siaran tv

Denpasar (Metrobali.com)-

Seluruh lembaga penyiaran di Bali sepakat menghentikan sementara siaran sehari penuh saat umat Hindu melaksanakan “tapa beratha” penyepian Tahun Baru Saka 1937 pada Sabtu (21/3), sehingga bisa menghemat energi.

“Hari suci Nyepi identik dengan menghentikan seluruh aktivitas kehidupan selama satu hari penuh,” kata Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Bali I Nengah Muliarta di Denpasar, Selasa  (10/3).

Ia mengatakan, sebuah lembaga penyiaran memerlukan energi listrik yang cukup besar untuk operasionalnya tiap hari.

Demikian pula, jutaan pemirsa atau pendengar juga memerlukan energi listrik yang tidak sedikit untuk mampu mendengarkan pancaran siaran dari lembaga penyiaran.

Bagi lembaga penyiaran Nyepi siaran juga memiliki arti penghentian seluruh aktivitas siaran selama 24 jam.

Nyepi merupakan waktu untuk melaksanakan “catur brata penyepian”.

“Catur brata” merupakan empat pantangan yang harus dihindari oleh umat Hindu ketika pelaksanaan Nyepi yakni “amati geni” (tidak menyalakan api), “amati karya” (tidak melakukan pekerjaan), “amati lelungan” (tidak bepergian), dan “amati lelanguan” (tidak berpesta pora/menikmati hiburan).

Nengah Muliarta menambahkan, mematikan operasional pemancar berarti tidak adanya penggunaan energi atau menghemat penggunaan energi, dalam hal ini energi listrik dapat diibaratkan dengan api.

Dengan tidak menghidupkan pemancar memiliki arti ikut serta melakukan “amati geni” (tidak menyalakan api).

Nyepi siaran juga bermakna menghentikan seluruh kegiatan peralatan dan manusia.

“Dalam hal ini Nyepi siaran sejalan dengan pengertian ‘amati karya’ atau tidak melakukan pekerjaan. Dengan Nyepi siaran berarti seluruh karyawan lembaga penyiaran tidak pergi ke kantor atau tidak bepergian (amati lelungan),” katanya.

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Pasal 4 ayat (1) disebutkan, penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat dan perekat sosial.

Dengan demikian, siaran saat hari suci Nyepi bertentangan dengan konsep “amati lelanguan” (tidak bersenang-senang/menikmati hiburan).

“Seberapa besar energi yang mampu dihemat oleh lembaga penyiaran dari kegiatan Nyepi siaran,” katanya.

Jika dikalkulasi secara kasar saja, secara umum stasiun pemancar televisi di Bali menggunakan daya listrik sebesar 10-40 kilowatt (kW).

Kalau rata-rata diambil 20 kW dengan jumlah sasiun pemancar televisi di Bali sebanyak 20 lembaga penyiaran, maka daya listrik yang terpakai mencapai 400 kW.

Di Bali juga terdapat 54 lembaga penyiaran radio swasta dan publik yang menggunakan daya pancar sekitar 500-2.000 Watt.

Jika menggunakan asumsi rata-rata daya pancar radio di Bali 1.000 Watt, maka daya listrik yang digunakan lembaga penyiaran radio di Bali sebesar 54.000 Watt atau 54 kW.

Secara umum lembaga penyiaran TV dan radio tersebut bersiaran selama 18 jam sehari, meski ada yang selama 20-24 jam.

Selain itu, di Bali terdapat tiga radio komunitas dengan penggunaan daya listrik maksimal 50 Watt. Radio komunitas tersebut secara aturan hanya bersiaran sekitar sepuluh jam.

Dengan demikian energi listrik yang digunakan lembaga penyiaran cukup besar.

Penghitungan ini baru penggunaan energi listrik untuk stasiun pemancar, belum termasuk penggunaan energi listrik untuk keperluan perkantoran.

Jumlah energi listrik untuk keperluan operasional kantor lembaga penyiaran tentunya tidak sedikit.

“Mulai dari penggunaan listrik untuk lampu studio, ruang pendingin, komputer dan peralatan lainnya,” ujar Nengah Muliarta. AN-MB