Ngurah Karyadi

PILKADA Serentak dipastikan tetap digelar 9 Desember 2020 mendatang. Keputusan dilematis memang, karena pandemi corona masih belum bisa dikendalikan kapan berakhir.

Peringatan Presiden Jokowi, dan Satgas Nasional beberapa waktu mesti menjadi catatan. Terlebih dengan adanya ancaman gelombang kedua, seperti kini melanda Eropa.

Tak ayal, isu Covid-19 pun harus kita kongkritkan dalam dinamika dan kontestasi pilkada tahun ini. Dan disertakannya protokol Covid-19 dalam ketentuan peraturan pilkada menjadikan semuanya jelas. Disiplin dan penegakan protokol Covid-19 bisa diberlakukan tiap saat, kepada siapapun yang terlibat dalam kepemiluan. Jika tidak dipatuhi, ada resiko dan konsekuensi yang harus ditanggung pelanggarnya.

Protokol pencegahan dan pengendalian Covid-19 telah diadopsi dalam peraturan perundangan kepemiluan yang berlaku. Paling anyar misalnya, diatur dalam PKPU 13/2020 dan Peraturan Bawaslu 4/2020. Keduanya mengatur teknis pelaksanaan dan pengawasan, mulai pencalonan, pendaftaran, hingga tata cara kampanye tanpa mengabaikan protokol kesehatan di masa pandemi ini.

Disertakannya protokol Covid-19 dalam ketentuan peraturan pilkada serentak ini, menjadikan semuanya jelas. Disiplin dan penegakan protokol Covid-19 bisa diberlakukan tiap saat, kepada siapapun yang terlibat dalam kepemiluan. Jika tidak dipatuhi, ada resiko dan konsekuensi yang harus ditanggung pelanggarnya. Penindakan pelanggaran kampanye ngawur juga tegas, bisa pembubaran kegiatan hingga pencabutan, atau diskualifikasi kontestan.

Dalam kontestasi memenangkan pilkada sendiri, protokol Covid-19 pun bisa menjadi isu strategis, bahkan perlu MEM-BUMI-KAN, atau mewujudkan dalam kehidupan nyata -bukan sekedar komoditas, atau bahasa politik yang ‘dipaksakan’ menjadi janji politik kandidat dan pendukungnya. Satu testimoni tim pemenangan AMERTA, salah satu kandidat Pilkada Denpasar misalnya, tegas menyatakan ‘menang pilkada, halau pandemi’!  Bagaimana relevansinya, sebagai berikut.

Pandemi corona bukan semata soal pencegahan persebaran Covid-19, melalui protokol kesehatan (Prokes 3M). Namun juga, sekaligumenyangkut penanganan berbagai dampaknya serta pemulihannya pascapandemi (3T). Artinya, calon kepala daerah menjanjikan dan memastikan rasa aman, optimisme, perbaikan sosial ekonomi, atau pemberdayaan publik masa mendatang adalah hal realistis, bahkan memang sangat dibutuhkan warga masyarakat.

Soal pencegahan misalnya, sederhana saja bisa dilakukan para kontestan pilkada, yang juga merupakan pesohor atau public figure. Seperti, selalu memberi imbaun terkait kesehatan setiap kesempatan kampanye, langsung atau melalui semua alat peraganya. Atau, sekadar membagikan masker atau lainnya, untuk melindungi diri setiap orang agar tidak rentan menjadi korban Covid-19.

Dalam konteks ini, sebenarnya cukup masuk akal sekiranya kandidat paslon AMERTA mempertajam kembali apa yang akan dilakukan dalam mengatasi pandemi. Terlebih, pilkada walikota Denpasar 2020 ini juga diikuti paslon petahana JAYA-WIBAWA. Setidaknya perlu mempertanggung jawabkan debat calon, agar lebih terbuka soal refocussing APBD yang sebelumnya disebut-sebut untuk pencegahan dan penanganan Covid-19. Ingat, refocusing anggaran bagi covid-19 bahkan bisa mencapai hampir separo APBD!

Pada Pilkada Denpasar misalnya, melalui tim pemenangan paslon AMERTA yang diusung koalisi 3 tiga parpol (Golkar, Demokrat dan Nasdem), peraih suara kumulatif 32 persen dalam pemilu 2019 lalu, dalam beberapa kesempatan tegas menyatakan komitmen pada masalah pandemi ini. Singkatnya, ‘menang pilkada, halau pandemi’, yang berarti menangi pilkada, untuk melawan persebaran dan dampak pandemi Covid-19!’ Dalam visi-misi AMERTA tergambar bagaimana upaya mewujudkan Pemerintah Kota (Pemkot) Denpasar, yang Aman/adil, Mandiri, Kreatif dan Semesta.

Hal ini searah dengan harapan tentang bagaimana peran dan tanggung jawab negara/pemerintah di masa/paska pandemi, yakni: Pertama, sebagai birokrasi/perusahaan besar kesehatan (Big Farma); Kedua, pemberdayaan dan penguatan ketahanan kebutuhan dasar (pangan, sandang dan papan); Ketiga, pengembangan teknologi biologis (bio-teknologi); Keempat, revolusi teknologi informasi (IT). Peran dan tanggung jawab negara/pemerintah tersebut mestinya tidak diserahkan pada mekanisme pasar, yang kian liberal dan kapitalistik.

Sehingga, masa kampanye terbuka semestinya bisa jadi kesempatan publik menilai sejauh mana komitmen calon kepala daerah pada pandemi. Dalam dialog dengan calon kepala daerah yang akan dipilih nantinya, tidak ada salahnya meminta kandidat mempertegas komitmennya, terutama pada aspek penanganan kasus dan pengendalian dampaknya. Komitmen yang tentunya diikuti integritas dan janji, jika memang akhirnya tak bisa memenuhi atau bahkan ternyata melakukan penyalahgunaan, siap mundur dan/atau diundurkan.

Sebaliknya, jika saat berkampanye saja protokol dan disiplin sudah banyak diabaikan, maka derajat kepekaan dan kepemimpinannya kelak bisa dipertanyakan. Bisa menumbuhkan harapan dan menyerap aspirasi, tanpa mobilisasi berlebihan, bisa menjadi ukuran bagaimana kepala daerah bisa membangun komunikasi dan mengayomi warga masyarakatnya di kemudian hari.

Bagaimanapun, pilkada serentak yang tetap digelar di masa darurat kesehatan pandemi ini adalah ujian, termasuk bagi siapapun kandidat kepala daerah terpilih nantinya. Usai terpilih, kepala daerah tidak bisa banyak berdiam atau terlalu lama melakukan penyesuaian. Ancaman pandemi dan semua dampak yang ditimbulkan sudah jelas di depan mata. Tidak waktunya lagi tentunya melakukan hal coba-coba, apalagi gagap menjalankan kepemimpinannya. Terpenting, kepekaan situasional lebih dikedepankan melebihi ego dan kepentingan kelompok.

Calon kepala daerah bisa berkaca pada situasi dan kepemimpinan pasca pemilihan pilkada serentak 2018 lalu. Beberapa bulan dalam situasi pandemi, hampir semua sumberdaya yang dimiliki harus dikonsentrasikan pada penanganan pandemi. Namun, praktik dan realisasi kepemimpinan seperti yang diprogramkan, atau dijanjikan sebelumnya. Tanpa sense of crisis, sehingga pandemi kian meluas.

Ngurah Karyadi, petani dan penulis lepas