takjilan

Jakarta (Metrobali.com)-

Pangan sehat, baik itu makanan atau minuman, merupakan persoalan yang tidak akan pernah sekalipun lepas dari kehidupan manusia di sepanjang hayatnya karena manusia akan selalu membutuhkannya.

Masalahnya, terkadang manusia akan sulit untuk membedakan pangan sehat dan yang tidak lantaran sesekali secara kasatmata seolah sama. Pangan ini bisa macam-macam, seperti makanan dan minuman untuk takjil (mempercepat dalam berbuka puasa) yang dijual dan laris pada bulan Ramadan 1436 Hijriah, Seperti peribahasa “ada gula, ada semut” karena banyak peminat jajanan jenis ini saat bulan puasa.

Sebuah fenomena larisnya makanan dan minuman untuk takjil ini tentu harus meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya peredaran produk pangan yang tidak memenuhi syarat, antara lain materi pangan ilegal, kedaluwarsa, dan rusak. Distribusi pangan olahan ini juga tersebar di berbagai tempat, seperti toko, pasar tradisional, supermarket, hypermarket, dan juga penjaja jajanan di sejumlah sudut jalan.

Dalam mengantisipasi mengonsumsi makanan dan minuman untuk takjil tidak sehat, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Husna Zahir menekankan perlunya kendali masyarakat yang harus diterapkan untuk sensitif terhadap pangan yang dikonsumsinya. Tentu saja Husna juga mendorong agar pemerintah bekerja ekstra keras mengawasi dan mengeksekusi temuan dengan tegas agar makanan dan minuman untuk takjil berisiko tidak dijajakan secara bebas.

Singkat kata, kritis terhadap apa yang dikonsumsi merupakan sebuah pertahanan terbaik masyarakat agar pangan yang dimakan atau diminum itu sehat.

“Memang ada jajanan di pasaran yang telah dipublikasikan tidak sehat dan tidak aman oleh otoritas pemerintah. Misalnya, mengandung formalin, boraks, rhodamin, atau bahan berbahaya lainnya. Akan tetapi, selain mengandalkan pemerintah, kita juga bisa menjadi basis deteksi dini makanan berisiko,” kata Husna.

Menurut dia, terdapat sejumlah pangan yang lolos dari pengawasan otoritas berwenang, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Alasannya, fenomena jajanan tidak aman dan tidak sehat merupakan fenomena gunung es. Fenomena yang tampak pada pemberitaan baru sebagian saja dan kemungkinan besar yang lewat dari publikasi itu lebih banyak.

Pengurus YLKI itu mengajak masyarakat agar lebih sensitif terhadap pangan, terutama jajanan, kendati makanan atau minuman yang dibeli tidak masuk dalam daftar pangan berisiko versi pemerintah.

Secara spesifik, dia mengajak masyarakat untuk menggunakan pengindraannya saat jajan, terutama untuk berbuka.

Masyarakat, kata dia, bisa mendeteksi makanan dan minuman untuk takjil sehat atau tidak dengan indranya. Cara ini bisa dilakukan tetapi bukan tolok ukur utama mengenai jajanan sehat.

Salah satu yang dilakukan dengan merasakan jajanan itu dengan pengindraan lidah. Jika rasanya aneh, memiliki rasa ekstrem (terlalu pahit, manis, atau asam), perlu dicurigai.

Rasa pahit seperti dalam kue yang umumnya manis, kata dia, bisa jadi merupakan bahan pengawet atau bahan makanan tambahan yang terlalu banyak dicampur. Sementara itu, jika ada rasa aneh yang tidak lazim dari suatu jenis jajanan, bisa jadi itu mengandung bahan tambahan (aditif) yang berlebihan atau tidak seharusnya ada di suatu makanan atau minuman tersebut.

Dari indra penglihatan, masyarakat bisa menentukan pangan tersebut menggunakan pewarna yang aman atau tidak. Misalnya, suatu makanan atau minuman memiliki warna yang terlalu mencolok maka bisa jadi itu merupakan pewarna buatan yang tidak aman untuk dikonsumsi manusia.

Selanjutnya, dari indra penciuman, masyarakat bisa menghirup aroma jajanan tersebut aneh atau tidak. Jika aneh, ada kemungkinan jajanan itu berisiko karena bisa jadi pangan itu basi atau menggunakan zat aditif berisiko untuk kesehatan manusia.

Lewat sentuhan tangan, lanjut Husna, bisa dicek sebuah panganan terlalu kenyal atau tidak. Jika kekenyalannya mencurigakan, bisa saja makanan olahan tersebut menggunakan boraks.

Boraks sendiri banyak disalahgunakan oleh oknum di berbagai makanan olahan, seperti bakso, mi basah, pisang molen, lemper, siomay, lontong, ketupat, dan pangsit. Tujuan oknum ini adalah untuk membuat tekstur makanan menjadi kenyal dan penampilan makanan menjadi lebih baik.

Parahnya, terkadang para pembuat makanan ini tidak tahu jika zat yang ditambahkannya itu merupakan zat berbahaya semacam boraks.

Zat berbahaya ini sering disalahgunakan untuk dicampur dengan makanan. Boraks sejatinya dibuat untuk antiseptik dan pembunuh kuman sehingga manfaat zat ini banyak dipakai sebagai antijamur kayu, bahan pengawet kayu, dan bahan antiseptik pada kosmetik.

Menurut Husna, masyarakat dari kalangan ekonomi lemah adalah kelompok yang paling dirugikan dari beredarnya makanan yang mengandung zat berbahaya. Alasannya, mereka tidak memiliki banyak pilihan sehingga mau tidak mau mengonsumsi pangan berbahaya.

Laporkan! Kepala BPOM Roy Sparringa mengatakan bahwa pihaknya selalu membuka diri terhadap laporan masyarakat jika menemukan pangan atau obat yang diduga mengandung unsur-unsur tidak aman dan tidak sehat.

Badan Pengawas Obat dan Makanan juga kerap mengingatkan pentingnya partisipasi masyarakat untuk melaporkan pangan dan obat mencurigakan.

Satu hal yang tidak kalah penting, kata dia, adalah partisipasi aktif pengawasan dari masyarakat. Masyarakat agar dapat menjadi konsumen cerdas yang teliti sebelum membeli dan mengonsumsi obat dan makanan.

Sementara itu, Roy juga meminta masyarakat agar teliti terhadap makanan olahan kemasan dan obat yang beredar di pasaran.

“Salah satu tips menjadi konsumen cerdas adalah KIK, yaitu perhatikan kemasan, izin edar, dan tanggal kedaluwarsa produk. Apabila masyarakat memiliki informasi adanya obat dan makanan yang diduga melanggar peraturan, seperti pangan dan kosmetik yang dicurigai mengandung bahan berbahaya, dapat menghubungi call center BPOM, yaitu 1-500-533 atau unit BPOM di seluruh Indonesia,” kata dia.

Terkait dengan maraknya makanan dan minuman untuk takjil di tengah masyarakat saat puasa, BPOM mengimbau masyarakat untuk tetap tenang dalam menghadapi Ramadan dan Idulfitri 1436 Hijriah atau 2015 Masehi ini. Badan Pengawas Obat dan Makanan terus melakukan pengawasan secara intensif untuk memastikan produk obat dan makanan yang beredar aman, berkhasiat, bermutu, dan berizi untuk dikonsumsi.

Sebelumnya, BPOM merilis data pangan ilegal (tanpa izin edar/TIE), pangan kedaluwarsa dan pangan rusak selama tiga tahun terakhir yang cenderung meningkat.

Misalnya, intensifikasi pengawasan pangan BPOM tahun 2012 menemukan 67.471 kemasan pangan ilegal. Jumlah ini meningkat pada intensifikasi pengawasan pangan tahun 2013 dan 2014 menjadi 163.850 kemasan dan 1.324.059 kemasan, yang nilai keekonomiannya meningkat dari Rp6.554.000.000,00 menjadi Rp52.962.360.000,00.

Target pengawasan, BPOM memfokuskan pada pangan olahan tanpa izin edar, kedaluwarsa dan rusak (penyok, kaleng berkarat, dan lain-lain) pada sarana distribusi. AN-MB