MELAWAN AJEG BALI: Antara Eksklusivitas dan Komersialisasi
Tulisan ini merupakan penyempurnaan dari makalah berjudul “Ajeg Bali, Upaya Menyambung Sejarah,“ yang dibawakan dalam Dialog “Ajeg Bali Dalam Perspektif Sejarah” di Rumah Makan Sari Warta Boga, Senin 18 Agustus 2003. Dimuat juga dalam Jurnal Ilmu Sejarah, Tantular. Edisi 1 Tahun 2004. Denpasar: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Abstrak
Studi ini berbicara mengenai “Ajeg Bali,” sebuah konsep pemberdayaan masyarakat dan kebudayaan Bali yang muncul pasca bom Legian 12 Oktober 2002. Secara harfiah ajeg artinya tegak, tetap, teratur, tidak berubah. Akan tetapi para juru bicara “Ajeg Bali” mengartikannya sebagai teori pembangunan masyarakat dan budaya yang kreatif dan tidak fisikal semata; membangun sebuah ruang hidup budaya Bali yang bersifat inklusif, multikultur dan selektif terhadap pengaruh-pengaruh luar; dan melahirkan produk-produk budaya baru berdasarkan nilai-nilai kultural dan kearifan lokal. Akan tetapi setelah setahun berlalu “Ajeg Bali” hanya menjadi slogan yang tingkatnya berkisar antara semangat eksklusivitas dan komersialisasi.
This study is talk about “Ajeg Bali”, it is a Balinese culture and society empowerment concept which comes after bomb exploited in Legian on, October 12th 2002. In a literal, ajeg means upright, constant, not change. But, the “Ajeg Bali” spokesman interprets as a theory culture and society development which creative and not only physical; to build a culture room life in Bali which have the quality inclusive, multicultural, and selective to the out side effect, and give birth to the new culture products based on the cultural values and ability local. But also after passing one year “Ajeg Bali” only as a slogan which characteristic only revolve between exclusivity support and commercialization.
Apakah aku sudah roboh,
sampai-sampai engkau berseru lantang,
ajeg Bali!!!
ajeg Bali!!!
tegakkan Bali!!!
tegakkan Bali!!!
dari dulu sebelum buyutmu ada,
aku sudah tegak!!!
senyum ceria menyambut para mpu,
membangun pura di puncak bukit, gunung, dan lautku,
itulah kesucian masa lampauku,
yang kini engkau kangkangi,
engkau kupas, engkau jual,
dengan merek dagang pariwisata budaya,
untuk apa,
bukan untuk diriku,
hanya untukmu,
memuaskan nafsu-nafsu keserakahanmu,
hanya untuk sebotol tuak,
yang memabukkan matamu,
yang menggelorakan syahwatmu,
andaikan,
andaikan,
bom itu tak meledak engkau tentu kan masih bermanja,
masih berbangga,
para dewa di sembilan penjuru bumi,
yang kau puja penuh kemeriahan tanpa keheningan,
akan melindungimu dari ledakan itu,
Hyang Widhi,
tentu tak akan biarkan,
keangkuhan menjadi darah dagingmu,
bom itu ternyata meledak,
menyentil urat syaraf kesadaranmu,
benar engkau terkejut,
engkau berteriak,
ajeg Bali, tegakkan Bali,
aku tahu yang engkau maksudkan,
tegakkan kembali pariwisataku yang hilang,
kembalikan modalku yang melayang.
ajeg Bali, tegakkan Bali,
aku harap yang engkau maksudkan,
kembalikan rasa kemanusiaanmu yang sudah hilang,
tetapi dari mana engkau kan memulainya?
(Nyoman Wijaya, Agustus 2003).
PENGANTAR
Tiba-tiba saja, setelah ledakan bom di Legian 12 Oktober 2002, orang bicara “Ajeg Bali.” Ada apa ini? Tulisan ini mencoba mengangkat fenomena tersebut. Awalnya, slogan ini masih merupakan ‘benda’ yang belum berujud, hanya wacana. Sering terdengar dalam dharmawacana, pelajaran tentang isi dharma (aturan hidup dan tingkah laku, ditetapkan oleh aturan dewa dan diturunkan dalam aturan agama) yang disampaikan oleh Ida Pedanda Made Gunung, seorang pimpinan majelis tertinggi umat Hindu Parisadha Bali versi Campuhan.
Dalam ceramahnya, Ida Pedanda Made Gunung, menggunakan konsep ini untuk berbagai hal, misalnya:
“Agama Hindu sane wenten ring jagat Bali puniki sampun melalui bermacam-macam sejarah berliku-liku zaman sane sampun lintang kantos mangkin kantun kainutin, kantun ajeg durmaning kantun sida ngicenin iraga karahayuan.”[1]
Melalui kalimat itu, Ida Pedanda Made Gunung menggunakan konsep ajeg dalam pengertian “bertahan,” maksudnya sekalipun telah melalui perjalanan, pengalaman, dan sejarah yang berliku-liku, namun agama Hindu tetap bisa bertahan di Bali dan masih berfungsi sebagai sumber kesejahteraan bagi orang Bali.
Dalam konteks lain, dia mengartikannya sebagai kata kerja “mempertahankan,” seperti terungkap dari kalimat ini:
“Kesimpulan Peranda yen raga nu ngajegang sastra kemenangan dharma melawan adharma kalau kita melihat kenyataan di luar pesimis sekali.[2]
Sejenis dengannya, konsep ajeg juga dimaknai lestari, sebagaimana terlihat dalam kalimat ini:
“…Nika mawinan napi sane kemargiang ring Bali patut ajegang sareng sami, patut iraga ngerti sareng sami diastun Peranda menyadari untuk menterjemahkan yadnya nika sami kuangan waktu, diastun sapunika sampunang surut-surut ida dane ngeruruh napi sane patut uningin mangda sida antuk ngicenin alit-alite benjangan.[3]
Dalam kalimatnya itu, ia ingin mengajak pemirsanya melestarikan tradisi agama yang berlaku di Bali, sekalipun pada kenyataan hanya untuk memahami arti yadnya saja dibutuhkan waktu yang terlalu lama. Namun bagaimanapun tetap harus diupayakan mempelajarinya agar bisa diwariskan pada generasi berikutnya.
Wujud nyata pelestarian tradisi agama dijabarkannya dengan gamblang seperti terungkap dalam kalimat ini:
“Ida dane sane ngulati kauripan ring pasar kantun eling ring ngajegang Sanghyang Agama pamekas ngaturang astiti bhakti ring Ida Sang Hyang Widhi malarapan antuk prabawan ide sane malingga ring pura melanting.[4]
Di sini Pedanda Gunung ingin menjelaskan bahwa kebiasaan para pedagang di Pasar Badung (salah satu pasar tradisional yang terdapat di pusat kota Denpasar, yang berdiri sejak zaman kerajaan Badung) bersembahyang secara rutin bisa dianggap sebagai bentuk pelestarian tradisi keagamaan di Bali. Konsep ngaturang astiti (persembahyangan) dalam tradisi keagamaan di Bali dapat dipakai untuk mencapai kesejahteraan dunia. Pernyataan itu terungkap dalam kalimat ini:
“Sakewanten konsep sane anggene ring para leluhur sareng sami anggen ngaruruh kasukertan jagat pamekas ring Bali taler ring Buana Agung. Mangdane prasida iraga sareng sami ngajegang sane kawastanin, kabaos ring Tri Hita Karana.”[5]
Kesejahteraan di dunia ini dapat dicapai dengan mengaktualisasikan konsep tri hita karana atau tiga jalan atau cara menuju kebaikkan, yakni bersembahyang kepada Tuhan Yang Mahaesa, menjalin perdamaian dengan sesama manusia, dan menjaga kelestarian lingkungan. Hal ini terungkap dalam kalimat sebagai berikut:
“…Punika nenten pasah kawentenang ipun indik parahyangan, ngastiti Sang Hyang Widhi Wasa utawi prabawan Ida, ring pawongan ngawentenang saling asah, asih, asuh ring para sameton, ring palemahan taler wenten tresna ring para bhuta utawi ring kawentenan lingkungan druene.[6]
Demikianlah, konsep ajeg semula digunakan secara terbatas oleh Ida Pedanda Made Gunung untuk mengajak umat Hindu menegakkan, melestarikan, dan mempertahankan tradisi keagamaan di Bali. Persoalannya, bagaimana pemaknaan konsep ini bisa melebar ke ruang-ruang budaya, politik, dan ekonomi sehingga menjadi “Ajeg Bali”? Kalau mau dicari jawabannya, rupanya tidak terlepas dari kalimat yang sering diucapkan oleh Pedanda Gunung saat menutup acara dharmawacana-nya sebagai berikut:
“Dumadak je sangkaning dharma wacana i wawu presida wenten pikenoh ipun ring ida dane sareng sami, dumadak Bali prasida tetap ajeg, iraga taler prasida ngelanturang kauripane driki ring jagate.”[7]
Kata “dumadak Bali prasida tetap ajeg,”adalah sebuah frase. Secara harfiah kalimat itu berarti, “Supaya Bali bisa tetap ajeg.” Lalu apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan ajeg. Dalam perbendaharaan kosakata Bahasa Bali, ajeg berpadanan jejeg, tuara obah, tuara seng, artinya tegak, tetap, teratur, tidak berubah,[8] dalam kamus bahasa Indonesia disebut “ajek”.
Kalau menggunakan pemahaman ini, berarti konsep “Ajeg Bali” telah melawan arus sejarah, karena tidak ada sesuatupun yang memenuhi sifat-sifat keabadian seperti yang terkandung dalam makna kata ajeg. Penerapan secara paksa konsep “Ajeg Bali” dalam konteks yang tidak tepat, berarti berlawanan dengan filsafat masyarakat Jawa Kuno anityata, suatu konsep yang memberikan pengakuan bahwa segala yang ada di dunia ini bersifat fana, sementara, tidak pasti, tidak terus, selalu berubah, ketidakkekalan.[9]
Filsafat ini berasal dari alam lingkungan India, yang dalam bahasa Sansekerta disebut anitya,[10] yang diambil langsung oleh agama Buddha dari bahasa Pali, anicca, yang artinya tidak kekal.[11] Bukan hanya India yang mengenal konsep ketidakkekalan, tetapi juga di belahan dunia lain. Di Yunani, filsuf pertama yang mengatakan hal itu adalah Heraclitus (480 SM), dengan mottonya “Segala sesuatu itu berubah terus menerus dan tidak ada yang berhenti.” Perubahan, bagi Heraclitus dapat dinyatakan dengan dua cara: (i) seluruh kenyataan merupakan arus sungai yang mengalir; (ii) seluruh kenyataan adalah api.[12]
Manusia tidak dapat turun duakali ke dalam sungai yang sama, karena air sungai selalu mengalir terus, memperbarui yang sebelumnya. Orang yang turun untuk kedua kali di sungai yang sama, tidak terendam dalam air yang sama seperti semula.[13] Pemikiran filosofis ini mempengaruhi perkembangan filsafat para filsuf Yunani dalam jangka waktu lama. Filsafat Permenides, Democritus, Plato, Aristoteles, semuanya bisa digambarkan sebagai upaya memecahkan masalah dunia yang berubah seperti yang ditemukan Heraclitus.[14]
Kalau filsafat dan peradaban dunia sudah mengakui perubahan sebagai suatu keniscayaan, tentu sangat menarik mempersoalkan mengapa sejumlah elit agama dan politik Bali tiba-tiba mengeluarkan slogan “Ajeg Bali”? Bagaimana konsep “Ajeg Bali” berproses dalam masyarakat? Apa pengaruh konsep “Ajeg Bali” bagi budaya dan masyarakat Bali?
ANTARA EKSLUSIVITAS DAN KOMERSIALISASI
Sampai tanggal 29 Juli 2003, para juru bicara “Ajeg Bali” masih mengedepankan pandangan masing-masing tentang konsep ini. Mereka tidak membawanya dalam pengertian denotatif, melainkan konotatif. Hal ini terlihat pada head line news Bali Post “Sang Pahlawan Ajeg Bali,” yang ditujukan kepada Anak Agung Oka Ratmadi, Bupati Badung, ketika yang bersangkutan menyatakan diri mundur dari calon Gubernur Bali, sehingga membuka kesempatan kepada calon gubernur yang diusulkan oleh DPP PDIP, Dewa Made Beratha, tampil ke depan untuk memenangkan persaingan menjadi Gubernur Bali, untuk masa jabatan yang kedua.
Bahasa indah yang disusun seorang jurnalis untuk kasus ini: “…tokoh Puri Satria ini menunjukkan jati dirinya dengan lebih mengutamakan terjaganya persatuan demi ajegnya Bali.”[15]
Kalau menggunakan jalan pikiran jurnalis ini, berarti tolok ukur terwujudnya “Ajeg Bali” adalah terjaminnya keamanan dan ketertiban, yang di zaman kolonial disebut rust en orde. Akan tetapi dua hari kemudian, tolok ukur ini sudah berubah dengan munculnya berita koran tanggal 2 Agustus 2003 berjudul “Ajeg Bali bukan Bali yang Stagnan.” Lalu apa? Ajeg Bali merupakan upaya pembaruan terus-menerus yang dilakukan secara sadar oleh manusia Bali untuk menjaga identitas, ruang, dan proses budayanya.
Apa yang dimaksudkan sebagai identitas, ruang, dan proses budaya Bali? Jawabannya dapat dilihat dari sasaran yang hendak dicapai oleh para juru bicara “Ajeg Bali,” yakni:
“Upaya ini akan bermuara pada peningkatan kekuatan manusia-manusia Bali agar tidak jatuh di bawah penaklukan hegemoni budaya global. Di dalam budaya global bersemayam konsumerisme, komersialisme, dan komoditifikasi. Ketiganya merupakan tantangan berat dalam menjaga keajegan Bali. Karenanya, mewujudkan ajeg Bali juga tidak bisa dilepaskan dari upaya menghentikan budaya konsumerisme pada budaya Bali.”[16]
Jika benar demikian, berarti mereka sedang mengalami globaphobia, ketakutan luar biasa terhadap globalisasi. Globalisasi telah menjadi momok. Mereka takut tidak akan mampu membendung kekuatan globalisasi yang diperkirakan dampaknya akan sangat merugikan Bali. Akan tetapi apakah memang seperti itu? Atau tidakkah mungkin, seperti dikatakan Hadi Soesastro, bahwa globalisasi hanya dijadikan kambing hitam, sebagai alasan bagi kalangan pemerintah dan politisi untuk menutupi ketidakmampuan mereka dalam menghadapi berbagai persoalan kemasyarakatan.[17]
Mengapa harus berlebihan seperti itu, padahal seharusnya globalisasi bisa dihadapi dengan kebijakan globalisasi pula, yang punya arah jelas dan semata-mata dari atas, pemerintah. India telah melakukan hal itu. Mereka tidak menyerah saat menghadapi globalisasi dalam McDonalisasi, yakni sebuah proses ketika berbagai prinsip restoran fast-food hadir untuk mendominasi lebih banyak sektor kehidupan Amerika dan berbagai belahan dunia lain. Caranya sederhana saja, membuat jaringan restoran Nirula’s. Hidangannya bukan Hamburger ala Amerika, yang menggunakan daging sapi, melainkan daging kambing cincang. Hal ini disesuaikan dengan mayoritas pemeluk Hindu yang mengharamkan makan daging sapi. Begitu juga Lebanon yang membuka Juicy Burger, burger beraroma buah.[18]
Begitu juga dalam Hollywoodsasi dengan Bollywoodsasi. Bagaimana dengan “Ajeg Bali” yang mengajak rakyat menghentikan konsumerisme? Akankah konsep “Ajeg Bali” dimaksudkan untuk membendung McDonalisasi dalam arti sempit dan Amerikanisasi dalam arti luas? Atau meniru India dan Lebanon? Kalau memang benar arahnya melawan McDonalisasi, Hollywoodsasi, dan budaya pop Amerika, maka slogan “Ajeg Bali,” berarti para pendukung “Ajeg Bali” sedang mengajak masyarakat berenang ke hulu, melawan arah air, sebab jalan pemikirannya berseberangan dengan filsafat sejarah.
Francis Fukuyama yang berangkat dari filsafat sejarah Hegel, sepakat mengatakan: (i) Sejarah adalah suatu proses yang rasional, karena itu sejarah pasti universal; (ii) Proses sejarah menuju tujuan tertentu atau sejarah yang terarah; dan (iii) Proses ke arah tujuan tertentu itu berlangsung secara dialektis, artinya proses dialektika memungkinkan hal-hal yang tidak rasional pada masa-masa tertentu dikoreksi atau dilenyapkan ketika menuju tahapan yang lebih baik.[19]
Tujuan yang hendak dicapai oleh sejarah masa kini adalah zaman proses globalisasi yang didorong oleh dua faktor saling bertentangan, yakni: (i) bersifat material dalam bentuk perkembangan ekonomi yang pada gilirannya didorong oleh ilmu pengetahuan alam; (ii) bersifat spiritual, dalam falsafah Plato disebut “Thymos” yakni keinginan untuk diakui, dihargai, dan persamaan hak. Oleh karena itu tujuan sejarah atau akhir sejarah adalah masyarakat kapitalis dengan sistem politik demokrasi liberal.[20]
Kalau sifatnya sudah berlawanan dengan filsafat sejarah universal, berarti bolehlah “Ajeg Bali” disebut sebagai kekuatan “sentrifugal” fortifikasi. Maksudnya sebagai ekspresi perlawanan dan mekanisme “pertahanan diri” terhadap serangan yang demikian intensif dari arus besar universalisasi dan penyeragaman budaya global.[21] Akankah pada akhirnya konsep “Ajeg Bali” mampu mendorong terjadinya “pembelahan-pembelahan” budaya global menjadi fragmen-fragmen kecil yang pada akhirnya mengarah pada pluralitas dan keberagaman, seperti yang dilakukan India tersebut di atas. Kalau tidak, berarti para penganjur konsep “Ajeg Bali” sedang menjebak masyarakat pada jalan sejarah irrasional, yakni, sejarah yang sangat ditentukan oleh semangat agama dan budaya, serta mengecilkan arti semangat sosial.[22]
Berdasarkan pemahaman seperti itu, berarti konsep “Ajeg Bali” juga bisa disebut sebagai sejenis cara melawan kemerosotan sejarah. Bagaimana cara orang Bali memandang kemerosotan sejarah? Geertz mengatakan orang Bali melihat kemerosotan sebagai cara kebetulan bagaimana sejarah terjadi. Oleh karena itu, upaya yang dilakukan untuk menghadapi kemerosotan itu, terutama oleh para pemimpin politik dan spiritual, bukan membalikkan sejarah atau memperingatinya, melainkan berusaha menebusnya, dengan mengekspresikan kembali secara langsung dan segera dengan tekad dan kejelasan yang kuat, paradigma kultural yang diteladankan oleh penguasa Bali zaman Gelgel dan zaman Majapahit.[23]
Selain itu, konsep “Ajeg Bali” bisa diartikan sejenis upaya mengenang kembali masa lampau, membayangkan bahwa ada masa lampau yang mesti ditiru, dijadikan tolok ukur di masa kini. Umumnya orang mengharapkan kejayaan di zaman Gelgel akan terulang kembali. Mengapa? Clifford Geertz menyumbangkan wawasan berpikir bagi para intelektual, meskipun terisolasi dari arus Islamisasi, bukan berarti bahwa Bali pasca-Majapahit bersifat stagnan, tidak mengalami perubahan. Oleh karena itu, siapapun tidak layak menyebut Bali abad XIX sebagai Jawa abad XIV dan XV.[24]
Antara abad XIV hingga XIX Bali memang mengalami perubahan besar, namun perubahannya sangat endogen. Artinya, Islamisasi dan dominasi Belanda tidak sampai mengubah tatanan sosial dan kultural masyarakat Bali. Dibandingkan dengan daerah-daerah Hindu lainnya di Nusantara, sejarah Bali jauh lebih ortogenetik dan teratur. Bali di abad XIX mungkin bukan replika dari Bali pertengahan abad XIV, tetapi masih merupakan sambungannya, masih merupakan perkembangan yang agak teratur dari abad keempat belas itu.
Sebagian besar orang Bali sudah mengetahui pujian-pujian itu, yang menumbuhkan kebanggaan luar biasa pada sebagian besar anggota masyarakat Bali. Asumsinya, jika generasi Gelgel bisa, berarti generasi sekarang juga bisa. Barangkali dari sinilah titik tolak dimulainya semangat “Ajeg Bali”? Padahal sesuai filsafat Heraclitus, tidak ada air dan api yang sama atau konsep anitya, segala sesuatu telah berubah. Bali abad XX sudah berbeda sekali dengan Bali sebelumnya. Namun perbedaan-perbedaan itu seperti tak mendapat perhatian.
Bagaimana menjelaskan hal itu dari segi budaya? Dengan mengutip Gregory Bateson, Clifford Geertz mengatakan, pandangan orang Bali terhadap masa lampau sama sekali tidak historis, dalam arti tidak yang sebenarnya. Artinya, mereka menjelaskan kemerosotan masa kini dengan suatu legenda, mencari orang Bali dari masa lampau, bukan penyebab-penyebab dari keadaan masa sekarang, misalnya malapetaka, kebodohan, tidak disiplin, atau kelalaian. Standar yang dipakai untuk menilai masa sekarang ini adalah pola yang tidak berubah dari masa lampau, yang akan digunakannya sebagai model untuk masa sekarang.
Mereka seringkali lupa, bahwa ada faktor internal dan kecerobohan manusia yang menyebabkan Bali abad XX berbeda dengan Bali abad sebelumnya, sehingga dibandingkan dengan generasi sebelumnya, bisa disimpulkan generasi abad XX gagal merespon globalisasi. Puncak kegagalan terlihat dari kondisi sosial-ekonomi, dan politik pascabom Bali 12 Oktober 2002. Bagaimana cara bangkit dari kegagalan itu, konsep “Ajeg Bali” adalah salah satu jawaban yang ditawarkan oleh juru bicaranya.
Hal ini terungkap dari dimuatnya artikel Nyoman Wiana, seorang ahli agama Hindu yang menggunakan nama samaran I Ketut Gobyah pada tanggal 13 Agustus 2003. Dalam artikel ini ia mengatakan, dalam upaya mewujudkan “Ajeg Bali,” artinya menegakkan Bali dan membinanya agar bisa bertahan menghadapi era globalisasi, maka diperlukan penerapan ajaran Hindu yang benar dan mengupayakan SDM saputra (orang yang mampu menegakkan dharma, memiliki banyak ilmu dan banyak kerja). Tidak membunuh aspirasi rakyat dan kebenaran dengan kekuasaan dan wibawa orang di atas atau di pusat.[25]
Dengan demikian, hingga tanggal 13 Agustus 2003, arah dan tujuan konsep “Ajeg Bali” masih belum jelas. Barulah pada tanggal 16 Agustus 2003, setelah harian lokal “Bali Post” menerbitkan Edisi Khusus, makna konsep ini semakin mudah dipahami. Ternyata konsep “Ajeg Bali” dimaknai dalam tiga tataran. Pada tataran individu, “Ajeg Bali” dimaknai sebagai kemampuan manusia Bali untuk memiliki kepercayaan diri kultural (culture confidence). Sifatnya kreatif dan tidak membatasi diri pada hal-hal fisikal semata.
Pada tataran lingkungan kultural, “Ajeg Bali” dimaknai sebagai terciptanya sebuah ruang hidup budaya Bali yang bersifat inklusif, multikultur dan selektif terhadap pengaruh-pengaruh luar. Pada tataran proses kultural, diartikan sebagai interaksi manusia Bali dengan ruang hidup budaya Bali guna melahirkan produk-produk atau penanda-penanda budaya baru melalui sebuah proses yang berdasarkan nilai-nilai kultural dan kearifan lokal serta memiliki kesadaran ruang (spatial) serta waktu yang mendalam.[26]
Para juru bicara “Ajeg Bali” berkeyakinan persoalan yang dihadapi Bali dapat diatasi melalui beberapa langkah: pemberlakuan otonomi khusus di Daerah Tingkat I (propinsi) guna mencegah terjadinya fragmentasi atas ruang budaya Bali dan terpicunya konflik antar Daerah Tingkat II; pembaruan atas berbagai kontrak sosial dan kultural untuk mencapai jalan tengah baru yang mampu meminimalisasi berbagai konflik antara manusia Bali dan institusi-institusi yang selama ini memegang otoritas atas ruang budayanya, seperti banjar atau desa adat; dan melakukan perkuatan atas berbagai institusi yang selama ini yang menjaga ruang budaya manusia Bali, seperti banjar, desa adat, dan pura, baik dengan memberinya peran yang baru maupun dengan memperluas peran yang sudah ada.
Langkah berikutnya, masih menurut para juru bicara “Ajeg Bali” adalah melakukan pencanggihan dan pencerdasan atas institusi-institusi yang selama ini menjaga ruang budaya manusia Bali, seperti banjar dan kliannya, serta berbagai warisan budaya manusia Bali, sehingga mampu menghadapi godaan banal atau keganasan modernitas; pembuatan produk-produk legislasi budaya yang bertujuan menjaga eksistensi ruang budaya, ruang religius maupun modal budaya manusia Bali.
Konsep “Ajeg Bali,” juga termasuk legislasi mengenai migrasi selektif; penegakan hukum yang kuat dan konsisten atas produk-produk legislasi tersebut; pembuatan satu legislasi khusus yang komprehensif guna menata ulang batasan-batasan kewenangan antara pemerintah Republik Indonesia dan aparaturnya dengan institusi-institusi tradisional yang selama ini menjaga ruang budaya manusia Bali; pemetaan dan dokumentasi atas seluruh kekayaan budaya Bali, baik yang tangible maupun intangible; secara sadar dan sistematis memberikan ruang dan dukungan kepada para pemikir dan seniman Bali untuk menciptakan karya-karya yang bersifat counter-culture.
Dalam melaksanakan program tersebut, juru bicara “Ajeg Bali” yakin ada sejumlah ancaman yang perlu diperhatikan yakni pemberlakuan otonomi daerah; meruyaknya “penyakit sosial”, kriminalitas, prostitusi dan perjudian; sikap mental masyarakat Bali yang cenderung hedonis; kesenjangan antara aturan hukum dan penegakan hukum. Arus deras komersialisasi dan komoditifikasi kebudayaan; arus deras migrasi penduduk pendatang yang tidak terseleksi, dan kekuatan modal besar kapitalis.
Hal ini menunjukkan nada bicara dan semangat juru bicara “Ajeg Bali,” tidak jauh berbeda dengan konsep lestari yang di zaman Orde Baru menjadi diktum, pernyataan resmi pemerintah atau bagian dari ketetapan yang mengandung keputusan. Dari sini lahir berpuluh-puluh proyek pelestarian budaya Bali dan banyak yang mendapat cipratan rejeki darinya. Melalui proyek-proyek ini konsep lestari digunakan untuk merekonstruksi, membangun kembali beberapa unsur budaya Bali terutama seni tari, namun bersamaan dengan terjadinya penyeragaman produk kesenian, yang entah disengaja atau tidak, sehingga keanekaragaman ritme, irama, gerak tarian lokal terkikis perlahan-lahan, menuju satu arah yang disebut gaya STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Denpasar.
Kini, di zaman reformasi konsep lestari sudah begitu lumrah, pasaran, terasa berbau asal-asalan, tak banyak lagi yang percaya akan keampuhannya, hanya mudah diucapkan, susah dilaksanakan. Mengapa? Karena dalam pelaksanaannya konsep ini sering dibuat mendua, ambivalensi. Pelestarian terhadap budaya berbanding terbalik dengan lingkungan hidup. Di sini, dalam lingkungan hidup yang diterapkan oleh juru bicara “Bali Lestari” saat itu bukan konsep lestari dalam pengertian yang sebenarnya, melainkan penghisapan yang bersifat anibaddha (terbuka, tak terikat) dan anibrata (bergerak terus, tanpa henti, sekencang-kencangnya).
Saat itu, dengan begitu leluasa para pengambil kebijakan menyembunyikan konsep lestari dalam teori ‘pembangunan’ dengan tujuan mengeksploatasi lingkungan hidup. Atas nama pembangunan, segala sesuatu boleh dilakukan: hutan-hutan digunduli, sawah-sawah diuruk, pantai direklamasi, dan pura dijadikan view hotel, resort. Ada kebanggaan ketika hal itu mampu diraih. Namun, kini kebanggaan itu sirna. Tiba-tiba semuanya tampak keropos dan akhirnya ambruk.
Belajar dari pengalaman itu, maka Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana yang merasa punya tanggung jawab untuk memberikan penjelasan kepada publik prihal makna konsep “Ajeg Bali” dalam pengertian yang sebenarnya, kemudian mengambil inisiatif menyelenggarakan sebuah seminar bertema “Ajeg Bali Dalam Perspektif Sejarah” di Rumah Makan Sari Warta Boga, Senin 18 Agustus 2003. Seminar ini dihadiri tidak saja oleh para sejarawan, tetapi juga sejumlah undangan lintas ilmu, di antaranya Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus (alm.), I Dewa Ngurah Swastha, tokoh reformis agama Hindu, dan Kembar Kerepun, seorang pengamat kebudayaan Bali. Diskusi ini menampilkan pembicara tunggal Nyoman Wijaya dengan makalah berjudul “Ajeg Bali, Upaya Menyambung Sejarah.”
Selain Kembar Kerepun, sebagian besar peserta tidak mau mempersoalkan penamaan konsep “Ajeg Bali.” Mereka lebih mementingkan isi, strategi, dan konsep perencanaan membangun Bali. Namun Nyoman Wijaya masih bersikeras, selain yang bersifat implementatif ini, perbincangan pada tataran konsep masih tetap diperlukan. Berita tentang seminar ini dipublikasikan oleh media massa keesokkan harinya, tetapi tidak berpengaruh pada pemahaman “Ajeg,” dalam pengertian yang sebenarnya.
Konsep “Ajeg Bali” masih digunakan secara beragam oleh berbagai pihak dengan pemahaman masing-masing. Ketua HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) Bali Gede Sumarjaya Linggih, SE., mengajak semua pihak di Bali bisa menahan diri, artinya menghindari segala bentuk pengerahan massa untuk menjaga Bali tetap ajeg.[27] Sampai akhirnya konsep “Ajeg Bali” memberikan dorongan pada peningkatan sikap eksklusif umat Hindu atas pelecehan agamanya. Kasus ini bermula dari adanya seorang artis bertato “Ongkara” (simbol Tuhan dalam bentuk aksara) di pusarnya. Protes terhadap prilaku artis ini muncul dari lembaga swadaya masyarakat Patriot Bela Bangsa Bali (PBB) yang menganggap tindakan itu sebagai pelecehan terhadap simbol agama Hindu.[28]
Konsep “Ajeg Bali,” terus bergulir dalam pengertian yang semakin melebar seperti terlihat dari bunyi sebuah surat pembaca berjudul “Gemakan Ajeg Bali dari Pegunungan hingga Pesisir.” I Made Wirnaya, ST., dari Dusun Pakraman Kebon Anyar, Desa Wanagiri Kauh Selemadeg, Tabanan. Dalam surat pembaca ini disebutkan “…Tanpa kepekaan dan naluri yang dilandasi yadnya yang mendalam mustahil kita mampu berwacana ajeg Bali, apalagi bersikap dan berlaksana yang mengarah ke hal luhur itu. Dengan demikian manusia Bali menjadi penting untuk di lihat kembali.”[29]
Penulis surat pembaca ini mencoba mencari unsur pembenar atas pemahamannya mengenai ajeg Bali, persis seperti yang disebutkan oleh Geertz di atas, dengan mengacu pada fakta masa lampau yang belum teruji validitasnya, bahwa “Ajeg Bali” telah dikonsepsikan oleh Mpu Kuturan melalui konsep Trimurti. Konsep ini telah mampu meredam gejolak sosial menuju ajeg Bali saat itu. Demikian juga dengan Danghyang Nirartha melalui konsep Padmasana sudah mampu membuat tatanan sosial masyarakat Bali menjadi semakin bersatu.
Langkah yang telah ditempuh oleh kedua mpu ini, menurut sang penulis surat pembaca itu harus menjadi acuan dalam mensosialisasikan konsep “Ajeg Bali,” artinya konsep ini harus membumi, bukan hanya diberlakukan di kota-kota tetapi juga di pegunungan dan pesisir pantai. Ajeg Bali harus digemakan melalui tiga matra tri hita karana, yakni sukerta ring parahyangan, sukerta ring pawongan lan sukerta ring palemahan, maksudnya berbuat baik di tempat persembahyangan, dalam pergaulan antar manusia, dan lingkungan alam.
Untuk itu diperlukan suatu rumusan “Ajeg Bali” yang lebih ideal dengan menggunakan dasar kehidupan Panca Mahabhuta. Kepada para konseptor “Ajeg Bali” penulis surat pembaca ini mengharapkan supaya mereka segera membuat aktualisasi konsep “Ajeg Bali” yang sistematis, praktis agar mudah dipahami dan dilaksanakan oleh semua lapisan masyarakat, tanpa menimbulkan efek negatif dalam tata nilai luhur masyarakat Bali.
Berbeda dengannya, seorang penulis Surat Pembaca lainnya, masih di harian yang sama dan tanggal yang sama pula, melaporkan adanya penyelenggaraan seminar berkedok ngajegang (mengajegkan) Bali. Setiap peserta seminar diwajibkan membayar kontribusi, sumbangan sebesar Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah). Ternyata panitia seminar yang bertajuk “Ngajegang Bali” ini mencatut (menggunakan tanpa ijin) nama Paruman Agung Bendesa Adat se-Bali atas kerjasama dengan UNHI-HPP PETA yang bersekretariat di Jalan Suwung Batan Kendal Komplek Pertokoan No. 1.
Seminar ini rencananya diselenggarakan tanggal 30 Mei 2003, kemudian diundur menjadi tanggal 30 Juni 2003, namun akhir Agustus 2003 belum juga terselenggara. Setelah korban penipuan, si penulis Surat Pembaca ini menghubungi UNHI (Universitas Hindu Indonesia) ternyata lembaga ini tidak pernah menjalin kerjasama dengan HPP-PETA. Bukan hanya UNHI yang dirugikan oleh panitia pengutil konsep “Ajeg Bali’ ini tetapi juga Gubernur Bali Dewa Beratha yang dalam proposal dinyatakan akan membuka acara seminar. Demikian pula para pembicara seminar Prof. Tjok Astiti (Unud), Prof. Dr. Ida Bagus Yudha Triguna (UNHI), Alit Kalakan (kini Wakil Gubernur Bali), dan Prof. Dr. Ida Bagus Gunadha yang disebutkan sebagai moderator.[30]
Slogan “Ajeg Bali,” akhirnya masuk ke ruang birokrasi, disuarakan oleh Bupati Gianyar, Anak Agung Gde Agung Bharata saat menandatangani “Prasasti Ajeg Bali,” bertempat di Puri Gianyar tanggal 4 September 2003. Menurutnya, dalam upaya mengajegkan Bali, bukan bentuk budaya yang mutlak dipertahankan, melainkan nilai-nilai keluhurannya, artinya bentuk kebudayaan seperti misalnya tarian Baris Gede boleh berubah berulang kali, tetapi nilai luhurnya tetap bertahan. Sebagai bupati, ia berencana akan mengajegkan Bali, khususnya Gianyar dengan kesenian.[31]
Untuk memantapkan sosialisasi “Ajeg Bali,” Bali Post sebagai media cetak yang paling bersemangat menyuarakan konsep ini, mulai tanggal 10 September 2003 membuat “Kolom Ajeg Bali” yang muncul sekali seminggu pada hari Rabu. Kolom tersebut menyajikan persepsi koran ini mengenai apa yang semestinya dilakukan oleh orang Bali-Hindu dalam mengajegkan Bali. Untuk mudahnya, redaksi mencari tanggapan pada sejumlah intelektual menyangkut isu-isu budaya yang menonjol saat itu, seperti kasus pelecehan Hindu, yang dipicu oleh artis bertato “Ongkara” yang telah disebutkan di atas.
Dalam kolom Ajeg Bali tidak disebutkan apa dan bagaimana strategi yang harus ditempuh untuk mengajegkan Bali, melainkan lebih banyak menampilkan harapan-harapan dengan bersandarkan pada khasanah kebudayaan yang adiluhung. Seorang narasumber Drs. Dewa Gede Windu Sancaya, M.Hum. dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Daerah Universitas Udayana, misalnya hanya mengatakan agar pelecehan terhadap agama Hindu (respon terhadap kasus tatto di atas) itu tidak terulang kembali umat Hindu mesti mengembangkan langkah strategis, namun tidak diberikan penjabaran ringkas langkah-langkah yang dimaksudkannya.[32]
Langkah strategis menuju “Ajeg Bali,” juga tidak muncul dalam kolom Ajeg Bali edisi berikut dan seterusnya. Dalam setiap terbitan, mereka hanya mampu menghubungkan kearifan lokal dengan ajeg Bali, tanpa memberikan perincian yang jelas bagaimana cara mengolah kearifan lokal untuk mencapai tujuan yang dibayangkan. Sebagai contoh, pendapat Wakil Ketua Parisadha Bali, Gusti Ngurah Sudiana yang mengatakan apabila kearifan lokal digali lebih jauh, akan memberikan manfaat besar bagi kehidupan. Demikian pula, Dra. S. Swarsi Griya yang menyebutkan secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijakan manusia dengan bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara, dan perilaku yang melembaga secara tradisional.[33]
Hal yang serupa nyaris berulang setiap saat, para juru bicara ajeg Bali belum menemukan formula bagaimana cara mewujudkan Bali ideal yang diangankan, sehingga konsep ini berhenti pada tataran wacana. Sekalipun demikian, pada tataran wacana konsep “Ajeg Bali,” terus didengungkan. Kali ini bahkan Gubernur Bali Dewa Made Berata ikut menjadi juru bicaranya. Saat memberikan sambutan dalam acara penyerahan Anugrah Pers Ketut Nadha Nugraha 2004 kepada tokoh-tokoh Bali pilihan Bali Post, dia mengatakan sudah saatnya “Ajeg Bali tidak hanya menjadi slogan semata, melainkan ciri baru kehidupan masyarakat Bali.”[34]
Pada bulan Januari 2004, barulah umpan yang dilemparkan oleh juru bicara “Ajeg Bali” mendapat sambutan yang lebih signifikan dari kelompok yang menamakan diri Paikatan Panglingsir Pemangku Khayangan Jagad Bali (PPPKJB). Mereka menyelenggarakan kegiatan bertajuk Paruman Pinandita se-Bali, yang difasilitasi oleh Kapolda Bali Irjen Polisi Made Mangku Pastika. Kegiatan ini berlangsung pada hari Sabtu, tanggal 17 Januari 2004 di Wantilan Pura Samuan Tiga, Gianyar. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menyatukan langkah menyelamatkan Bali dari keterpurukan, menjaga stabilitas keamanan jagat Bali, dan memperteguh komitmen menjaga keajegan Bali.[35] Akan tetapi rumusan final, hasil akhir dari kegiatan ini tidak disosialisasikan kepada masyarakat, sehingga tidak banyak yang mengetahui bagaimana sesungguhnya strategi yang mereka usulkan untuk mengajegkan Bali.
Selebihnya, konsep “Ajeg Bali” masuk ke arena politik dengan diberikannya kesempatan bagi pimpinan partai politik untuk menandatangani Prasasti Ajeg Bali bertempat di Gedung Pers Bali Ketut Nadha. Penggagas dan penanggungjawab serimonial penandatanganan prasasti ini adalah pimpinan Bali Post Group ABG Satria Naradha, yang juga orang nomer satu dalam kelompok penyeru konsep “Ajeg Bali.” Pihak yang diberikannya kesempatan pertama menandatangani prasasti berbunyi “Mari Kita Ajegkan Jaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa dengan Semangat Bhineka Tunggal Ika” ini adalah Susilo Bambang Yudoyono, Ketua Partai Politik Demokrat. Dengan semangat menyala Susilo Bambang Yudoyono mengatakan ikut mendukung ajeg Bali untuk mewujudkan Bali yang damai, adil, dan sejahtera.[36]
Langkahnya diikuti oleh Wiranto, calon presiden Konvensi Partai Golkar yang menandatangani prasasti ini pada hari Selasa tanggal 16 Maret 2004.[37] Selanjutnya, Ketua Dewan Pimpinan Nasional Partai Merdeka, Adi Sasono yang berkunjung ke markas juru bicara ajeg Bali ini pada tanggal 25 Maret 2004, juga memperoleh kesempatan serupa.[38] Demikian pula Eros Djarot, Ketua Umum Partai Nasionalis Banteng Kemerdekaan (PNBK) yang menandatangani prasasti ini pada tanggal 26 Maret 2004. Berbeda dengan Adi Sasono yang lebih banyak mengemukakan cita-cita politiknya di tingkat nasional, Eros Djarot menitipkan tiga hal kepada masyarakat Bali, yakni jaga agama, adat, dan tanah Bali.[39]
Usai pemilu, ada sedikit titik terang mengenai arah yang ingin dituju oleh juru bicara “Ajeg Bali,” yaitu bukan semata-mata menjaga kebudayaan, tetapi lebih jauh dari itu memperhatikan pendidikan, kebersihan, dan kependudukan. Hal ini terungkap pada saat berlangsungnya kunjungan sepuluh konsul negara asing yang diprakarsai oleh I Gusti Bagus Yudhara (putra mantan Gubernur Bali I Gusti Putu Merta, pada pertengahan tahun 1960) ke Gedung Pers Bali Ketut Nadha pada hari Selasa tanggal 4 Mei 2004. Munculnya pandangan ini bermula dari permintaan yang disampaikan oleh juru bicara “Ajeg Bali,” ABG Satria Naradha kepada para konsul untuk memberikan saran mewujudkan ajeg Bali.[40]
Konsul Jepang N. Nomura mengusulkan masalah kebersihan mesti diberikan prioritas agar tidak mengganggu kenyamanan wisatawan dan masyarakat secara keseluruhan. Usulan ini bertolak dari keluhan-keluhan yang disampaikan oleh para wisatawan Jepang tentang kotornya tempat-tempat wisata di Bali. Untuk menjawab keluhan ini, persoalan sampah perlu ditanggulangi dengan baik dengan memberikan pendidikan kepada masyarakat Bali tentang pentingnya arti kebersihan.
Konsul Italia, Pino Confessa melengkapi pernyataan Konsul Jepang dengan mengatakan bahwa permasalahan sampah di Bali harus ditangani melalui kesadaran yang datangnya dari diri sendiri. Selain sampah, Pino Confessa juga mengharapkan Bali dapat mengatasi persoalan kependudukan, terutama para migran, karena setiap orang datang ke Bali akan membawa serta kebudayaannya. “Kita perlu betul-betul bekerja bersama-sama untuk mengajegkan Bali, bukan sebatas wacana,” kata Pino Confessa.
Saran yang disampaikan oleh para konsul ini sungguh besar pengaruhnya bagi juru bicara “Ajeg Bali.” Keesokkan harinya mereka sudah memunculkan berita di harian Bali Post mengenai alokasi dana kebersihan Kabupaten Badung yang mencapai enambelas milyar rupiah. DPRD Badung mengklaim jauh-jauh sebelumnya sudah memikirkan program penanganan kebersihan yang lebih komprehensif dan terfokus. Kalau perlu, penanganan kebersihan tidak lagi ditangani pemerintah, melainkan pihak swasta.[41]
Ketua DPRD Kota Denpasar I Ketut Sukita, SE., juga ikut berbicara, menyarankan agar pengelolaan sampah di masa yang akan datang dibangun secara mandiri di setiap desa. Pengelolaan sampah berbasis kekeluargaan harus digulirkan lebih intens.[42] Anggota DPRD Klungkung I Made Merta juga ikut memberikan respon atas komentar para konsul dengan mengatakan masih banyak warga Klungkung yang apatis terhadap masalah kebersihan lingkungan. Dia mengatakan, komentar para konsul negara sahabat ini harus dijadikan momentum berharga untuk introspeksi sekaligus menumbuhkan kembali kesadaran untuk menjaga kebersihan lingkungan.[43]
Para pengamat budaya dan ahli agama juga tidak ketinggalan dalam memberikan masukan mengenai kebersihan. Mereka mulai meneriakkan slogan “Lingkungan alam mesti terjaga kelestariannya.” Untuk menjaga kelestarian alam, budaya bersih mesti digalakkan. Kebersihan itu mesti dimulai dari diri sendiri, kata mereka. Salah seorang di antara mereka adalah dosen STAHN (Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri) Denpasar, Dr. Ketut Subagiasna, M.Si., yang berbangga hati mengatakan bahwa agama Hindu begitu banyak memiliki konsep kebersihan, di antaranya sucih dan asucih (bersih dan kotor).[44]
Ahli agama lainnya, Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si., yang juga dosen STAHN Denpasar, mengatakan di Bali ada falsafah kehidupan yang berbunyi: Eda ngacakan luhu, nyanan caplok Bhatara Kala. Ditu kutang luhune di teba, apang nyak tetanemanne mokoh.” Artinya, janganlah membuang sampah sembarangan, supaya tidak menjadi mangsa Bhatara Kala. Buanglah sampah di belakang pekarangan rumah agar tanaman menjadi subur.[45]
Tema kebersihan lingkungan, akhirnya hilang seiring berlalunya waktu. Kebersihan kembali menjadi tanggungjawab individu-individu, terutama lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup, yang sudah melakukan gerakan kebersihan sebelum munculnya saran dari para konsul dan bahkan jauh mendahului kelahiran slogan “Ajeg Bali.”
Dari tema kebersihan, sasaran “Ajeg Bali” bergeser ke pelestarian bahasa daerah. Ketua Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) Kota Denpasar, Anak Agung Ayu Rai Sunastri, S. Sos mengatakan dalam rangka ajeg Bali dan mendukung Denpasar sebagai kota berwawasan budaya, maka pelatihan pembawa acara berbahasa Bali dan pembuatan banten akan memberikan sumbangan yang bermanfaat, sehingga perlu dilakukan secara berkesinambungan.[46]
Akan tetapi usai kegiatan ini, tidak ada tindak lanjut, mau dibagaimanakan bahasa Bali. Keadaan bahasa Bali masih dalam posisi semula, dipelajari oleh mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Daerah, Fakultas Sastra Universitas Udayana yang jumlahnya semakin kecil, para penulis dan pengguna lontar yang tersebar di berbagai daerah.
Sementara itu, para juru bicara “Ajeg Bali,” masih mencari pendukung yang bisa ditarik atau dimintai peran sertanya untuk menandatangi “Prasasti Ajeg Bali.” Sasaran mereka adalah para elite politik nasional yang sedang berkunjung ke Gedung Pers Bali Ketut Nadha, sehingga sulit sekali dibedakan apakah penandatanganan prasasti ini betul-betul didasarkan atas keluhuran hati nurani atau hanya ingin memanfaatkan stasiun Bali TV sebagai media untuk mempromosikan kepentingan individu maupun kelompok, mengingat setiap pihak yang menandatangani prasasti ini, beritanya tidak saja dimuat di halaman pertama harian Bali Post, tetapi juga audio-visualnya muncul di Bali TV pada jam tayang prime time.
Kali ini yang bersedia menandatangani prasasti spektakuler ini adalah tokoh-tokoh Bali yang tinggal di Jakarta, di antaranya seorang hakim Mahkamah Konstitusi dari Bali I Dewa Gde Palguna, Sekjen MK Anak Agung Oka Mahendra, Ketua DPP Pepabri Putra Astaman, Anggota DPR John Sara, anggota Lemhannas Mayjen Made Yasa, mantan Danpaspamres Mayjen TNI Putu Sastra, Ketua Suka-Duka DKI, Dirjen Bimas Hindu dan Buddha, kalangan peneliti, dan penutur kejernihan Gde Prama. Kegiatan ini berlangsung dalam rangka menyambut hari ulang tahun (HUT) Bali TV yang kedua di Hotel Sahid Jakarta.[47]
Acara penandatanganan prasasti berlanjut terus, menjelang pemilihan presiden tanggal 5 Juli 2004. Kali ini, tanggal 16 Juni 2004 calon wakil presiden Partai Amanat Nasional (PAN), Siswono Yudohusodo menandatangani Prasasti Ajeg Bali di Gedung Pers Bali Ketut Nadha. Dia tidak saja membubuhkan tandatangannya, tetapi juga memberikan pujian dan harapan kepada masyarakat Bali. Menurutnya, keuletan dan kerajinan masyarakat Bali, terutama para petani yang hidup di daerah transmigran, sudah dikenal masyarakat luar. Oleh karena itu, putra-putri terbaik Bali layak menjadi menteri dalam pemerintahan mendatang.[48]
Isyu menteri dari Bali sudah dilempar oleh Bali Post pada tanggal 9 Juni 2004, seminggu sebelum kedatangan Siswono Yudohusodo. Dengan demikian, pernyataan yang diberikan di atas bisa disebut sebagai jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh juru bicara ajeg Bali mengenai persoalan posisi yang layak bagi orang Bali dalam pemerintahan yang akan datang untuk menjadi menteri atau pejabat negara setingkat menteri, seperti Kapolri, Kasau, Pangab, dan lain-lain. Sejak hari itu Bali Post memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengisi nama tokoh dan jabatan yang diusulkan pada kupon yang tersedia lalu mengirimkannya ke redaksi Bali Post, di Jalan Kepundung No. 67 A, Denpasar Bali.[49]
Proses penjaringan berlangsung terus dan belum selesai saat tulisan ini dibuat (tanggal 2 Agustus 2004). Jika diperkirakan jumlah kupon yang masuk per hari sebanyak lima ribu lembar.[50] Kalau dihitung dengan analisis ekonomis, berarti uang yang berputar setiap hari sebanyak Rp. 17.500.000,00 (Tujuh belas juta lima ratus ribu) yang terdiri dari Rp. 5.000.000, 00, untuk pembelian prangko (rata-rata seribu rupiah per lembar) dan Rp. 12.500.000, 00 (dua belas juta lima ratus ribu rupiah) untuk penjualan koran (harga eceran Bali Post dan Denpost Rp. 2.500, 00 per pasang). Kalau ditambahkan dengan biaya iklan, jumlahnya tentu akan lebih besar lagi.
Dengan kasus ini, kecenderungan adanya komersialisasi dari konsep “Ajeg Bali” semakin tidak bisa dipungkiri, karena hingga awal bulan Agustus 2004, nyaris setahun sesudah slogan ini dimunculkan, belum juga ada perumusan yang jelas dan tegas: apa sebenarnya masalah yang sedang dihadapi oleh Bali dan terutama bagaimana konsep “Ajeg Bali” mampu menjawab persoalan itu. Pemerintah sepertinya hanya ingin menjadi penonton, tidak segera menangkapnya untuk segera dirumuskan pelaksanaannya.
Itulah sebabnya menjadi tak terhindarkannya pandangan publik yang tak sempat diekspos oleh surat kabar, bahwa konsep “Ajeg Bali” adalah barang dagangan media massa untuk membuat berita yang mereka jual ke masyarakat menjadi selalu dinamis dan kontekstual. Pandangan seperti ini semakin tak terbantahkan karena setiap saat juru bicara “Ajeg Bali” memanfaatkan tokoh-tokoh terkemuka di tingkat nasional untuk menandatangani prasasti, kemudian menjadikannya berita koran, televisi, dan radio yang semua milik Bali Post Group berada di bawah pimpinan ABG Satria Naradha, juru bicara “Ajeg Bali.”
Tokoh penandatangan Prasasti Ajeg Bali yang membuat konseptor “Ajeg Bali” paling berbahagia adalah Presiden Megawati Soekarnoputri yang mau menandatangani prasasti ini pada tanggal 2 Juli 2004.[51]
STRATEGI MERANCANG MASA DEPAN BALI
Berdasarkan uraian di atas, dapat digarisbawahi pada diri juru bicara “Ajeg Bali,” seperti ABG Satria dan jaringannya terkandung semangat untuk melakukan konservasi budaya dan masyarakat yang mengarah pada pengawetan dan perawatan terhadap alam (natural conservation) serta penyimpanan potensi-potensi lokal untuk menuju kekekalan energi kebudayaan dan kemasyarakatan Bali.
Melalui konsep ini, para juru bicara “Ajeg Bali” ingin memberikan jawaban atas krisis eksistensial, suatu penyakit sosial yang pertama kali dikemukakan oleh Fritjop Capra, doktor fisika dari Universitas Vienna. Menurut Capra krisis ini muncul karena para ahli ilmu sosial termasuk ekonom amat getol meminjam teori ilmu fisika, seperti evolusi, perubahan, pertumbuhan, dan perkembangan. Namun ketika teori-teori itu dipakai untuk memahami fenomena sosial ternyata hasilnya tidak bersifat holistik dan ramah lingkungan. Krisis eksistensial termanifestasi dalam krisis rangkap tiga yakni krisis energi, inflasi, dan pengangguran. Ketiganya kemudian melahirkan krisis multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan, seperti kesehatan, mata pencaharian, kualitas lingkungan, hubungan sosial, ekonomi, teknologi, dan politik.[52]
Terjadi juga bencana ekologis berupa kerusakan lingkungan yang bersumber dari terjadinya kelebihan penduduk dan kemajuan dalam teknologi industri. Lingkungan yang telah mengalami kerusakan kemudian berpengaruh terhadap tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Kota-kota tertutup asap kabut berwarna kekuning-kuningan dan menyesakkan. Asap kabut itu akan memerihkan mata dan mengganggu pernafasan yang berakibat pada kerusakan paru-paru. Polusi udara juga akan mengganggu sistem ekologi, dengan melukai dan membunuh tumbuh-tumbuhan dan mengubah populasi binatang yang tergantung pada tumbuh-tumbuhan.
Kalau demikian pada diri para konseptor dan juru bicara “Ajeg Bali” masih tersimpan idealisme membangun Bali, hanya saja mereka keliru dalam memilih konsep, seharusnya yang dipakai bukan ajeg melainkan rajeg,[53] yang artinya pagar besi.[54] Pagar dalam bahasa Balinya disebut pager atau pageh, artinya keteguhan, kekokohan, ketabahan, kemantapan, keseimbangan, ketetapan, kepatuhan, kesetiaan, stabilitas, dan perbaikkan.[55] Pengertian inilah yang mereka pakai untuk menjelaskan konsep “Ajeg Bali.”
Sekalipun pada tataran wacana mereka memaknai ajeg Bali dalam pengertian pageh, namun dalam kerangka pikir dan kerja yang muncul adalah konsep apageh (bukan pageh) yang artinya tetap, kokoh, kuat, teguh, tabah, stabil, setia, konstan, tak berubah, tak dapat dibatalkan, tak dapat ditarik kembali, pasti, tegas, tetap, dan kekar.[56] Mereka ingin memasukkan unsur-unsur yang terkandung dalam konsep apageh ini pada budaya dan masyarakat Bali.
Padahal kalau memang ingin memagari atau melindungi budaya dan masyarakat Bali dari ancaman modernisasi dan globalisasi sesuai konsep pageh, yang seharusnya mereka gunakan adalah konsep amagehi, yakni memberikan kemantapan kepada alam lingkungan dan kebudayaan Bali dengan cara melakukan konsolidasi nilai-nilai ketuhanan (ajaran Hindu), bukan hanya sekedar menggiring para pejabat untuk menandatangani prasasti tanpa arah dan tujuan yang pasti, karena hal ini akan memberikan kesan bahwa para juru bicara “Ajeg Bali” sengaja menciptakan konsep yang enak didengar namun semata-mata untuk kepentingan komersial.
Dengan konsep amagehi ini, berarti orang-orang Bali akan dididik untuk setia atau taat kepada ajaran agama dan tahan menghadapi penderitaan. Di dalam agama Hindu banyak sekali konsep ketuhanan yang bersesuaian dengan konsep rajeg di antaranya tri hita karana atau tiga tujuan untuk mencapai kesejahteraan hidup di dunia. Akan tetapi dalam implementasinya, konsep ini baru sampai pada tataran wacana, bahwa manusia wajib menjaga hubungan yang harmonis dengan Tuhan, sesamanya, dan lingkungan alam, dan tidak diberikan tuntunan bagaimana melaksanakannya dengan baik dan benar.
Selain konsep lokal, Bali harus diperkenalkan pada konsep-konsep universal untuk mengatasi krisis eksistensial yang terjadi di Bali. Fritjop Capra mengatakan, untuk mengatasi krisis eksistensial, bersama-sama media, para intelelektual perlu berdebat tentang prioritas apakah yang harus ditangani lebih dulu? Apakah menangani krisis energi ataukah memerangi inflasi?
Para juru bicara konsep “Ajeg Bali” harus menyadari bahwa Bali sedang menghadapi sebuah krisis tunggal yang telah berpecah-pecah menjadi puluhan dan bersifat sistemik, artinya bahwa persoalan-persoalan itu saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain. Persoalan-persoalan itu tidak dapat dipahami dalam metodologi yang terpecah-pecah yang merupakan karakteristik disiplin akademik dan ciri badan pemerintah. Pendekatan semacam itu menurut Capra tidak akan pernah menyelesaikan kesulitan-kesulitan melainkan sekedar memutarnya dalam jaring-jaring hubungan sosial dan ekologis yang kompleks. Suatu pemecahan akan dapat ditemukan hanya jika struktur jaring-jaring itu sendiri diubah dan hal ini akan melibatkan berbagai transformasi lembaga sosial, nilai-nilai dan pemikiran-pemikiran.
Capra mengajarkan melihat krisis sebagai suatu aspek transformasi. Orang-orang Cina, yang selalu memiliki suatu pandangan dunia yang benar-benar dinamis dan suatu pengertian sejarah yang tajam, tampak menyadari sepenuhnya adanya hubungan yang kuat antara krisis dan perubahan. Istilah yang mereka gunakan untuk “krisis” –weiji— terdiri dari huruf-huruf yang berarti “bahaya” dan “kesempatan.”
Transformasi budaya semacam ini merupakan langkah-langkah esensial dalam perkembangan peradaban. Kekuatan-kekuatan yang mendasari perkembangan ini sangat kompleks, dan tidak ada suatu teori dinamika budaya yang komprehensif, tetapi tampak bahwa semua peradaban berjalan melalui kemiripan siklus proses-proses kejadian, pertumbuhan, keruntuhan, dan disintegrasi.
Setelah mencapai puncak vitalitasnya, peradaban cenderung kehilangan tenaga budayanya dan kemudian runtuh. Suatu elemen penting dalam keruntuhan budaya ini, menurut Toynbee, adalah hilangnya fleksibilitas. Pada waktu struktur sosial dan pola prilaku telah menjadi kaku sehingga masyarakat tidak lagi mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah, peradaban itu tidak akan mampu melanjutkan proses kreatif evolusi budayanya. Dia akan hancur dan secara berangsur mengalami disintegrasi. Sementara peradaban-peradaban yang sedang berkembang menunjukkan keberagaman dan kepandaian yang tak pernah berhenti, peradaban-peradaban yang berada dalam proses disintegrasi menunjukkan keseragaman dan kurangnya daya temu.
Untuk itu, juru bicara ajeg Bali harus punya visi jelas, yang berisi gambaran ideal tentang kehidupan masyarakat Bali ke depan. Gambaran ideal itu hendaknya tidak klise, asal bunyi, tanpa arah, melainkan yang tegas dan masuk akal sesuai dengan potensi dan kelemahan daerah, sumber daya manusia. Visi harus dirancang dengan melibatkan banyak ahli, agar bisa mencakup keseluruhan aspek kehidupan. Dia tak boleh bermakna tunggal, melainkan harus multidimensi.
Apa pun visi yang terpilih, jelasnya akan sulit merealisasikannya, apalagi kalau terbatas hanya dalam lima tahun. Oleh karena itu diperlukan agenda kerja yang berkesinambungan, yang simpul-simpulnya berhubungan satu sama lain. Mampukah menyusun agenda sejauh itu? Kuncinya ada pada dasar struktur masyarakat Bali. Pertama adalah pada partai politik. Logikanya, dari parpol yang baik akan tercipta Pemilihan Umum yang baik. Hanya pemilu yang baik akan menghasilkan Lembaga Legislatif yang baik. Dari lembaga Legislatif yang baik akan lahir Lembaga Eksekutif, Lembaga Yudikatif, dan Media Massa yang baik.
Lembaga politik dan lembaga hukum yang baik, akan menjadi fondasi utama pembangunan Bali. Untuk itu diperlukan ketulusan hati bagi para elite politik memberikan kesempatan bagi terciptanya struktur politik yang demokratis. Struktur politik dan hukum yang demokratis, akan berpengaruh pada struktur kelas dan lembaga-lembaga sosial, keagamaan, budaya yang mendukung kemajuan Bali, artinya mereka mendapat panutan dan acuan untuk melakukan sesuatu yang terbaik bagi Bali.
Suatu hal yang tidak boleh dilupakan adalah merancang sistem dan struktur pendidikan, teknologi, perekonomian, dan kependudukan yang disesuaikan dengan realitas masa kini. Keempat unsur dasar struktur ini sangat berpengaruh dalam wujud atau bentuk kebudayaan dan alam Bali. Bentuk dari sistem dan strukturnya harus dirancang sedemikian rupa, diawali dengan mendirikan departemen-departemen khusus atas kerjasama antara pemerintah dan swasta. Banyak hal yang perlu dibincangkan untuk membangun struktur ideal dan jaringan kerjasama antar unsur itu. Suatu hal yang tak boleh dilupakan, bahwa perubahan struktural harus sejalan dengan perubahan kultural, kalau tidak anomie akan berkepanjangan dan tidak dapat dihentikan di jagat Bali ini.
Sebagai bahan pertimbangan, kiranya perlu dikupas lebih jauh teori filsafat John Rawl (1921-?) yang menyebutkan bahwa fungsi struktur masyarakat adalah untuk membagi-bagikan hal-hal utama yang ingin diperoleh setiap orang (primary good), yang terdiri dari hak-hak, kebebasan, kesempatan untuk memperoleh untung, kekuasaan, dan kesehatan. Primary good ini merupakan kebutuhan dasar manusia, yang diinginkan oleh setiap manusia normal untuk mencapai kehidupan yang layak sebagai manusia. Oleh karena itu tugas yang harus diupayakan oleh para pengambil kebijakan adalah mencapai struktur masyarakat yang adil. Hal ini dapat diwujudkan dengan mengadakan reorganisasi atau penataan kembali susunan dasar masyarakat.[57]
Saat membuat susunan dasar masyarakat yang adil ini, setiap individu berada dalam keadaan original position (posisi asli), yakni keadaan awal ketika manusia kembali pada sifat-sifat aslinya seperti mementingkan diri sendiri, egois, dan rasional. Bertitik tolak pada posisi asli ini, orang akan sampai pada suatu persetujuan bersama untuk mewujudkan prinsip-prinsip keadilan. Syarat untuk mencapai posisi yang asli itu adalah membangun situasi yang menempatkan para anggota kegiatan struktur dasar masyarakat dalam kedudukan yang sama. Dalam situasi seperti ini, dengan demikian, tidak seorangpun tahu akan kedudukannya, dan tidak tahu keuntungan dalam pemberian kekayaan dan kemampuan alamiah. Mereka juga tidak akan tahu yang akan terjadi terhadap dirinya, maupun terhadap orang lain. Keadaan semacam ini disebut selubung ketidaktahuan.
Prinsip-prinsip keadilan yang harus dicapai melalui cara tersebut terdiri dari dua. Pertama disebut prinsip kebebasan yang sama yang sebesar-besarnya (Principle of Greatest Equal Liberty). Prinsip ini meliputi kebebasan untuk berperan dalam kehidupan politik, kebebasan berbicara, kebebasan berkeyakinan, kebebasan menjadi diri sendiri, kebebasan dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, dan hak untuk mempertahankan milik pribadi. Kedua disebut prinsip perbedaan (The Difference Principle) dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (The Principle of Fair Equality of Opportunity).
“The Difference Principle” mengandung arti bahwa perbedaan sosial dan ekonomi (ketidaksamaan prospek seseorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan, dan wewenang) harus diukur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang belum beruntung (mereka yang paling kurang mempunyai peluang atau kesempatan untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat, dan wewenang. Sedangkan “The Principle of Fair Equality of Opportunity” mengandung arti bahwa ketidaksamaan sosial ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga membuka jabatan dan kedudukan sosial bagi semua ada dalam kondisi persamaan kesempatan. Orang-orang dengan keterampilan, kemampuan, dan motivasi yang sama dapat menikmati kesempatan yang sama pula.
PENUTUP
Dengan demikian konsep “Ajeg Bali” setelah setahun berlalu, terhitung dari semenjak dicanangkan pada tanggal 16 Agustus 2003 telah kehilangan makna karena ada oknum yang menjadikannya sebagai alat demi kepentingan dan keuntungan pribadi atau kelompok. Secara perlahan-lahan mereka mencoba mensosialisasikan dan mengangkat status “Ajeg Bali,” menjadi bagian dari pola berpikir, berkata, dan berbuat, tetapi tidak berhasil. Bahkan ada tanda-tanda konsep “Ajeg Bali” tergelincir menjadi Ajeng Bali, ngajengang Bali, medaar Bali, maksudnya mengekploatasi Bali.
Sekalipun demikian, ada sinyal konsep ini akan meningkat statusnya menjadi diktum, mengingat begitu banyak pejabat lokal maupun nasional yang mau menandatangani prasasti Ajeg Bali. Juga karena seringnya konsep ini digunakan dalam pembicaraan, baik ranah resmi maupun tak resmi. Itu berarti akan segera muncul puluhan proyek pembangunan mengatasnamakan Ajeg Bali.
Di sinilah bedanya generasi Bali tahun 2000 dengan tahun 1950-an. Di tahun 1950-an, begitu usai pemilu tahun 1955, yang dimenangkan oleh PNI (Partai Nasional Indonesia), masyarakat Bali langsung membangun dengan bertitik tolak pada persoalan krusial yang terjadi di Bali. Mereka tidak menggunakan konsep lokal “ajeg” maupun “rajeg,” melainkan konsep ideologis memenuhi kebutuhan jasmani atau rohani. Ideologis pertama mengarah pada pembangunan ekonomi, yang didukung oleh kelompok PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan kedua mengarah pada pembangunan kebudayaan yang didukung oleh PNI.
Pilihan jatuh pada pembangunan kebudayaan. Oleh karena itu sejak tahun 1957 dilaksanakan pesamuhan, kongres bahasa Bali untuk mencari jalan ke luar dari persoalan yang dihadapi oleh masyarakat sejak awal kemerdekaan, yakni lemahnya kemampuan anak-anak sekolah dalam penguasaan bahasa Bali. Kelemahan ini dikhawatirkan akan membuat orang-orang Bali tidak lagi mengenal apalagi menguasai khasanah kebudayaannya. Oleh karena itu para intelektual saat itu menginginkan didirikannya Fakultas Sastra, dengan pertimbangan lembaga pendidikan modern ini, akan tumbuh menjadi penjaga gawang kebudayaan Bali.
Tahun 1958, bulan September lembaga ini dapat didirikan, diberi nama Fakultas Sastra Universitas Airlangga di Bali, karena pendiriannya masih menggunakan atau atas nama Universitas Airlangga, Surabaya. Tahun 1962, Fakultas Sastra ini dilebur ke dalam tubuh Universitas Udayana, yang menawarkan fakultas eksakta, hukum, dan ekonomi. Ternyata fakultas non-budaya ini lebih diminati oleh orang-orang Bali. Fakultas Sastra pun semakin melenceng dari tujuan semula, terutama ketika terbukti Jurusan Bahasa dan Sastra Bali maupun Bahasa dan Sastra Jawa Kuno sepi peminat.
Dalam kasus ini, dapat dikatakan perumusan elit atas persoalan yang terjadi di masyarakat tidak sejalan dengan harapan masyarakat. Begitu mereka mampu memberi jawaban atas persoalan awal tahun 1950-an, dengan mendirikan Fakultas Sastra di tahun 1960-an muncul tantangan baru yang berpangkal pada orientasi pembangunan sektor kepariwisataan yang ditandai dengan pendirian Hotel Bali Beach (HBB) kini Grand Bali Beach (GBB) dan Bali Internasional Airport, kini Bandara Ngurah Rai. Kehadiran kedua infrastruktur ini mengubah orientasi masyarakat Bali dari masyarakat kangen akan masa lampau menjadi masyarakat yang berorientasi ke masa depan. Para pimpinan Fakultas Sastra saat itu mencoba menjawab tantangan jaman dengan mendirikan Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, yang ternyata peminatnya jauh lebih tinggi daripada jurusan lain seperti Ilmu Sejarah, Arkeologi, Antropologi, Bahasa Indonesia, Bahasa dan Sastra Daerah (Bali maupun Jawa Kuno).
Berangkat dari pemahaman ini, perlu diajukan pertanyaan apakah tidak mungkin para elite masa kini juga keliru merumuskan persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat Bali satu dua dekade yang lalu, yang coba mereka jabarkan melalui konsep “Ajeg Bali” seperti tersebut di atas.
5 Komentar
luung analisane.. kritis… dan puisisne pak Nyoman Wijaya menyentuh gati.. menurut tiang naq keweh mendefinisikan sebuah kata, yen alih perbedaanne nak pasti ade, yen alih persamaanne masi pasti ade. jani cen ane paling berpengaruh jak gumi baline too ane laksanaang.. bes liunan teori masi kuang asane… pang ngidang state saling asah, asih asuh
ajeg bali artinya ada sesuatu yg “nyerendeng” yg perlu ditegakkan di jagat Bali ini yaitu sejarah Bali Kuno. Sejarah Bali yg ada saat kini jauh panggang dari api yg perlu diluruskan.
OM SWASTYASTU,
Salam hormat kepada semua kawan-kawanku, saya cinta Bali,
Saya senang membaca artikel ini, walaupun tidak terlalu mendetail sampai titik komanya, tetapi membaca argumentasi yang sistematis dan jelas. Mestinya artikel ini mendapat tanggapan positif dari berbagai pihak, terutama dari “GOLONGAN YANG MEMPUNYAI TUGAS BERPIKIR”, karena artikel ini berbicara masa depan anak dan cucu bangsa Indonesia yang hidup di Bali.
Dorongan untuk membuat kerangka konsep yang jelas merupakan tuntutan yang sangat rasional dewasa ini. Agar jangan dibilang pengguna konsep “TIBA MASA TIBA AKAL” alias konsep DADAKAN, apalagi dikatakan KONSEP KUALA APANG ADE DOGEN.
Karena itu, permintaan dari artikel ini untuk “memaknai lebih sungguh-sungguh tentang Ajeg Bali” adalah tuntutan yang rasional.
Cuma karena saya sebagai pendatang baru di negeri sendiri, tepat tahun 2003 itu saya mulai kuliah di S2 IHDN dan saya dengar bagaimana ramainya wacana Ajeg Bali. Sejak itu saya berpikir, apakah harus menggunakan terminologi “Ajeg”? tidak adakah terminologi lain. Sebab saya yang sejak bayi berada di negeri orang, dan sekarang kembali lagi merantau jauh di negara orang lain, kata “AJEG” itu lebih banyak orang mengartikan sebagai sesuatu yang bersifat “statis”, “stagnasi”, dan “kaku”. Kita boleh berargumentasi bahawa dalam bahasa Bali artinya tidak begitu, TETAPI orang banyak mengartikan seperti itu. Makanya apakah tidak bisa diganti dengan wacana atau tema “BALI LESTARI”, “BALI HARMONI”, “BALI SHANTI”, “BALI ASRI”.
Saya bukan anti Ajeg Bali, tetapi bagi saya Ajeg Bali formulasi konsepnya belum jelas, karena itu sewaktu saya S2 mendapat soal ujian pada semester ke 2, pertanyaannya sebagai berikut: Apakah yang saudara ketahui tentang Ajeg Bali? saya hanya jawab: “Ajeg Bali adalah snow ball keranjang bolong” (saya artikan : bahwa wacana ini persis seperti keranjang yang terbuat dari salju dan menggelinding mau memetik konsep-konep di tengah jalan yang dilalui oleh keranjang salju, tetapi karena namanya saja keranjang bolong, maka apa yang masuk dari mulut keranjang akhirnya keluar juga dari lobang pinggir keranjang. Artinya keranjangnya tetap kosong nggak ada isinya”. Mungkin dosen saya jengkel baca jawabannya, saya tidak tahu.
Om Shanti Shanti Shanti
I KETUT DONDER
Rabindra Bharati University Calcutta – India
Ajeg Bali sekarang sudah Bukan dimiliki oleh Orang Bali yg bergama Hindu..dulu Bali dikenal pulau seribu pura…sekarang masjid dan gereja sudah melebihi dari jumlah pura yg ada di Bali..liat saja perumnas munang maning…sawah telah beralih fungsi menjadi hotel dan vila…kafe menjamur ..kejahatan sudah meningkat…
tl;tr