Oleh : Gde Sudibya
Suasana kebatinan umumnya mahasiswa sebelum peristiwa itu berlangsung di Jakarta, 15 Januari 1974. Masih terngiang perjuangan mahasiswa dan pelajar pada saat itu. Dan rasa khawatir akan nasib bangsa dan negara Indonesia ke depan.
Kegalauan yang sangat dalam terhadap dominasi modal asing terutama Jepang yang akan menguasai perekonomian negeri.
Kegalauan akan dominasi modal dari negara Jepang, dipersepsikan oleh mereka karena terjadi kerjasama ( kolusi, istilah yang lahir kemudian ) dengan segelintir elite yang dekat dengan pusat kekuasaan, yang merambah ke seluruh urat nadi dan sektor perekonomian nasional.
Gabungan dari kondisi di atas, melahirkan kegalauan akan suram dan hilangnya masa depan, sehingga mereka tidak ada pilihan lain, selain harus bertindak melakukan koreksi kebijakan yang mereka nilai telah jauh menyimpang dari idealisme, cita-cita dalam pendirian Orde Baru.
Momentum untuk berefleksi
Mengambil hikmah dari peristiwa Malari, dan kekurangberhasilan pemerintah Orde Baru dalam menjalankan agenda pemerataan ( yang harus dibayar mahal oleh rezim ini dalam bentuk berakhirnya rezim ), dengan alur pengesahan sejumlah UU yang oleh publik dinilai mengandung muatan kontroversi.
Sebut saja UU Revisi KPK ( yang melemahkan KPK ), UU Revisi Minerba ( yang memberikan ” karpet merah ” untuk sejumlah pengusaha yang dekat dengan elite kekuasaan ), UU Revisi MK ( dipersepsikan mengintervensi kualifikasi kenegarawanan MK ) dan UU Omnibus Law tentang Cipta Kerja.
Dipersepsikan oleh kalangan aktivis mahasiswa tahun 70′ an, dan generasi mahasiswa yang datang kemudian ( yang menyimak perjalanan sejarah kontemporer bangsanya ): jangan-jangan perjalanan sejarah bangsa akan terulang kembali, dengan lahirnya UU kontroversial diatas. Kalau tahun 70 ‘ didominasi modal asing adalah Jepang, sekarang dan ke depan dipersepsikan akan didominasi oleh modal Tiongkok.
Peristiwa 15 Januari, 47 tahun lalu, masih segar dalam ingatan kita, di tengah tekanan pandemi yang luar biasa beratnya, semestinya elite penguasa bisa mengambil hikmah dari peristiwa di atas, sehingga sebagai bangsa kita tidak terperosok dalam lubang yang sama dua kali.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi, aktivis mahasiswa Jakarta tahun 70’an.