buruh suun menari

Denpasar (Metrobali.com) –

Sungguh ironi, di pulau yang terkenal dengan keindahan pariwisatanya ini, Bali masih diselimuti segudang permasalahan sosial terutama dalam pengentasan kemiskinan. Kompleksitas masalah sosial ini tercermin dari masih adanya warga Bali yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Jika anda berjalan-jalan ke kota Denpasar, dan mampir ke pasar Badung, terlihat pemandangan yang tak asing di pasar terbesar di wilayah Denpasar ini. Puluhan anak yang menjadi buruh panggul pasar atau dikenal buruh suun banyak menghiasi sudut pasar. Anak-anak ini ternyata berasal dari sebuah kabupaten di timur pulau Bali tepatnya di kabupaten Karangasem.

Setiap harinya, anak-anak mulai dari usia 6 hingga 12 tahun ini dari hari Senin hingga Kamis petang memburuh di pasar. Sementara di hari Jumat dan Sabtu mereka belajar di sebuah Yayasan milik para aktivis yang tergabung di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM Lentera Anak Bali.

Seorang aktivis perempuan dan anak bernama Ida Ayu Putu Punadi (65), menceritakan kehidupan anak buruh suun yang tak tau pasti kapan mereka datang dan menjadi buruh di kota yang terkenal dengan julukan dengan kota berwawasan budaya ini. Menurut penuturan Ida Ayu, anak-anak ini memburuh lantaran dipaksa oleh orang tua mereka.

“Mereka ini dipaksa untuk membantu membiayai kehidupan keluarga mereka,” kata mantan aktivis yang concern terhadap perlindungan anak di Bali ini.

Ida Ayu Putu Punadi, menceritakan sejak dirinya pensiun menjadi pengurus Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Daerah Bali pada tahun 2011, bersama teman-teman seperjuangannya mendirikan sebuah Yayasan yang bergerak dalam perlindungan, pemberdayaan perempuan dan anak, terutama yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dan mulailah dia menangani pemberdayaan perempuan dan anak-anak yang memburuh di pasar Badung.

“Sejak tahun 2011 KPAI Daerah Bali ditutup dan sekarang tidak ada lagi, karena saya sangat peduli dengan nasib anak-anak dan perempuan yang jadi buruh suun di Pasar Badung ini, mulailah saya bersama teman-teman mendirikan Yayasan Lentera Anak Bali (LAB),” jelas Ida Ayu yang menjabat sebagai Ketua Umum Yayasan tersebut.

Lanjutnya, sejak Yayasan itu dibuka, pihaknya sangat gembira karena mendapatkan dukungan dari pemerintah kota Denpasar. Bahkan kami mendapatkan tempat di lantai 4 di pasar ini untuk melakukan pembinaan terhadap buruh suun, kata Ida Ayu.

“PD Parkir Denpasar memberikan tempat untuk kami secara cuma-cuma, akhirnya kami dapat dilantai 4 ini,” ungkapnya disela-sela kegiatannya mengajar anak-anak tersebut.

Dijelaskannya, khusus untuk anak buruh suun pihaknya melakukan pembinaan dengan mengadakan sekolah gratis yang sudah berjalan sejak 3 tahun yang lalu. Aktivitas belajar mengajar dilakukan setiap hari Jumat dan Sabtu pada pukul 11.00 Wita siang. Jumlah anak buruh suun yang terdata oleh pihaknya hingga saat ini sebanyak 60 orang, namun yang aktif datang ke sekolah hanya sebanyak 35 orang.

Selain melakukan aktivitas belajar mengajar, anak buruh Suun ini mendapat pelajaran seperti menari, menyanyi, belajar alat musik dan bekerjasama dengan Pemkot Denpasar dalam hal ini Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga untuk membuat satu kerajinan. Seperti merubah sampah menjadi tas, dompet dan lain-lain.

“Ya bersyukur mereka mau sekolah karena untuk awal kami sangat kesulitan memberikan pengertian kepada mereka khususnya kepada orang tuanya, terutama dalam hal ini pola pikir serta mental orang tua mereka yang rendah, syukurlah seiring berjalannya waktu sekarang kalau ada kelas paling banyak 35 anak hadir,” kata Ida Ayu.

Senada dengan Ida Ayu, Kepala Divisi Hukum Yayasan LAB, Anggraeni memaparkan buruknya pola pikir orang tua anak-anak buruh suun tersebut. Berkali-kali kita datangi hingga ke rumahnya tapi orang tua mereka memiliki daya pikir yang sangat rendah, ceritanya.

Pola pikir yang sangat rendah, dijelaskan Anggraeni ketika pihak Yayasan datang ke rumah orang tua anak buruh suun untuk memberikan pengertian betapa pentingnya sekolah bagi anak-anak mereka, namun tanggapan mereka selalu dibantahkan dengan mengatakan bahwa anaknya tidak membutuhkan pendidikan.

“Saya dan bu Ida Ayu pernah datang ke rumah anak-anak itu. Kondisi mereka ini, orang tua anak buruh suun ini mereka memiliki anak yang lebih dari dua, dengan jarak kehamilan yang dekat. Jadi si ibu menyuruh anaknya bekerja dengan alasan dia harus mengasuh anaknya yang masih sangat kecil sekali,”  keluh Anggraeni.

Menurut Anggraeni ada tiga kelompok buruh suun yang tinggal di Kota Denpasar dengan kondisi tanpa identitas. Mereka tersebar di desa Tegal Gede, Gunung Batur dan kawasan Bung Tomo.

“Saat ini yang kami tangani ada sekitar 20 KK dari Karangasem dan anak-anak mereka yang bersekolah di Yayasan kami, dengan kondisi tanpa identitas, ada mereka KIPEM (Kartu Identitas Penduduk Musiman) tapi kan itu tidak bisa untuk buat KK, rata-rata mereka ini tidak punya akta lahir, bagaimana mereka mengurus akta lahir padahal mengurus itu harus punya KK,” mirisnya.

Anggraeni juga menggambarkan kondisi di kampung mereka, saat kita datangi ke kampung mereka di Karangasem, memang mereka ini rata-rata miskin. “Ketika kami datang ke desa Pedahan itu yang ditanyakan oleh mereka itu mana sembako dan hadiahnya, rupanya disana kampung itu terbiasa menerima sumbangan dari orang bule khususnya wisatawan asing, tapi kami memberikan pengertian kepada mereka bahwa kami tidak bawa uang atau hadiah tapi kami akan berikan pengetahuan dan ilmu kepada mereka dan akhirnya mereka mengerti lama-lama itu tahun 2011,” jelas Anggraeni.

Meski kesadaran mereka mulai terbuka tapi dilemanya, ketika dalam keluarga tersebut, khususnya si Ayah tidak mau bekerja malah menurutnya ada satu keluarga yang suaminya kerjanya hanya berjudi dan menyabung ayam, sementara sang istri dan anaknya harus bekerja sebagai buruh suun.

“Kami akan terus berupaya agar anak-anak tersebut bisa bersekolah, karena mereka adalah generasi emas kita yang harus diselamatkan, sayangnya ketika ini muncul ke permukaan, nasib mereka ini seolah-olah tidak ada yang peduli,” katanya.

Karena otonomi khusus, pemerintah kota Denpasar hingga saat ini tidak mau memberikan satu anggaran khusus kepada warga miskin tersebut yang hampir sebagian besar berasal dari Karangasem. Namun, pihak Pemkot Denpasar selalu mensupport dana jika pihaknya menyelenggarakan satu kegiatan.

“Mereka support, namun memang tidak ada anggaran khusus untuk anak buruh suun ini, karena menurut mereka anak itu bukan asal Denpasar melainkan Karangasem, sementara hingga saat ini tidak ada bentuk satu perhatian khusus dari pihak pemda Karangasem, sementara pihak pemrov Bali pun terlihat tutup mata,” tegas Anggraeni yang menjabat sebagai Ketua P2TP2A Kota Denpasar ini.

Sebagai Ketua P2TP2A, sudah menjadi kewajibannya dalam upaya pemenuhan kebutuhan peningkatan pendidikan, kesehatan, ekonomi, penanggulangan tindak kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan anak, serta peningkatan posisi dan kondisi perempuan dalam masyarakat.

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), dijelaskan Anggraeni dapat memfasilitasi berbagai pelayanan masyarakat antara lain meliputi informasi, rujukan, konsultasi, pelatihan keterampilan serta kegiatan-kegiatan lainnya.

P2TP2A bertujuan untuk memberdayakan kaum perempuan, mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, meningkatkan kualitas hidup perempuan serta kesejahteraan dan perlindungan anak yang pada giliranya kaum perempuan dan anak dapat berpartisipasi secara penuh diberbagai bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, hukum, dan lingkungan hidup. Disamping itu, P2TP2A juga diharapkan merupakan pusat berbagai data dan informasi tentang situasi dan kondisi perempuan dan anak.

Menurutnya, tanggung jawab untuk menyelamatkan anak-anak miskin ini merupakan tanggung jawab bersama, dan P2TP2A sebagai pusat pelayanan terpadu bisa menjadi wahana advokasi bagi pihaknya dalam menjaga keberlangsungan anak-anak buruh suun dimana mereka merupakan generasi emas bangsa yang harus diselamatkan.

“Jadi jangan sampai terjadi kekerasan yang dilakukan oleh orang tua kepada anak-anak itu, memang pernah ada yang mengeluhkan jika mereka tidak mendapat uang ketika memburuh lalu dimarahi hingga terjadi kekerasan, tapi sejauh ini masih dalam batas kewajaran tidak ada yang hingga melakukan kekerasan yang frontal kepada anaknya belum ada seperti itu,” ungkapnya.

Terkait pendanaan dan upaya menyelamatkan anak-anak buruh suun tersebut, pihaknya mengharapkan kerjasama dari semua lini dan berbagai lintas sektor. Bagaimana caranya agar mereka bisa bersekolah dan mengenyam pendidikan yang layak, “karena ini isu yang makro saya pikir semua sektor seperti Pemrov, Pemda dan berbagai lini lainnya wajib menangani hal ini, di Pemrov juga pasti ada satu kebijakan yang dirancang untuk mengatasi masalah kemiskinan di daerah,” tandasnya.

“Tapi alhamdullilah sekarang ada sekitar 16 anak sudah terselamatkan mereka diterima di sekolah negeri dan kami tak henti-hentinya mendapatkan bantuan dana dari para Corporate Social Responsibility (CSR) seperti BI, Bank BRI dan INTI mereka terus support kami,” katanya.

Hingga saat ini, sekitar 35 anak aktif mengikuti pembelajaran di sekolah gratis milik Yayasan LAB ini, pihak yayasan berharap kedepan jumlah anak yang ikut aktivitas belajar mengajar akan semakin meningkat dan kelak anak-anak tersebut bisa menjadi orang yang sukses, berguna bagi bangsa dan negara.

Sementara itu, pihak pemerintah kabupaten Karangasem menilai masalah warganya yang menjadi buruh suun di kota Denpasar sudah tidak menjadi tanggungjawabnya lagi. Dengan alasan, hampir 6 persen warganya sudah berdomisili dan bekerja di kota Denpasar.

“Mereka lebih banyak sudah berdomisili di kota Denpasar, dan 6 persen penduduk Karangasem hidup di kota. Mereka sudah disini, ya ini jadi tanggung jawab bersama tapi karena mereka kerja disini sebagai warga disini jadi tanggung jawab pemkot dalam hal ini Pemkot Denpasar,” kilah Bupati Karangasem I Wayan Geredeg.

Dijelaskan Geredeg, secara aturan para buruh suun tersebut sudah berdomisili di kota Denpasar dan ditegaskannya jika hal itu sudah menjadi urusan Pemkot Denpasar. “Itu urusan kota donk nggak boleh intervensi dari kabupaten lain, karena sudah ber-KTP Denpasar kami lepas tangan, iya donk secara apakah ekonomi dan administrasi tidak boleh campur tangan kecuali mereka hijrah kembali ke Karangasem ya, tentu dari sisi kemajuan dan kebijakan fiskal Karangasem basisnya berencana bagaimana kita upayakan dari sisi kabupaten saja tapi Pemrov dan Pusat wajib mendorong,” tandasnya.

Pihaknya pun menyayangkan atas kondisi tidak meratanya pembangunan ekonomi di Bali. Apalagi kata Geredeg Pendapatan Asli Daerah (PAD) Karangasem sangat kecil jika dibandingkan kabupaten/kota lain yang ada di Bali.

“Di tahun 2014 hanya Rp 95 miliar dan belum terpenuhi dari target yang dicapai Rp 1,25 triliun, PAD kami kecil dan provinsi Bali belum sejahtera secara keseluruhan hal ini terlihat meski angka pertumbuhan ekonomi sangat tinggi tapi masyarakat Bali belum sejahtera, kami berharap Pusat melalui Bappenas bisa membantu kami di daerah terutama dalam hal infrastruktur,” pintanya.

Ditambahkan Geredeg, dari segi kesetaraan, keseimbangan dan pemerataan belum dirasakan manfaatnya oleh Karangasem. Menurut Geredeg, pemerataan adalah tanggungjawab dari pihak Pusat dan dalam hal ini provinsi untuk memeratakan dari sisi pembangunan.

“Sisi apa yang ada di Bali, kenapa di Badung 2,5 persen, kenapa di daerah lain 0,6 sekian persen ini menandakan bahwa ini belum ada pemerataan sisi infrastruktur yang harus diratakan,” pungkasnya.

Di lain pihak, Pemerintah kota (Pemkot) Denpasar dalam hal ini Ketua Tim Penggerak PKK Kota Denpasar, Ida Ayu Selly Dharmawijaya Mantra mengatakan, pihaknya memang tidak memberikan anggaran khusus kepada anak buruh suun tersebut. Namun pihak Pemkot Denpasar selalu mensuport kegiatan mereka, bahkan mengajak anak buruh suun tersebut untuk terlibat dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh pemkot Denpasar.

“Kami selalu support apapun untuk pemberdayaan perempuan dan anak-anak khususnya buruh suun ini kami ajak mereka terlibat dalam satu kegiatan seperti dalam waktu dekat kemarin ada festival Denpasar itu mereka bisa pentas disana, intinya kami support kok,” kata istri Walikota Denpasar Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra ini.SIA-MB