Bobby Rizaldi

Jakarta (Metrobali.com)-

Anggota Komisi VII DPR Bobby Rizaldi meminta pemerintah tetap memprioritaskan pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara untuk mengatasi krisis pasokan listrik ke depan.

“Batubara memiliki BPP (biaya pokok pengadaan) pembangkit yang terendah dibandingkan lainnya, sehingga bisa mempercepat pemenuhan kebutuhan daya listrik ke depan,” katanya di Jakarta, Selasa (2/9).

Menurut dia, pemerintah bisa memulai dengan membangun pembangkit batubara sebelum nantinya diikuti energi baru dan terbarukan (EBT) sesuai target bauran energi yang ditetapkan Kebijakan Energi Nasional (KEN).

“Untuk mencapai target bauran energi, harus dimulai dari batubara dulu, karena kalau energi terbarukan masih mahal,” ujarnya.

Sementara, pemanfaatan gas dan apalagi minyak bumi sudah semakin mahal karena cadangan makin terbatas.

Bobby juga mengatakan, saat ini, kinerja ekspor batubara sedang menurun karena kondisi global.

“Oleh karena itu, kini saatnya pemerintah untuk memanfaatkan batubara menjadi energi primer listrik di dalam negeri,” katanya.

Demikian pula, lanjutnya, terkait kekhawatiran tingginya polusi akibat pembakaran batubara.

Menurut dia, hal tersebut sudah bisa diatasi dengan teknologi dengan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang diawasi pemerintah.

Ia menambahkan, kenaikan tarif listrik yang makin mendekati keekonomian, mesti digunakan pemerintah menambah daya pembangkit untuk mengatasi krisis kebutuhan listrik.

“Kita di DPR sudah menyetujui kenaikan TDL tahun ini dengan harapan ada peningkatan rasio elektrifikasi,” katanya.

Sebelumnya, Direktur Konstruksi dan Energi Terbarukan PT PLN (Persero) Nasri Sebayang memperkirakan kondisi kelistrikan di Jawa bakal mengalami kekurangan menyusul setidaknya lima proyek pembangkit batubara berkapasitas total 6.000 MW yang terlambat beroperasi.

Semula kelima proyek tersebut ditargetkan beroperasi antara 2016-2018, namun mundur karena beberapa hal.

Kelima proyek yang bakal mundur tersebut adalah PLTU Mulut Tambang Sumsel 8, 9, dan 10 dengan total kapasitas 3.000 MW.

Ketiga proyek tersebut masih menunggu kejelasan pembangunan kabel transmisi Sumatera-Jawa.

Selain itu, proyek PLTU Mulut Tambang Sumsel 9 dan 10, yang memakai skema kerja sama pemerintah dan swasta (KPS), juga terkendala proses tender.

Lalu, proyek lain yang terlambat beroperasi adalah PLTU Batang, Jateng berdaya 2×1.000 MW dan PLTU Indramayu, Jabar 1×1.000 MW.

PLTU Batang terhambat pembebasan lahan dan Indramayu soal perijinan. AN-MB