Foto: Para pelapor didampingi kuasa hukumnya, Putu Arsana, S.H., melaporkan tiga orang advokat anggota Peradi kepada Dewan Kehormatan DPC Peradi Denpasar atas dugaan pelanggaran kode etik advokat.

Denpasar (Metrobali.com)-

“Segitu mahalkah keadilan di negeri ini.” Demikian untaian-kata yang meluncur dari Dewa Ketut Ariana, salah satu warga yang menjadi korban rumahnya dibuldoser dalam dalam kasus sengketa tanah di  area Tegal Jambangan Desa Sayan Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar.

Keluhan terhadap “mahal” dan sulitnya menjadi keadilan bagi warga yang kurang mampu dan awam hukum ia sampaikan usai menyerahkan berkas laporan terhadap tiga orang advokat anggota Peradi kepada Dewan Kehormatan (DK) Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Peradi Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) Denpasar atas dugaan pelanggaran kode etik advokat.

Tiga advokat anggota DPC Peradi Denpasar yang dilaporkan yakni Cokorda Gede Yudana, S.H.,Wayan Ambon Antara,S.H.,dan Wayan Suyasa, S.H., saat mereka mendampingi kliennya pihak Pengempon Pura Taman Kemuda Saraswati, Gianyar dalam kasus sengketa tanah di  area Tegal Jambangan Desa Sayan Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar yang berujung pada pembuldoseran paksa rumah warga.

Ketiga orang advokat ini diduga melanggar kode etik karena mendampingi dan mengawal kliennya untuk melakukan pembuldoseran/pengrusakan terhadap rumah dan bangunan rumah warga pada Mei 2017 lalu padahal sama sekali belum pernah dilakukan proses hukum.

Dewa Ketut Ariana bersama dua warga lainnya Desak Ketut Sukerti dan I Nyoman Mula mengirimkan langsung berkas laporannya ke Sekretariat DPC Peradi Denpasar di Kompleks Ruko Niti Mandala No. 16, Jalan Raya Puputan Renon, Denpasar, pada Selasa (26/1/2021). Ketiga warga malang ini didampingi kuasa hukumnya Putu Arsana, S.H.

Usai menyerahkan laporannya ke Dewan Kehormatan DPC Peradi Denpasar, Dewa Ketut Ariana mengaku kaget bahwa belum apa-apanya dirinya dan rekannya yang melapor sudah diminta untuk membayar biaya administrasi sebesar Rp 5 juta.

“Kami hanya mencari keadilan dan yang penting ada pertanggungjawaban atas pembuldoseran dsn pengrusakan rumah kami. Tapi rasanya kok keadilan sebegitu mahalnya ya bagi rakyat kecil dan orang-orang awam hukum seperti kami,” keluh Ariana.

Dimanakah Keadilan?

Kuasa hukum pelapor Putu Arsana, S.H.,

Hal ini juga dibenarkan oleh kuasa hukum warga, Putu Arsana, S.H., yang mengaku heran laporan belum diproses tapi sudah diharuskan membayar uang jutaan rupiah. Tentu bagi warga ini sangat memberatkan di tengah fakta mereka sudah tidak punya rumah akibat dibuldoser pada Mei 2017 silam oleh pihak Pengempon Pura Taman Kemuda Saraswati, Gianyar yang merupakan klien dari tiga advokat yang dilaporkan.

“Pegawainya (DPC Peradi Denpasar) menyampaikan butuh uang administrasi 5 juta untuk memproses ke kode etik. Baru melapor di Peradi ujug-ujug ditodong 5 juta. Darimana klien saya dapat uang 5 juta, tidur saja tidak punya rumah layak. Itu tidak masuk akal juga. Mestinya cek dulu substansi masalah,” beber Arsana.

“Begitu mahalnya orang cari keadilan, baru mau lapor ke organisasi advokat saja sudah harus bayar 5 juta. Saya sebagai pengacara menangis, hati saya sakit melihat ketidakadilan yang diterima warga,” kata Arsana.

Ia mengungkapkan pihaknya hanya ingin memperjuangkan keadilan bagi warga yang telah mengalami penderitaan dan tindakan sewenang-wenang pihak Pengempon Pura Taman Kemuda Saraswati bersama Musa hukumnya (tiga orang advokat yang dilaporkan ini.)

“Bayangkan rumah orang dibuldoser tidak ada dasar hukum apa lalu dibiarkan begitu saja tanpa pertanggungjawaban. Sebagai seorang advokat, hati saya menangis melihat penderitaan dam ketidakadilan yang diterima warga,” kata Arsana.

Sesama advokat, Arsana mengaku menyayangkan sikap dan tidak yang dilakukan tiga advokat tersebut dalam mendampingi kliennya dengan secara proaktif membantu mengancam warga, menantang warga untuk melaporkan hingga mendampingi dan mengawal aksi pembuldoseran dan penghancuran paksa atas rumah warga.

“Tidak ada dasar hukumnya advokat dampingi klien lakukan pembuldoseran dan menantang klien saya (warga).Ini adalah noda dalam dunia advokat,” ungkap Arsana.

Peradi Denpasar Siap Tindak Lanjuti

Sementara itu Ketua DPC Peradi Denpasar I Nyoman Budi Adnyana, S.H., M.H., CLA., CPL., saat dikonfirmasi Rabu (27/1/2020) siang mengaku sudah mengecek keanggotaan tiga orang advokat yang dilaporkan warga ini dan memang benar ketiganya merupakan advokat anggota DPC Peradi Denpasar.

Terkait tindak lanjut laporan ini, Budi Adnyana menerangkan pelapor harus melengkapi dokumen dan biaya administrasi untuk bisa dilanjutkan ke sidang kode etik Dewan Kehormatan DPC Peradi sesuai prosedur yang ada.

“Dilengkapi dulu persyaratan semua termasuk administrasinya baru kemudian diregistrasi sebagai perkara yang masuk. Nanti baru Dewan Kehormatan membentuk majelisnya,” kata Budi Adnyana.

Ia pun membenarkan ada biaya registrasi atau administrasi perkara sebesar Rp 5 juta. “Memang seperti itu, ada (biaya Rp 5 juta). Tapi itu aturan dari pusat (DPN Peradi) bukan dari kita (DPC Peradi Denpasar). Itu untuk biaya-biaya proses persidangan,” jelasnya.

Begini Persoalannya

Dalam laporannya warga menjelaskan duduk permasalahannya. Disebutkan warga memiliki, menguasai dan mewarisi rumah, tanah dan bangunan-bangunan lainnya dari orang tua dan leluhur secara turun temurun yang terletak di area Tegal Jambangan, Desa Sayan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar.

Warga memiliki bukti-bukti yang jelas tentang kepemilikan dan dasar penguasaan tersebut berupa pipil lontar, pembayaran pajak Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda), surat penguasaan secara turun temurun dan Aparat Desa serta bukti klasiran tahun 1976/1977 yang secara jelas menunjukkan tanah tersebut tercatat atas nama orang tua/leluhur warga.

Dikatakan bahwa sejak puluhan tahun warga selalu mendapatkan intimidasi dari orang-orang yang mengaku suruhan dari Pengempon Pura Taman Kemuda Saraswati agar bersedia menyerahkan tanah yang warga kuasai dengan alasan tanah tersebut sudah disertifikatkan dan dijual kepada pihak lain.

“Kami menolak dengan tegas permintaan yang dimaksud karena kami merasa dan mengakui bahwa tanah tersebut adalah milik sendiri dan tidak ada hubungannya dengan pihak Pengempon Pura Taman Kemuda Saraswati,” tulis warga dalam laporannya.

Sekitar pertengahan bulan April tahun 2017 para Terlapor datang menemui warga di rumah dengan membawa dan memberikan surat yang katanya dari Pengempon Pura.  Surat yang diberikan tersebut adalah berupa surat somasi yang isinya agar dalam waktu 1 (satu) minggu sejak surat diterima, warga diminta untuk membongkar seluruh bangunan dan apabila tidak dilakukan pihak Pengempon Pura akan melakukan pembongkaran secara paksa.

Warga  tidak menanggapi surat yang diberikan tersebut karena menurut hemat warga selaku orang awam di bidang hukum sangat tidak mengerti bagaimana mungkin harus membongkar bangunan milik sendiri yang juga berdiri di atasi tanah milik sendiri.

“Pada awal bulan Mei 2017 pihak Pengempon Pura benar-benar melaksanakan ancamannya dengan membawa sejumlah alat berat yang kemudian secara membabi buta menghancurkan dan merobohkan rumah dan bangunan-bangunan tanpa sedikitpun memberi kesempatan kepada kami untuk membela diri,”terang warga.

Warga mengaku tidak bisa berbuat apa-apa karena proses penghancuran terhadap rumah-rumah tersebut dikawal oleh banyak orang termasuk ada oknum-oknum aparat dan juga oleh para Terlapor.  “Sebelum dilakukan pembuldoseran kami sempat berdebat dengan pelapor dan meminta agar melakukan proses hukum sehingga duduk masalahnya menjadi jelas,” terang warga.

Akan tetapi para Terlapor tidak menanggapi dan bersikukuh untuk tetap melakukan pembuldoseran sesuai perintah dari Pengempon Pura serta menantang agar kami melaporkan kemana saja dan yang bersangkutan menyatakan siap untuk mempertanggung jawabannya.

“Sebagai akibat dari pembuldoseran tersebut sampai saat ini kami hanya bisa tidur dan berteduh di atas gubuk-gubuk reyot yang kami buat seadanya,” terang warga. Bahkan suami dari Desak Ketut Sukerti yang bernama Dewa Ketut Raka Sudarma sampai akhirnya meninggal dunia karena shock melihat rumahnya dihancurkan.

Minta Tiga Advokat Terlapor Dipecat

Atas tindakan dan kejadian tersebut, warga (pelapor) selaku masyarakat awam ingin mempertanyakan dua hal. Pertama, pantaskah dan berhakkah seorang advokat untuk melakukan tindakan seperti itu?

“Kedua, secara hukum apakah bisa dibenarkan jika seorang pengacara mendampingi dan mengawal klien untuk melakukan pembuldoseran/pengrusakan terhadap rumah dan bangunan kami, padahal sama sekali belum pernah dilakukan proses hukum,” tanya warga dalam laporannya.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut warga meminta kepada Ketua DPC Peradi Denpasar agar dapat menindaklanjuti laporan/pengaduan yang disampaikan dengan harapan warga selaku masyarakat awam dan bodoh dalam masalah hukum akan mendapat pengertian dan penjelasan sehingga warga bisa menerima bahwa sebagai masyarakat yang bodoh memang sudah sepatutnya untuk mendapatkan perlakuan seperti itu.

Apabila tindakan seorang advokat seperti itu tidak dibenarkan, maka dengan sangat hormat warga (pelapor) memohon agar para terlapor diberhentikan saja sebagai advokat. “Agar nanti masyarakat lainnya yang masih awam, bodoh dan miskin seperti kami tidak menjadi korban berikutnya,” tulis warga selaku pelapor.

“Akibat tindakan tersebut kami sekeluarga mengalami trauma yang tidak mungkin bisa disembuhkan. Dimata kami tindakan yang dilakukan tersebut benar-benar sangat barbar, biadab dan sama sekali tidak berperikemanusiaan,” ungkap pelapor. (wid)