W.S Rendra atau yang dikenal dengan nama Willibrordus Surendra Broto Rendra merupakan seorang penyair ternama di Indonesia. Beberapa karyanya yang terkenal adalah puisi, cerpen (cerita pendek), hingga skenario drama.

Dalam dunia sastra, W.S Rendra sangat berjasa dalam pengembangan sastra. Karya-karyanya tidak hanya dikenal di dalam negeri saja, melainkan juga di luar negeri. Salah satu contoh karya sastranya yang cukup terkenal adalah Puisi Sajak Sebatang Lisong.

Dikutip dari buku Kumpulan Esai Apresiasi Puisi (2018) karya Indra Intisa, berikut isi puisi Sajak Sebatang Lisong, karya W.S Rendra:

Menghisap sebatang lisong

melihat Indonesia Raya,

mendengar 130 juta rakyat,

dan di langit

dua tiga cukong mengangkang,

berak di atas kepala mereka

Matahari terbit.

Fajar tiba.

Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak

tanpa pendidikan.

Aku bertanya,

tetapi pertanyaan-pertanyaanku

membentur meja kekuasaan yang macet,

dan papantulis-papantulis para pendidik

yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Delapan juta kanak-kanak

menghadapi satu jalan panjang,

tanpa pilihan,

tanpa pepohonan,

tanpa dangau persinggahan,

tanpa ada bayangan ujungnya.

Menghisap udara

yang disemprot deodorant,

aku melihat sarjana-sarjana menganggur

berpeluh di jalan raya;

aku melihat wanita bunting

antri uang pensiun.

Dan di langit;

para tekhnokrat berkata :

bahwa bangsa kita adalah malas,

bahwa bangsa mesti dibangun

mesti di-up-grade

disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

Gunung-gunung menjulang.

Langit pesta warna di dalam senjakala

Dan aku melihat

protes-protes yang terpendam,

terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya,

tetapi pertanyaanku

membentur jidat penyair-penyair salon,

yang bersajak tentang anggur dan rembulan,

sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya

dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan

termangu-mangu di kaki dewi kesenian.

Bunga-bunga bangsa tahun depan

berkunang-kunang pandang matanya,

di bawah iklan berlampu neon,

Berjuta-juta harapan ibu dan bapak

menjadi gemalau suara yang kacau,

menjadi karang di bawah muka samodra.

Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.

Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,

tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.

Kita mesti keluar ke jalan raya,

keluar ke desa-desa,

mencatat sendiri semua gejala,

dan hanya menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku

Pamplet masa darurat.

Apakah artinya kesenian,

bila terpisah dari derita lingkungan.

Apakah artinya berpikir,

bila terpisah dari masalah kehidupan.

19 Agustus 1977