Foto: DPD Partai Golkar Provinsi Bali menggelar webinar Pemajuan dan Penguatan Desa Adat dalam Aspek Regulasi, Kelembagaan dan Dukungan Keuangan, Jumat (22/1/2020).

Denpasar (Metrobali.com)-

Tantangan yang dihadapi desa adat di Bali baik secara internal maupun eksternal cukup berat. Karenanya penguatan desa adat menjadi hal mutlak sebab desa adat di Bali menjadi benteng bagi aktivitas agama, adat dan budaya di Bali.

Keberadaan payung hukum berupa  Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali pun dianggap masih perlu disempurnakan dalam rangka penguatan desa adat ini, terlebih belakangan muncul berbagai permasalahan di desa adat. DPD Partai Golkar Provinsi Bali pun menangkap aspirasi publik ini  dengan menggelar webinar Pemajuan dan Penguatan Desa Adat dalam Aspek Regulasi, Kelembagaan dan Dukungan Keuangan, Jumat (22/1/2020).

Webinar menghadirkan narasumber Prof. Dr. I Made Suwitra, S.H.,M.H.; Prof. Dr. Ir. I Wayan Windia, S.U.; Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H.,M.Hum.; Drs I Nyoman Wiratmaja, M.Si.; Dr. I Ngurah Suryawan,S.Sos., M.Si. Webinar dipandu moderator Dewa Ayu Putu Sri Wigunawati, S.Sos., S.H ,M.Si.

Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Bali Dr. Nyoman Sugawa Korry dalam sambutannya mengungkapkan pihaknya tetap komitmen dan konsisten mengawal upaya penguatan desa adat. Salah satunya melalui kajian-kajian secara ilmiah dan memfasilitas diskursus, wacana dan diskusi ilmiah dalam rangka menggali masukan dan ide-ide cemerlang demi penguatan desa adat salah satunya melalui penyempurnaan Perda 4/2019 atau Perda Desa Adat di Bali.

“Posisi Golkar bukan cari masalah apalagi mempermasalahkan masalah. Tapi kami berupaya maksimal menggali masukan untuk penguatan desa adat. Sebab desa adat adalah aset Bali, ujung tombak pelestarian adat, agama, budaya. Masa depan Bali digantungkan di desa adat,” papar Sugawa Korry.

Webinar yang digelar ini juga menindaklanjuti webinar refleksi akhir tahun 2020 yang digelar Golkar Bali beberapa waktu lalu dimana saat itu muncul pemikiran desa adat agar diperkuat salah satunya melalui penyempurnaan atau revisi Perda 4/2019 atau Perda Desa Adat di Bali.

“Jadi webinar kali ini kami ajak peserta, masyarakat Bali berkontribusi secara ilmiah, elegan demokratis demi kebaikan bersama untuk menguatkan desa adat,” kata Sugawa Korry yang juga Wakil Ketua DPRD Bali ini lantas menambahkan hasil webinar akan dijadikan buku yang akan diberikan sebagai masukan kepada Gubernur Bali, Bupati/Walikota se-Bali, DPRD se-Bali, MDA (Majelis Desa Adat) dan stakeholder terkait lainnya.

Sementara itu narasumber pertama yang menyampaikan pokok-pokok pikirannya yakni Prof. Dr. Ir. I Wayan Windia, S.U., menegaskan bahwa desa adat harus kuat dan berkoordinasi dengan lembaga sosio-kultural lainnya di kawasan sekitar seperti subak, bendega dan desa adat lain.

“Tidak boleh ada kompetisi dengan lembaga sosio-kultural lainnya tapi harus sinergi. Tapi saat ini yang muncul friksi desa adat dengan subak, bendega dan ini menghilangkan prinsip kesepadanan,” katanya lantas menambahkan diperlukan wadah koordinasi antara desa adat dengan lembaga sosio-kultural lainnya di akar rumput.

Pembicara lainnya yang merupakan pakar hukum adat Prof. Dr. I Made Suwitra, S.H.,M.H., menjabarkan pokok-pokok pikirannya mengenai penguatan Perda Desa Adat di Bali dalam perspektif filsafat hukum. Ia menekankan perlu pembahasan ilmiah terkait Perda 4/2019 atau Perda Desa Adat di Bali sebagai dasar intervensi kebijakan penguatan desa adat.

“Penguatan desa adat jangan sekadar narasi, lips servis untuk tujuan yang lain. Ide penguatan jangan jadi ide melemahkan, jadi harus ada penyadaran bersama,” tegasnya yang kemudian menjabarkan pemikirannya mengenai konsep ko-eksistensi desa adat, atau konsep bekerja bersama.

Selaku akademisi pihaknnya pun mengapresiasi inisiatif Partai Golkar Bali telah membedah pemikiran mengenai Perda Desa Adat di Bali ini. “Kami akademisi sambut baik webinar ini. Harapannya Golkar jadi contoh dalam penguatan desa adat mulai dari penyusunan regulasi,” katanya

Pakar hukum tata negara yang juga mantan hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H.,M.Hum., membedah Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali dari perspektif penyusunan peraturan perundang-undangan. Ia menyoroti pencantuman dasar hukum, definisi desa adat hingga aspek penormaan lainnya yang menimbulkan semacam kerancuan dan pertanyaan hukum hingga berpotensi bisa menciptakan tidak adanya kepastian hukum dalam pelaksanaan Perda ini.

Palguna lantas menjabarkan lima point pokok-pokok pikirannya. Salah satunya yang disoroti adalah tidak dicantumkan atau dirujuk Pasal 18B ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945  dalam bagian mengingat Perda Desa Adat di Bali ini. Bagian mengingat ini menjadi penting karena memberikan dasar hukum bagi pembentukan Perda ini.

Pasal 18B ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

“Pasal 18B ayat (2) itu pengejahwantahkan penghormatan negara atas eksistensi desa adat. Jadi pasal itu harus dicantumkan di bagian mengingat Perda Desa Adat di Bali. Saya tidak mengerti ini kelupaan atau by design. Jadi tidak heran muncul permasalahan seperti belakangan ini,” kata Palguna yang juga dosen di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Sementara itu Drs I Nyoman Wiratmaja, M.Si., mengungkapkan ada pertanyaan dari masyarakat atau krama adat yang bingung dengan keberadaan Perda Desa Adat ini bahwa apakah dengan Perda ini desa adat jadi lebih kuat dan lebih baik. Sebab faktanya di bawah masih ada persoalan seperti konflik di internal desa adat hingga berujung pada pemekaran desa adat. “Kalau desa adat tambah banyak tambah hebat katanya. Apa benar seperti itu?,” katanya.

Di sisi lain ada dugaan bahwa dengan narasi penguatan desa adat yang selama ini digaungkan pemerintah di lapangan atau di bawah nyatanya yang mendapatkan manfaat hanya prajuru desa adat dan orang-orang di lingkaran kekuasan.

“Jangan-jangan kekhususan ini hanya dirasakan pengurusnya (prajuru) di desa adat. Ada juga fenomena baru, apa ada kaitannya dengan itu. Kalau daerahnya kaya banyak yang rebutan ingin jadi bendesa dan prajuru adat, kalau daerah miskin pasti lari semua,” kritiknya.

Pembicara terakhir Dr. I Ngurah Suryawan,S.Sos., menyebutkan berbagai studi ilmiah menemukan ada problem serius di internal desa adat mulai dari permasalahan karakteristik kepemimpinan hingga diamnya desa adat menanggapi isu-isu terkini seperti penolakan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law Cipta Kerja yang sempat disuarakan berbagai elemen masyarakat.

Ia juga menyoroti politik representasi pada MDA (Majelis Desa Adat). “Ada studi menyebutkan sangat kental desa adat diambil alih oleh para elite. Ada politisasi adat, elite gunakan desa adat untuk kepentingan politik, ekonomi dan lainnya,” ungkapnya.

Sementara itu Bendesa Agung Majelis Desa Adat (MDA) Bali, Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet yang mengikuti webinar ini secara virtual memberikan apresiasi atas kegiatan webinar ini dengan harapan ada upaya bersama memperkuat peran desa adat di Bali. Ia pun menampik berbagai tudingan atau anggapan miring tentang MDA selama ini.

Ia pun membantah adanya persepsi MDA terlalu diintervensi kekuasan dan juga menepis anggapan bantuan kepada desa adat yang diberikan pemerintah melemahkan desa adat. IA menegeskan desa adat tetap otonom tidak bisa ditarik-tarik, tidak bisa dibeli dan tidak bisa ditunggangi kepentingan tertentu. (wid)