WACANA koalisi beberapa partai politik (parpol) menghadapi pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) Gubernur dan Wakil Gubernur Bali yang akan dilaksanakan pada tahun 2013 mendatang, mengundang berbagai reaksi sekaligus spekulasi. Sebagian kalangan memandang koalisi tidak hanya sebagai alternatif menyiapkan kendaraan bagi calon yang diusung dalam Pemilukada mendatang, tetapi juga menjadi prasyarat suksesnya keberlanjutan pembangunan daerah Bali. Pertanyaan besar, seberapa efektifkah koalisi parpol mengusung calon dalam Pemilukada, kemudian berlanjut memainkan peran penting membangun daerah? Memenangkan calon dalam kontestasi pemilihan gubernur, bisa ya! Tetapi mensukseskan pembangunan daerah dengan pijakan kesepakatan dalam koalisi, masih patut dipertanyakan.

Kita sekadar menegok ke belakang, gelombang demokratisasi di tanah air berdampak besar pada hadirnya interaksi sosial politik yang dinamis. Dinamika ini juga dialami para elit parpol dalam proses pembentukan koalisi parpol dalam rangka pemilukada. Namun, pembentukan koalisi parpol kerap tidak membawa efek signifikan bagi tumbuhnya kerjasama internal parpol dan antarparpol mitra koalisi, apalagi bagi pembangunan masyarakat.

Efektifnya interaksi sosial di internal parpol menentukan terpeliharanya kebersamaan dalam mengawal berbagai putusan dan kebijakan internal parpol, termasuk putusan terkait pembentukan koalisi parpol. Sebaliknya, tidak efektifnya interaksi sosial di internal parpol berpotensi melahirkan fragmentasi dan polarisasi. Fragmentasi dan polarisasi ini, dalam pendekatan Gillin dan Gillin, merupakan akibat dari proses disassosiatif.

Pola interaksi sosial yang berbeda-beda pada setiap koalisi parpol menghasilkan suatu tindakan sosial yang berbeda-beda pula. Pembentukan koalisi parpol, terutama oleh parpol besar, pada umumnya tidak dilandasai motivasi yang ada kaitannya dengan ideologi parpol. Sedangkan parpol kecil dalam membentuk koalisi parpol pada umumnya dilandasi kesadaran ideologi parpolnya. Akibatnya, formasi setiap koalisi parpol tidak tampil dengan motivasi yang sama dalam mengarungi kompetisi pemilukada. Kesamaan ideologi parpol dalam satu koalisi parpol tidak menjadi jaminan adanya kesamaan motivasi dalam membentuk koalisi, apalagi bekerjasama membangun daerah pada tahapan selanjutnya.

Syamsudin Haris (2004) menyatakan ”secara teoritis, masalah koalisi sebenarnya hanya relevan dalam konteks sistem pemerintahan parlementer. Terciptanya koalisi sebenarnya diperuntukkan hanya dalam menggalang dukungan dalam membentuk pemerintahan oleh partai pemenang pemilu, serta dibutuhkan untuk membangun dan memperkuat oposisi bagi partai-partai yang mempunyai kursi di parlemen namun tidak ikut memerintah”.

Secara pragmatis, koalisi diarahkan pada upaya memenangkan pemilu, atau merebut dan mempertahankan kekuasaan. Sementara secara substansial, koalisi diciptakan permanen demi memberikan dukungan besar di parlemen bagi sebuah kebijakan politis parpol sebagai penyeimbang atau pendukung kebijakan kepala negara atau kepala daerah. Tetapi fungsi ini sangat jarang mampu bertahan secara permanen jangka panjang.

Dalam konteks menyongsong Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Bali mendatang, sah-sah saja beberapa parpol berkoalisi untuk mengusung calon. Logikanya parpol besar semestinya mampu menampilkan calon sendiri, sementara parpol-parpol kecil sesuai ketentuan yang ada wajib berkoalisi apabila tidak memenuhi ketentuan suara minimal atau jumlah kursi minimal di DPRD, untuk mengusung calon sendiri. Tetapi sangat menyedihkan, kalau koalisi dipaksakan hanya untuk menjegal satu tokoh berkualitas dan berkompeten untuk memimpin Bali.

Pengalaman menunjukkan bahwa koalisi cenderung bersifat sementara. Perbedaan platform parpol sangatlah sulit menyatukan langkah dan kebijakan parpol dalam membangun masyarakat.  Kecuali koalisi mampu melahirkan pemimpin Bali yang berkompeten yang mampu membuat terobosan-terobosan bagi berkembangnya potensi masyarakat dan daerah Bali yang secara geografis sangat sempit ini, namun secara demografis telah sangat padat. Dalam kondisi ini parpol berarti mempunyai pilihan yang sama terhadap kader atau tokoh terbaik Bali. Jika ini terjadi, sangatlah elok dinamika politik berkembang seirama dengan komitmen dan cita-cita mewujudkan kesejahteraan masyarakat Bali.

Keberlanjutan Pembangunan daerah Bali tidak mutlak mensyaratkan terbangunnya koalisi untuk melahirkan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali di tahun 2013 mendatang. Koalisi yang terbangun dan mampu melahirkan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali tersebut, tidak menjamin Bali akan terbangun lebih baik. Justru yang menjadi faktor penentu adalah kapabilitas calon Gubernur yang dipilih oleh masyarakat.

Dengan permasalahan pembangunan yang semakin kompleks, sinergi antar seluruh komponen, mulai dari pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, sebagaimana konsepsi good governance, merupakan prasyarat utama berlanjutnya pembangunan daerah Bali ke arah lebih baik. Terlebih lagi dalam kerangka otonomi daerah, dimana ego sektoral dan ego kewilayahan meninggi, menumbuhkan berbagai tantangan dan hambatan dalam melakukan senergi. Gubernur yang  mampu membuat kerangka dan membangun sinergi seluruh stakeholders, seluruh komponen masyarakat, seluruh Bupati/Walikota se-Bali, adalah jauh lebih baik daripada Gubernur yang sekadar dimunculkan dan dimenangkan oleh koalisi parpol dalam Pemilukada. Sinergi yang terbangun kemudian harus terus dikembangkan guna mensukseskan program-program pembangunan daerah.

Selamat kepada masyarakat Bali. Selamat Berjuang kepada seluruh Parpol di Bali. Mari timang-timang dari sekarang calon terbaik untuk kita usung jadi Gubernur Bali tahun 2013, calon yang mampu membuat kerangka dan membangun sinergi optimal!!

Oleh: Wiasthana Ika Putra

Pemerhati masalah sosial, tinggal di Sading, Badung