki Sunarta, kurator pameran “Kuta Art Chromatic”.

Aktivitas seni yang melibatkan 132 seniman dari berbagai latar belakang itu akan dibuka oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan pada Senin (30/12) menampilkan karya yang unik menarik dalam seni patung, lukis, karya instalasi, dan karya foto.

Karya-karya seni mengacu pada warna dalam pengertian konotatif corak, ragam karakter, dan kompleksitas persoalan yang berusaha menelisik bagaimana untuk merespons wilayah kosmopolit tersebut.

Lewat aktivitas seni dan budaya itu lebih memberikan warna (chromatic) terhadap Kuta di mata pariwisata khususnya dalam kajian seni rupa, sekaligus memberikan pemaknaan yang bergerak lincah di antara fragmen-fragmen peristiwa atau kejadian di Kuta yang dengan sengaja menyajikan reaksi terhadapnya.

“Kuta Art-Chromatic” merupakan sebuah kegiatan untuk membangun dan memetakan kantong-kantong seni rupa yang tumbuh dan berkembang di Bali sebagai destinasi wisata internasional.

“Kuta sangat memungkinkan tumbuh dan berkembangnya karya-karya seni yang sekiranya harus memiliki wadah apresiasi publik kepada masyarakat umum, khususnya wisatawan untuk mendapatkan gambaran dan apresiasi seni rupa Kuta secara meluas,” ujar Wayan Jengki Sunarta.

Di antara ratusan seniman yang menggelar pameran bersama menyambut tahun baru 2014 itu antara lain seniman muda I Ketut Putrayasa (32) yang menyuguhkan karya terbaiknya patung Dewi Drupadi.

Karya seni yang dibuat dari bahan metal setinggi 2,45 meter, panjang 1,90 meter dan lebar 1,30 meter menggunakan limbah bekas besi beton bangunan dan akar kayu yang dipungutnya dari tepi laut untuk diubah menjadi karya seni yang unik dan menarik.

Karya seni patung modern yang digarap hampir selama tiga bulan itu menceritakan tentang penelanjangan Dewi Drupadi oleh Kurawa akibat kalah judi. Cerita tersebut mengandung makna yang mendalam tentang ibu pertiwi yang harus dijaga dan dipelihara sehingga tidak sampai dirampas oleh orang lain.

“Hal itu di Bali sebenarnya penuh dengan kritikan sosial untuk menjaga warisan sawah dan kebun di Pulau Dewata untuk tetap dapat dipertahankan di tengah perkembangan sektor pariwisata yang pesat,” ujar Ketut Putrayasa yang merintis usaha mandiri sambil kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.

Berbeda dengan Ubud Aktivitas seni budaya di Kuta, Kabupaten Badung, khususnya seni rupa berbeda dengan Ubud, Kabupaten Gianyar yang banyak dipengaruhi oleh perkembangan kesenian sekitarnya.

Namun Kuta memiliki keunikan tersendiri dari pengaruh latar belakang budaya pesisir yang membuat masyarakatnya cenderung sangat sensitif menerima pengaruh-pengaruh luar.

Budaya urban, budaya pop, dan bahkan budaya kosmopolitan dengan mudah berkembang. Percampuran budaya itulah yang banyak memengaruhi corak dan konten seni rupa di Kuta.

Kondisi itu jauh berberbeda dengan Ubud ataupun Sanur, Kuta memang tak memiliki akar sejarah dan tradisi seni rupa yang kuat. Dalam terminologi seni rupa di Bali, tak pernah dikenal “gaya Kuta”, sebagaimana orang mengenal gaya Ubud, Batuan, Pengosekan, Young Artist, atau pun Sanur School.

Menurut Wayan Jengki Sunarta yang juga pengamat seni dan budaya Bali, pada masa 1930-an hingga awal 1970-an, masyarakat Kuta hanya mengenal pengetahuan menangkap ikan (nelayan) dan bertani ala kadarnya.

Tidak ada patron (gaya) seperti Walter Spies, Rudolf Bonnet, Arie Smit, seniman mancanegara yang tinggal di perkampungan seniman Ubud atau tokoh puri yang memotivasi masyarakat Kuta untuk belajar melukis, mengorganisir, dan memasarkan karya-karyanya.

Dengan demikian bisa dikatakan pertumbuhan seni rupa di Kuta memang jauh ketinggalan dibandingkan masyarakat Ubud dan Sanur.

Namun ketika Kuta berkembang menjadi industri pariwisata yang berawal dari beroperasi Bandara Ngurah Rai tahun 1969 pertumbuhan toko seni (artshop) pun menjamur.

Pedagang-pedagang benda seni dari berbagai pelosok Bali dan bahkan luar Bali mengadu peruntungan di Kuta, menjadi pengepul, buka artshop, atau menjadi pedagang asongan (acung).

Bahkan, Anak Agung Rai yang kini pemilik dan pengelola Museum ARMA Ubud pernah menjadi pedagang asongan di Pantai Kuta. Seiring perkembangan pariwisata, secara perlahan terjadi pergeseran pola kehidupan masyarakat Kuta, dari nelayan menjadi pedagang benda-benda seni, pengusaha,dan pekerja di sektor pariwisata.

Baru mengenal Pada saat pergeseran pola kehidupan sekitar tahun 1970-an itulau masyarakat Kuta mengenal seni rupa secara luas, namun hanya sebatas benda cinderamata untuk kepentingan turistik.

Bagaimana bisa mengukur pertumbuhan dan perkembangan seni rupa di kawasan Kuta, menurut Wayan Jengki Sunarta secara jujur harus diakui, seni rupa di Kuta dihidupi atau diberi nafas oleh para perupa dari luar Bali.

Mereka adalah para perupa perantau yang terpukau dengan eksotisme Kuta dan mencoba mengadu peruntungan di kampung internasional itu. Dari karya-karya mereka tumbuh dan berkembang seni rupa di kawasan Kuta.

Sekitar 2000-an awal, kawasan Kuta pernah disemarakkan oleh banyak kegiatan seni rupa yang digerakkan komunitas perupa Bunga-bunga Bali. Komunitas yang aktif di Kuta sejak 1999 itu, bermarkas di pertokoan Kuta Centre di Jalan Kartika Plaza, kemudian pindah ke pertokoan Kuta Galeria di Jalan. Patih Jelantik.

Komunitas yang beranggotakan 100-an perupa itu, rajin menggelar pameran atau pun melukis model. Pada masanya, komunitas itu menjadi tempat pertemuan perupa-perupa yang menetap di Kuta dan luar Kuta, bahkan sering dikunjungi perupa dari luar Bali.

Ricky Karamoy yang memimpin komunitas Bunga-Bunga Bali itu gelisah, bagaimana menggairahkan denyut kehidupan kesenian di Kuta. Padahal Kuta adalah tempat yang menggairahkan untuk kehidupan berkesenian.

Kuta berdenyut selama 24 jam sungguh menjadi nyala api yang tak pernah padam bagi kreativitas berkesenian. Kegelisahan itu direspon dengan menggelar kegiatan kesenian yang menampilkan seni rupa, seni puisi, teater, instalasi, tari kontemporer dan musik.

Kaum seniman dari berbagai disiplin seni berbaur, saling sapa, saling menghargai, mereka merasa berada dalam pusaran yang sama, yakni kawasan multikultural Kuta. Kondisi yang demikian itu diharapkan dapat tercipta kembali lewat terobosan “Kuta Art Chromatic” yang berlangsung sebulan penuh. Ketut Sutika/MB