Denpasar (Metrobali.com) –

 

SIDANG dengan nomor perkara Nomor 1142/Pdt.G/2020/PN Dps yang digelar di PN Denpasar, Senin (21/5/2023) mengenai perkara perlawanan terhadap Putusan verstek terkait masalah sewa menyewa ruko. Pada tahun 2018 perkara ini juga pernah digelar PN Denpasar dengan perkara Nomor 438/Pdt.G/2017/PN Dps. Intisari masalah perkara ini terletak dari adanya perjanjian bisnis yakni Perjanjian Perikatan Sewa Menyewa/PPSW, yang mengandung KLAUSULA EKSONERASI yang dilarang oleh undang-undang/hukum.

Perkara ini terkait dengan ditutupnya secara sepihak toko tempat usaha penyewa ruko oleh pengelola mall padahal sisa masa sewa masih 7 tahun 7 bulan dan sampai dengan saat ini penyewa ruko tidak dapat masuk mengambil barang-barang dagangannya, dan tidak dapat melakukan kegiatan usaha di toko tersebut. Pihak pengelola mall menduga, toko tersebut menjual barang KW yang dianggap melanggar undang undang, yang klausulnya tercantumkan dalam PPSW, sementara usaha penyewa ruko ini juga menjual berbagai produk lain yang tidak bermasalah dengan hukum.

Larangan tentang pencantuman klausula eksonerasi dalam setiap perjanjian baku (standard contract) ini mengacu pada Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), Bab V tentang Ketentuan Pencantuman Klausula Baku yang melarang dicantumkannya klausula eksonerasi dalam setiap perjanjian. Pelanggaran terhadap hal ini diatur dalam Pasal 18 UUPK dan sanksinya ada dalam ketentuan Pasal 62 ayat 1 UUPK dimana pelanggaran terhadap ketentuan dapat dikenakan pidana maksimal 5 tahun penjara atau denda Rp2 miliar.

Di dunia perdagangan larangan terhadap klausula eksonerasi juga diatur dalam Permendag 69 Tahun 2018 tentang tentang Pengawasan Barang Beredar Dan/Atau Jasa. Sedangkan di sektor jasa keuangan, larangan tentang klausula eksonerasi itu diatur dalam Peraturan OJK No. 6/POJK.07/2022 Tahun 2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan, diantaranya termasuk perbankan, lembaga pembiayaan/finance dan asuransi, jo SE OJK Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku.

Selain sektor diatas, klausula eksonerasi juga ada pada perjanjian antara pasien dengan penyelenggara kesehatan (dlm informed concent/global concent), perjanjian perikatan sewa menyewa/jual beli barang dan jasa rental, travel/hotel, karcis parkir, bon pembelian, tiket angkutan umum, laundry, dll.

Pukulan Pandemi COVID-19 yang begitu telak bagi sektor pariwsiata ini disisi lain justru membangkitkan sektor-sektor lain. Sektor pertanian, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), industri kreatif yang tadinya kurang berkembang, pasca Pandemi COVID-19 justru menjadi sektor yang dapat menyelamatkan perekonomian masyarakat Bali.

Untuk itu kebijakan yang menunjang tumbuhnya sektor-sektor non-pariwisata di Bali serta optimalisasinya diperlukan sebagai alternatif tonggak perekenomian Bali dalam menghadapi ancaman resesi tahun-tahun mendatang, termasuk membuat regulasi atau kebijakan daerah untuk bagaimana dalam setiap perjanjian tidak mencantumkan klausula eksonerasi, sehingga menghindari pelanggaran hukum yang tentunya akan mengganggu dalam berusaha/dunia usaha (recovery ekonomi Bali).

 

Pewarta : Hidayat