Labilitas Ekonomi Pertengahan Maret 2025, Kilas Balik Krisis Ekonomi Politik tahun 1966 dan tahun 1998
Ilustrasi
Jakarta, (Metrobali.com)
Kilas balik peristiwa krisis ekonomi 1966 dan 1998, sebagai cermin belajar bagi penguasa dan juga seluruh rakyat negeri ini. Hal itu dikatakan Jro Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi, Rabu 19 Maret 2025.
Menurut I Gde Sudibya kewaspadaan akan anjloknya ekonomi Indonesia dapat dilihat berbagai indikasi dan tanda akan terulangnya keadaan ekonomi seperti di tahun 1966 dan 1998.
Dicontohkan, IHSG di Bursa Jakarta, tanggal 18 Maret 2025 turun 6,12 %, perdagangan saham oleh Otoritas Bursa sempat dihentikan, untuk menghindari penurunan lebih tajam.
Pada waktu yang sama, kata I Gde Sudibya, indeks harga saham di sejumlah Bursa Efek beberapa kota di Asia naik antara 1 – 2 %. Indikasi turunnya kepercayaan pelaku pasar terhadap Bursa Jakarta. Indeks Harga Saham sejumlah BUMN Perbankan, sempat turun 29,3 %, penurunan yang sangat signifikan, pasca pendirian
Danantara.
Indikator lainnya, yakni Defisit APBN Januari – Februari 2025 Rp.31,2 T, sedangkan periode yang sama tahun lalu, surplus. Ini berarti ada tekanan di APBN tahun 2025 sampai Februari 2025. Defisit Rp.31,2 T, ditutup dengan obligasi pemerintah senilai Rp.212 T, berarti menurut prediksi pemerintah, bulan-bulan ke depan akan terjadi defisit.
Menurut Jro Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi, bahwa jika menggunakan asumsi RAPBN tahun 2025 yang disepakati Pemerintah dengan DPR bulan Oktober 2024, perkiraan defisit Rp.600 T, jadi perkiraan kasarnya defisit bulanan Rp.50 T, itupun dengan asumsi kabinet terdiri dari 34 menteri.
Faktanya sekarang, kata dia, kabinet terdiri dari 48 kementrian, lembaga setingkat menteri, sehingga total personilnya 109 orang. Konsekuensinya defisit akan membengkak di atas Rp.600 T dalam APBN tahun ini.
Indikator lainnya, PHK terjadi di banyak perusahaan, terutama di industri tekstil, yang jumlahnya puluhan ribu orang, yang mengurangi daya beli masyarakat. Bersamaan dengan berkurangnya jutaan kelas menengah, menjadi kelompok rentan miskin.
“Kelesuan ekonomi terjadi, di menjelang Hari Raya Lebaran, kelesuan yang tidak lazim terjadi, berbarengan dengan deflasi dalam beberapa bulan terakhir,” katanya.
Dikatakan kondisi turunnya IHSB di Bursa, tekanan defisit pada APBN, banyaknya PHK, lesunya daya beli masyarakat, berbarengan dengan kabinet Merah – Putih yang belum menunjukkan kinerjanya, sehingga tidak sedikit pengamat, pelaku usaha dan masyarakat umum, menganalogikan kondisi sekarang dengan kondisi krisis ekonomi tahun 1998.
Kilas Balik Krisis Ekonomi 1998. Akibat dampak menjalar (contagation effect) dari krisis keuangan Asia yang dimulai di Thailand, minggu ke empat bulan April 1997, nilai rupiah terhadap dolar AS mengalami tekanan. Dari sekitar Rp.2,500 per dolar AS per Agustus 1998, turun tajam menjadi Rp.16,000 di awal Oktober 1998.
Menurutnya, saat itu, ada 36 bank swasta tutup, cadangan devisa mengalami tekanan, peminjaman ke IMF sebesar US$ 43 M, dilakukan.
Data Ekonomi tahun 1998 menunjukan, Ekonomi tumbuh negatif 14 %, inflasi 80 %, Pak Harto “lengser”, 21 Oktober 1998. Padahal per akhir Agustus 1998, Indikator Ekonomi Indonesia bagus: inflasi terkendali, kinerja ekspor baik, cadangan devisa aman, ratio hutang luar negeri pemerintah terhadap PDB aman, demikian juga kemampuan membayar hutang negeri DSR (Debt Service Ratio) juga aman. Tetapi “public trust” terhadap kepemimpinan Pak Harto turun tajam.
Kilas Balik Krisis Ekonomi tahun 1996.
Merujuk disertasi Ali Wardhana di University of Califonia Berkley, Ekonomi tahun 1965 – 1966 disebutnya sebagai ekonomi perang, war economy. Sumber daya negara difokuskan untuk berperang melawan Malaysia.
Terjadi pencetakan uang dalam jumlah besar, terjadi inflasi, karena penambahan permintaan akibat pencetakan uang tidak diikuti oleh tambahan pasokan barang. Terjadi inflasi tinggi, 600 persen di tahun 1965, 650 persen di tahun 1966. Terjadi antrean kebutuhan pokok, terutama minyak tanah di mana-mana. Sejarah mencatat, melalui Tap MPRS No.33/MPRS bulan Januari 1967, Presiden Soekarno diberhentikan dari kekuasaannya.
Jurnalis : Nyoman Sutiawan