Mary Jane Fiesta Viloso 1

Jakarta (Metrobali.com)-

Nama Mary Jane Fiesta Veloso menjelang eksekusi mati tahap kedua pada akhir April 2015 sontak menjadi perbincangan dunia internasional, khususnya di Indonesia dan Filipina.

Pasalnya, menjelang detik-detik akhir nyawanya tercabut oleh regu tembak bersama delapan terpidana mati lainnya, eksekusi itu ditunda.

Penundaan itu disambut sujud syukur oleh sejumlah aktivis buruh tenaga kerja yang simpati atas nasib Mary Jane yang diduga menjadi korban perdagangan manusia. Di sisi lainnya, ada yang mengecam atas penundaan itu karena menduga adanya tekanan dari pihak lain.

Penundaan itu tidak lain atas munculnya pengakuan pelaku perdagangan manusia di negara tetangga Indonesia itu bahwa Mary Jane merupakan korban atas kelakuannya.

Yang menjadi pertanyaan apakah adanya pengakuan itu akan membebaskan jeratan hukuman mati terhadap Mary Jane? Novum atau bukti baru yang mungkin ditemukan dalam proses hukum yang dijalani terpidana mati dalam kasus perdagangan narkoba, Mary Jane Fiesta Veloso, di Filipina sulit mengubah putusan hukuman mati yang ditunda eksekusinya, kata pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Abdul Kholiq.

“Secara yuridis hukum pidana setelah berbagai peluang menempuh keadilan telah diberikan, dan akhirnya diputus ‘inkracht’, tidak bisa diubah atau diganti lagi putusan itu,” katanya.

Menurut Abdul Kholiq, kendati dalam proses hukum di Filipina disampaikan ditemukan novum, bukti baru tersebut tetap tidak dapat lagi digunakan untuk mengubah putusan yang telah melewati berbagai upaya hukum, mulai dari tingkat pengadilan, banding, kasasi, hingga peninjauan kembali (PK).

“Novum memang sejatinya tetap harus dipertimbangkan dan diadopsi dalam pembuatan putusan. Namun, jika berbagai upaya hukum untuk menempuh keadilan telah diberikan hingga tingkat PK, sudah tidak bisa digunakan lagi,” kata dia.

Menurut Abdul Kholik, pada dasarnya hukum memang harus memuat unsur keadilan. Namun, selain keadilan, unsur kepastian hukum juga harus tetap ditegakkan.

“Hukum itu tidak hanya memberikan dimensi keadilan saja, tetapi kepastian hukum juga perlu. Itu yang harus dipahami,” kata dia.

Adapun penundaan eksekusi hukuman mati Mary Jane yang dilakukan Presiden RI Joko Widodo, kata dia, dapat diberlakukan sepanjang hanya untuk menghormati proses hukum di Filipina guna menjaga hubungan dua negara.

“Oleh karena itu, bahasa yang tepat adalah penundaan, bukan pembatalan,” kata dia.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengatakan bahwa bila terbukti merupakan korban perdagangan orang atau “trafficking”, Mary Jane Fiesta Veloso tidak boleh dipidanakan.

“Konvensi Internasional untuk Tindak Pidana Perdagangan Orang atau Palermo Protokol jelas menyatakan saksi korban tidak boleh dipidana karena harus memberikan keterangan,” kata Anis Hidayah.

Oleh karena itu, Anis mengatakan bahwa peradilan di Indonesia harus menghormati dan menunggu proses peradilan yang sedang berjalan di Filipina.

Bila memang Mary Jane adalah korban “trafficking”, hal itu bisa menjadi temuan baru atau novum untuk pengajuan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) terkait dengan vonis hukuman mati yang dijatuhkan.

“Kasus ‘trafficking’ ada tiga unsur, yaitu perpindahan orang, cara, dan eksploitasi. Saya melihat dalam kasus Mary Jane, semua itu ada. Tinggal pembuktian di Filipina,” tuturnya.

Menurut Anis, kejadian yang menimpa Mary Jane itu jamak terjadi. Dalam beberapa kasus yang ditangani Migrant Care, relatif cukup banyak warga negara Indonesia (WNI) yang terancam dipidana karena dijebak sebagai kurir narkoba.

“Banyak WNI yang terjebak menjadi kurir narkoba di Filipina, Tiongkok, dan Malaysia,” ujarnya.

Tergantung Diplomasi Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan bahwa meskipun ada temuan baru dalam pengadilan di negara asalnya, keringanan hukuman bagi Mary Jane Fiesta Veloso tetap bergantung pada diplomasi antara Indonesia dan Filipina.

“Putusan pengadilan Filipina tidak bisa menjadi temuan baru atau novum bagi Mary Jane untuk mengajukan PK ke Mahkamah Agung,” kata Bonar Tigor Naipospos.

Meskipun Indonesia dan Filipina sama-sama menjadi anggota ASEAN dan menandatangani perjanjian ekstradisi, menurut Bonar, tidak ada aturan hukum dan tata cara antara sesama anggota apabila ada objek hukum yang sama.

Menurut Bonar, selama ini juga tidak ada yurisprudensi temuan dalam pengadilan di suatu negara bisa dijadikan temuan untuk pengadilan yang berlangsung di negara lain meskipun kejahatan dilakukan bersama atau objek perkaranya sama.

“Apalagi, masing-masing negara ASEAN berprinsip untuk tidak mencampuri urusan masing-masing negara. Belum lagi akan ada pendapat kedaulatan hukum domestik harus dijunjung tinggi,” tuturnya.

Itulah sebabnya, kata Bonar, Jaksa Agung menyatakan eksekusi mati terhadap Mary Jane hanya ditunda, bukan dibatalkan. Meskipun pengadilan Filipina menemukan fakta Mary Jane menjadi korban “trafficking” atau diperdaya, hal itu tidak bisa dijadikan novum untuk mengajukan PK.

“Apalagi, telah ada surat edaran MA yang membatasi PK hanya satu kali untuk jenis kejahatan tertentu,” ujarnya.

Di sisi lain, Bonar mengatakan bahwa isu hukuman mati berpotensi mengganggu integrasi di kalangan negara dan masyarakat ASEAN di kemudian hari.

Pasalnya, sejumlah negara ASEAN, seperti Filipina, Thailand, Kamboja, dan Laos, telah menghapus hukuman mati dari seluruh perundangannya, sedangkan Myanmar melakukan moratorium. AN-MB