Kupas Tuntas Tiga Tatanan Wilayah Rohani Bali di Pameran “Situs & Ritus Tatanan Peradaban Bali Tua”
Foto: Pembina Yayasan BPJ Komang Gde Subudi bersama narasumber dan mahasiwa usai Kelas Budaya dalam rangkaian pameran “Situs dan Ritus Tatanan Peradaban Bali” bertempat di Denpasar Art Space DAS, Jl. Surapati No. 7, Denpasar.
Denpasar (Metrobali.com)-
Pameran “Situs dan Ritus Tatanan Peradaban Bali” yang digelar di Denpasar Art Space DAS, Jl. Surapati No. 7, Denpasar dari tanggal 25 April hingga 9 Mei 2019 dapat memberikan berbagai khasanah pengetahuan dan perspektif baru dalam memperkuat jati diri kita sebagai orang Bali.
Dalam pameran yang digelar Yayasan Bakti Pertiwi Jati (BPJ) ini salah satu Kelas Budaya bertajuk “Tatanan Rohani Bali” yang digelar Sabtu (27/4/2019) juga mengupas tuntas konsep tiga wilayah rohani yang menjadi dasar pemujaan di Bali. Sejumlah narasumber yang hadir seperti Jro Mangku Sara, Kadek Wahyudita, Nyoman “Sengap” Ardika, dan lainnya.
Kelas Budaya ini juga memberikan pemahaman yang komprehensif yang menjadi pegangan di tengah kurangnya pemahaman akan tiga wilayah rohani Bali. Akibatnya begitu gampang terjadi perubahan tatanan pelinggih-pelinggih di pura, mengganti nama pura, atau meniadakan ritus yang seharusnya dilakukan.
Salah seorang narasumber, Jro Mangku Sara menerangkan Surya Candra, Lintang Tranggana (Matahari, Bulan, dan Bintang) adalah konsep tiga wilayah rohani dari tiga gunung yang dipuja di Bali. yaitu Batukaru sebagai pemujaan Surya (Maha Awidya), Gunung Agung sebagai pemujaan Candra (Maha Agung), dan Gunung Batur sebagai pemujaan Lintang Tranggana (Maha Rata).
Tiga wilayah rohani ini menjadi landasan uger- uger ,sepat siki siku dan patitis yg disebut Trigana yaitu Agama, Adigama dan Siwagama. Tiga gunung tersebut sejatinya merupakan spirit pemujaan masyarakat Bali.
Dalam lontar Silakrama Sesana disebutkan “Kalingakna trya Gunung,banguriping sarat kabeh, tri, nga, tiga, Gunung, nga, Sang Singgih Luwih, karaning sang gunung tiga, maka panyiwian Wong mrecapada kabeh, Iwirnia Tri Gunung; Bujangga Brahmana,Prabu, Patih, Ika maka panyiwian baktining wong sanagara”.
Pembina Yayasan Bakti Pertiwi Jati (BPJ), Komang Gde Subudi menambahkan dalam penguraian dari tiga wilayah rohani tersebut terbentuklah dua lembaga yang mempunyai otoritas rohani yaitu Keprabon (Puri) dan Brahmana Bujangga (Griya) yang menciptakan serta mempola desa dan gumi.
Konsep pemujaan Kahyangan Cungkub dan Dalem adalah sebagai Ulun Desa,nUlun Seme, Ulun Alas, Ulun Jurang dan Pangkung. Sang Bujangga juga berkewenangan Anyuksamaning Pati, yaitu Karang Seme (kuburan) sebagai tempat dari sebuah proses pengembalian unsur tubuh dan roh manusia kembali ke asalnya.
Sedangkan Sang Prabu berkewajiban membangun Prakertaning Jagat dan juga sebagai Tedung Jagat (Anyakrawerti) yang mengelola sistem pekraman sebagai pengayom dan pengelolaan tatanan masyarakat agar menjadi makmur dan sejahtera.
Lebih jauh dijelaskan, dari konsep Surya Candra Lintang Tranggana ini kemudian menjadi dasar adanya Kahyangan Tiga, yakni Kahyangan Dalem, Kahyangan Puseh, dan Kahyangan Desa.
Konsep Tiga Tatanan Wilayah Rohani Bali Kerap Disalahtafsirkan
Jro Mangku Sara mengungkapkan, saat ini terjadi penyeragaman dimana setiap desa pakraman disyaratkan harus memiliki Pura Puseh, Pura Desa, dan Pura Dalem. Padahal Dalem, Puseh, Desa itu sebenarnya bukanlah nama pura, melainkan adalah fungsi pura.
“Antara pura yang satu dengan yang lainnya sebenarnya tidak memiliki kesamaan, namun sekarang terjadi penyeragaman. Untuk itu, perlu dikenalkan kembali tatanan rohani Bali khususnya kepada generasi muda Bali yang akan mewarisi situs dan ritus dari pura-pura tersebut,” ucapnya.
Narasumber lainnya, Kadek Wahyudita menambahkan, karena kurangnya pemahaman akan tiga wilayah rohani Bali, maka saat ini begitu gampang terjadi perubahan tatanan pelinggih-pelinggih di pura, mengganti nama pura, atau meniadakan ritus yang seharusnya dilakukan.
Akibatnya banyak terjadi ketidakselaran antara nama pura, isi di dalamnya, dan cara pemujaannya. “Jika dasar spirit pemujaan tersebut dipahami dengan baik, maka tidak akan terjadi pembongkaran situs pura kuno dengan dalih perbaikan,” katanya.
Sebaliknya, masyarakat akan melakukan pemugaran dengan mempertahankan keaslian bentuk dan bahan bangunannya atau restorasi. Proses pemugaran yang demikian sebetulnya sudah dikenal di Bali dengan istilah “ngayum” yang berarti memperbaiki yang rusak saja.
Kelas budaya yang disajikan dalam bentuk diskusi ini berlangsung hangat, dan para peserta pun cukup antusias. Seorang mahasiswa Universitas Hindu Indonesia (Unhi) mengaku sangat jarang melihat pelinggih atau pura seperti dalam foto-foto yang dipamerkan.
Ia juga mengaku tidak pernah mendapat pemahaman tentang fungsi atau makna dari pelinggih-pelinggih yang ada dengan berbagai jenis bentuk dan ornamennya.
Sementara itu, WakiI Rektor III Unhi, Dr. Ir. I Wayan Muka, ST, MT mengapresiasi atas berbagai rangkaian kegiatan pameran yang digelar Yayasan BPJ ini.
Menurutnya, melalui kegiatan seperti ini sangat bagus untuk mengajak generasi muda mendalami warisan Ieluhur Bali, mengikis pemahaman “mula keto” sehingga situs dan ritus yang ada tetap lestari. (wid)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.