Megawati Soekarno Putri : Politik Berbasis Kebenaran, Nurani dan Tunduk pada Konstitusi
Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden ke Lima negeri ini dan sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan
Denpasar, (Metrobali.com)-
Menarik menyimak pidato Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden ke Lima negeri ini dan sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan, menyimak dinamika politik yang sedang berlangsung.
“Phrase “Dinamika Politik yang Sedang Berlangsung”, pernyataan Ibu Megawati amat sangat terlalu halus terhadap salah guna kekuasaan yang sedang berlangsung,” kata Jro Gde Sudibya, aktivis demokrasi, pengamat ekonomi politik, Senin 13 November 2023 menanggapi pidato politik “NURANI” Ibu Megawati Soekarno Putri.
Menurut Jro Gde Sudibya, pidato Mega untuk menyatakan secara verbal bahwa, telah “Pembajakan” konstitusi di MK, di wilayah di mana konstitusi semestinya: dirawat, dijaga dan dimulyakan.
Dikatakan, rangkain “drama” pencalonan Gibran, dengan “pernak-pernik” menyertainya, menggambarkan pelanggaran etika berpolitik, tentang: kesetiaan, kejujuran dan satunya kata dengan perbuatan.
Drama itu, kata Jro Gde sangat amat kentara yang dilakukan oleh kekuasaan. Plus rangkaian peristiwa lainnya, penurunan spanduk: Ganjar Pranowo di Batubulan Bali, Pematang Siantar, Sumatra Utara, pengarahan terhadap sejumlah Kapolres untuk pemenangan capres tertentu. Indikasi dari kekuasaan yang bekerja, yang mencidrai proses demokrasi.
Catatan dari pidato politik Megawati Soekarno Putri, dalam ketidak pastian politik tinggi yang sedang berlangsung, dan sebut saja sebuah bangsa dalam penantian – nation in a waiting-, “menunggu” kemana arah demokrasi bergerak: kerusakan serius akibat salah guna kekuasaan, bertahan dan kembali bangkit oleh kekuatan rakyat yang mencintai demokrasi dan tunduk pada konstitusi.
Ditekankan, politik berbasis kebenaran, nurani dan tunduk kepada konstitusi. Megawati sebagai negarawan, menunjukan kepada bangsa ini, kemulyaan berpolitik tersebut sedang mengalami ancaman, oleh salah guna kekuasaan yang begitu telanjang, yang mengkhianati cita-cita reformasi.
Dikatakan, konstitusi yang semestinya dijadikan rujukan tunggal dalam berbangsa dan bernegara, diintervensi untuk kepentingan kekuasaan, dan kelanggengan kekuasaan.
Oleh karena itu, lanjut Jro Gde Sudibya, rakyat harus berani menyuarakan kebenaran, berbasis nuraninya, taat azas kepada konstitusi, untuk menjaga dan merawat demokrasi, melalui proses pemilu yang LUBER, fair dan berkeadilan.
“Menyimak pidato politik Megawati, kita kembali diingatkan akan diktum: dalam politik tidak ada teman yang abadi, yang ada kepentingan yang abadi,” katanya.
Menurutnya, kini politik yang berkembang adalah kepentingan yang mengorbankan “teman”, dengan melabrak konstitusi, melakukan pelanggaran berat etika, di medsos ada menyebutnya sebagai pengkhianatan model Malin Kundang, menggambarkan adanya titik-titik hitam -dark numbers- dalam proses demokrasi yang sedang berlangsung.
“Karena kegundahan dan kegeraman terhadap “kekumuhan” terhadap peristiwa politik yang sedang berlangsung, banyak orang kembali mengucapkan potongan puisi aktivis Jogyakarta Widji Tukul, yang hilang tahun 1998 dan tidak diketahui keberadaannya sampai hari ini: “hanya ada satu kata LAWAN”,” kata Jro Gde Sudibya, aktivis demokrasi, pengamat ekonomi politik. (Adi Putra)