Anggota DPD RI Perwakilan Bali Dr. Made Mangku Pastika, M.M. saat FGD “Penyerapan Aspirasi dan Upaya Memaksimalkan Perjuangan RUU Provinsi Bali Bekerja Sama dengan Parpol, Staf Ahli Hukum Pemprov Bali, Biro Hukum Setda Bali, Akademisi dan Tokoh Masyarakat” di Sekretariat DPD RI Perwakilan Bali, Renon Denpasar, Senin (2/3/2020).

Denpasar (Metrobali.com) –

RUU Provinsi Bali menjadi suatu hal yang ‘urgent and important’ artinya sangatlah mendesak dan penting karena selama ini kita masih menggunakan produk undang-undang No 64 tahun 1958 Republik Indonesia Serikat (RIS) yang kini dianggap sudah tidak relevan lagi, karena ketika kita memproduksi undang-undang apapun di daerah kita selalu mengacu kepada undang-undang itu, untuk itulah maka harus segera disesuaikan dan ini juga menyangkut kepentingan Bali yang tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hal tersebut dikemukakan oleh anggota DPD RI Perwakilan Bali Dr. Made Mangku Pastika, M.M. saat FGD “Penyerapan Aspirasi dan Upaya Memaksimalkan Perjuangan RUU Provinsi Bali Bekerja Sama dengan Parpol, Staf Ahli Hukum Pemprov Bali, Biro Hukum Setda Bali, Akademisi dan Tokoh Masyarakat” di Sekretariat DPD RI Perwakilan Bali, Renon Denpasar, Senin (2/3/2020).

“Meskipun tidak berada dalam 50 rancangan undang-undang atau RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020, namun masyarakat Bali diminta tetap berupaya dan selalu kompak untuk mengawal agar RUU itu bisa diselesaikan lebih cepat, Kalau pun nanti terpaksa mundur 2021 baru dibahas, kita harus tetap berjuang dan berusaha terus. Banyak hal yang bisa disiapkan dari sekarang sebelum RUU itu jadi UU nantinya,” ujar Mangku Pastika.

Dalam FGD tersebut hadir akademisi di antaranya Dekan FH Unud Prof. Dr. Arya Utama, Dr. Subanda, sejumlah politisi serta budayawan Putu Suasta dan Prof. Damriyasa selaku Koordinator Kelompok Ahli Pemprov Bali.

Tapi kalau melihat beban DPR dimana sudah ketok palu 50 RUU prioritas 2020, ada kemungkinan RUU Provinsi Bali bisa mundur. “Seandainya ini lama, maka kita tetap harus menyiapkan rancangan berbagai perda yang menjadi turunan dari UU ini. Sehingga ketika sudah disahkan, maka kita sudah siap,” ujar mantan Kapolda Bali ini.

Menurutnya, FGD ini lebih sebagai sambung rasa, urun rembug untuk memberi kontribusi Bali ke depan. Dikatakan saat ini dari aspek materi substansinya dan alasan, RUU Provinsi Bali ini semua sudah bisa menerima. Bahkan saat ini RUU tersebut sudah di tangan Komisi II setelah diserahkan Tim Badan Keahlian DPR RI.

Hadir dalam FGD tersebut para akademisi di antaranya Dekan FH Unud Prof. Dr. Arya Utama, Dr. Subanda, sejumlah politisi serta budayawan Putu Suasta dan Prof. Damriyasa selaku Koordinator Kelompok Ahli Pemprov Bali.

Mengantisipasi hal itu, budayawan Putu Suasta menyarankan agar ada sosialisasi melalui media massa. Alumnus Cornell University mengatakan ada hal penting yang perlu dipikirkan pemimpin Bali ke depan, seperti tingginya alih fungsi lahan, masalah pedagang pasar, kebudayaan (bahasa) yang terancam hilang serta terjadinya desentralisasi fiskal. “Pariwisata Bali begitu besar mendatangkan uang, tapi kemana larinya itu,” tanya jebolan Fisipol UGM ini.

FGD yang dipandu dosen Unwar Wayan Wiratmaja, MSi., dari Biro Hukum Setda Bali menyampaikan pada tanggal 21 Pebruari 2020, substansi RUU Provinsi Bali ini sudah dibahas tim badan keahlian DPR RI dan hampir tak ada masalah. Dikatakan pengajuan RUU karena UU No.64 Tahun 1958 merupakan produk RIS yang sudah tak relevan lagi dengan kondisi sekarang.

Prof. Damriyasa mengatakan materi RUU Provinsi Bali sudah ditangan Komisi II. Proses selanjutnya akan ada uji publik. “Yang perlu sekarang adalah kekompakkan untuk dukung RUU ini. UU ini akan mengatur kita, masak kita sampai tidak tahu,” ujarnya.

Sedangkan Akademisi Prof Arya Utama mengatakan UU ini bukan otsus, atau otonomi istimewa. Tapi desentralisasi asimetris.

 

Pewarta : Hidayat
Editor : Hana Sutiawati