Oleh: I Gde Sudibya
Sabtu, 4 Juli, 2020, Saniscara Watugunung, nemu purwaning sasih Kedasa, Icaka 1942, umat Hindu Indonesia merayakan Rainan, Hari Raya Caraswati. Rainan, Hari Raya yang diasosiakan dengan pemujaan kepada Tuhan yang secara simbolik dimaknai dan dimaknakan sebagai sumber ilmu pengetahuan. Caraswati diasosiasikan dengan ” aliran pengetahuan tanpa henti dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa – Tuhan Yang Esa -.
Dalam bahasa Svami Vivekananda dalam rangkaian ceramahnya di AS kurang lebih 125 tahun, setelah menghadiri Konferensi Agama-agama se Dunia di San Fransisko, yang historik monumental itu,  God: the eternal flow of limetless spiritual knowledge to the universe.
Pada sisinya yang lain, dalam perspektif perjalanan sejarah bangsa, 4 Juli hari ini, mengingatkan kita sebagai bangsa akan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang historik itu. Dan, 61 tahun yang lalu, Presiden Soekarno menerbitkan Dekrit Presiden  salah satu intinya kembali ke UUD.1945, setelah Konsituante gagal melahirkan kesepakatan penentuan UUD sebagai pengganti dari UUD Sementara.
Kembali ke kearifan lokal
Sebelum pandemi Covid-19, realitas kehidupan masyarakat global ditandai oleh apa yang disebut oleh pengamat kecendrungan masa depan John Naisbitt sebagai global paradox. Paradoks global yang ditandai oleh perekonomian yang menyatu secara global, dan pada sisi lainnya, identitas masyarakatnya semakin menjadi lokal, bahkan terjadi kebangkitan kesukuan. Tribalisme dalam pandangan Naisbitt.
Gerakan untuk kembali ke kearifan lokal, local wisdom, perumusan kembali ke kearifan lokal, tafsir baru dan revitalisasinya tidak saja menjadi trend, tetapi menjadi kebutuhan dan spirit baru kehidupan masyarakat.
Dalam era kebangkitan kearifan lokal, yang telah menjadi semangat zaman ( geist ), penelusuran kembali  kearifan lokal dan tafsir barunya, diharapkan melahirkan spirit baru untuk menjawab tantangan zamannya. Pengetahuan kearifan lokal yang diperbaharui, diharapkan mampu melahirkan wawasan baru dan perspektif baru terhadap, apa yang disebut oleh sejarahwan ternama  Yuval Noah Harari sebagai realitas yang dibayangkan ( imagined reality ), yang melahirkan spirit dan motivasi baru dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan.
Makna perayaan Caraswati
Mengulas mankna perayaan Caraswati dari perspektif kearifan lokal, kita dapat juga merujuk pemikiran komprehensif dari Karen Amstrong dalam bukunya Sejarah Tuhan yang sempat best saler di dunia. Penulis cerdas ini, mengurai rinci runtut dari agama lokal,  dia menyebutnya agama pagan,  yang hadir lebih dulu dan atau melatarbelakangi agama-agama yang datang kemudian. Kecerdasan dan kejelian penulis kondang ini, secara tersurat dan tersirat dalam melakukan kajian dan ulasannya  tidak menempatkan agama lokal ini pada posisi inferior ( lebih rendah ).
Dalam beberapa kondisi dan  dalam kurun waktu yang panjang, Karen Amstrong menyampaikan ada beberapa keberlanjutan nilai antara agama pagan dengan agama-agama yang datang kemudian.
Makna perayaan Caraswati dalam perspektif kearifan lokal Bali, secara lebih khusus Bali di masa lebih awal ( Bali Mula ), yang diwariskan oleh kepemimpinan Cri Aji Jayapangus, pada akhir abad ke 10 dan di tahun-tahun awal abad ke 11.
Warisan kepemimpinan yang mengakar ke seluruh totalitas kehidupan masyarakatnya: ekonomi pertanian, penyelenggaraan upakara dan makna yang menyertainya, dan totalitas sistem nilai kehidupan.
Dalam perspektif ruang Bali, ring 1 dari kekuasaan Cri Aji Bali yang metaksu ini, meliputi: Desa Pinggan ke barat terus ke Balingkang, Paketan, Sukawana, Kutadalem, terus ke Utara melingkupi Kintamani Barat, ke arah Den Bukit, melingkupi desa-desa Kecamatan Kubutambahan dan desa-desa Kecamatan Tejakula, naik ke atas desa-desa: Subaya, Batih, Siakin dan sekitarnya.
Kepemimpinan formal Bali di masa awal, yang merupakan perwujudan-kristalisasi dari totalitas sistem nilai kehidupan yang diwariskan oleh ( ampura ) Rsi Markandya, Rsi besar peletak dasar peradaban dan kebudayaan Bali, yang sekarang  dikenal.
Makna perayaan rainan Caraswati yang juga disebut dengan rainan Pemubug, memuat rangkuman nilai dan pesan nilai. Pertama, Aliran pengetahuan tentang Tuhan, dipahami dan dimaknai tidak sebatas teori dan kepercayaan semata, tetapi telah menjadi kesejahteraan yang bisa dinikmati, berdasarkan ethos kerja tangguh dalam melakoni kehidupan. Simbolik banten sederhana yang dilengkapi dengan bubur sumsum, yang dipersiapkan dengan baik, kualitas, rasa dan tampilan, dalam bhakti puja dipercaya merupakan buktinya.
Kedua, Aliran pengetahuan tentang Tuhan, bukan sesuatu yang di awang-awang, tetapi membumi di Batin, kemudian menjadi nyata dalam realitas ke seharian kerja di ladang-ladang pertanian. Dalam sistem keyakinan, yang sangat respek, menghargai dan bahkan menghormati alam.
Di desa Sukawana, yang paling dekat dengan Kuta Dalem ( Pusat pemerintahan  Cri Aji Jaya Pangus ), ada ungkapan tentang ethos kerja, yang kurang lebih begini: ” kita tidak bisa menyanyi dan menari, karena tempat kita “menari dan bernyanyi” ada di ladang-ladang perkebunan. Pengetahuan tentang Tuhan, bertransformasi dalam diri, menjadi ethos kerja tangguh dan respek kepada alam.
Ketiga, Aliran pengetahuan tanpa henti, simbolik Tuhan dalam Dewi Saraswati, telah bertransformasi menjadi, meminjam pendapat Mahatma Gandhi: agama adalah realisasi ( kehidupan ). Dalam konteks ini, ada kesetaraan manusia dengan Tuhan, buktinya sampai hari di beberapa desa di kawasan di atas, ucapan baktinya mesaa ( menggunakan bahasa sehari-hari ), dan menempatkan diri ” sama ” dan bersahabat dengan para Dewa-Dewi dan kemudian Tuhan. Dalam bahasa Svami Vivekananda: devinity of the people ( sisi-sisi Ketuhanan dalam diri manusia ).
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, Ketua Pusat Kajian Hindu ( The Hindu Centre ), dan Ketua FPD. ( Forum Penyadaran Dharma ), Denpasar.