SETELAH sepuluh hari lalu, umat Hindu merayakan Hari Raya Galungan sebagai simbolik kemenangan dharma (kebenaran) melawan adharma (kebatilan). Kini, pada, Sabtu (8/9) hari ini, umat Hindu merayakan Hari Raya Kuningan sebagai simbolik hidup harmonis dan dinamis. Artinya, setelah merenung dan mengasah pikiran pada saat merayakan kesucian Galungan, kini saatnya melangkah untuk menata kehidupan dengan masa depan yang lebih baik, harmonis dan dinamis.

Makanya, pada rangkaian ritual dari perayaan Kuningan beragam sarana upacara (banten) berisikan unsur tamiang dan endongan. Ini sebagai ciri khas ataupun identitas dari perayaan keagamaan Kuningan. Di mana umat Hindu diajak untuk membentengi diri dengan pikiran yang suci dan tenang untuk menjaga alam beserta isinya. Demi upaya penguatan ruh dan taksu Bali secara mendunia menuju kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera.

Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, mengatakan bahwa simbol tamiang dan endongan merupakan perlambang kekuatan pelindung dalam mengarungi kehidupan ini. Tamiang sebagai alat penangkis senjata sebagai lambang pelindung dan juga senjata dari Dewata Nawa Sanga (sembilan arah mata angin).

Selain itu, juga sebagai lambang perputaran roda kehidupan, cakraning panggilingan untuk mengingatkan pada hukum alam. Artinya, jika masyarakat tidak mampu menyesuaikan diri dengan alam, atau taat dengan hukum alam sudah pasti akan tergilas roda kehidupan, bahaya berupaya bencana alam dan kerusakan alam. Biasanya, tamiang dipasang di pojok rumah dan di pelinggih. Sedangkan, endongan sebagai simbolik alat atau wadah untuk menempatkan perbekalan. Jadi tamiang sebagai alat perlindungan dan endongan sebagai perbekalan.

Pada dasarnya, bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan ini adalah ilmu pengetahuan dan bhakti (jnana). Sedangkan, senjata yang paling ampuh adalah ketenangan pikiran. Karena dengan ketenangan pikiran tidak akan dapat dikalahkan oleh senjata apapun. Ikang manah pinaka witing indra yang berarti pikiran itu sumber dari indria. “Ini artinya, senjata pikiranlah yang paling ampuh dan utama dalam menghadapi berbagai persoalan dalam kehidupan globalisasi kekinian yang serba teknologi canggih,” ujarnya.

Menurutnya, selain tamian dan endongan, sarana upacara ritual saat Kuningan juga dilengkapi dengan sampian gantung, yang memiliki penolak bala. Biasanya, sampian gantung ditempatkan di samping pintu, dan sebilang bucu (setiap sudut) bangunan pelinggih. Artinya, dengan berbekal senjata ilmu pengetahuan masyarakat dituntut mampu memanfaatkan pikirannya untuk menjaga diri dan alam lingkungannya secara sinergi. Demi menjaga keutuhan tata nilai adiluhung ruh dan taksu Bali yang sarat dengan filsafat ajaran Hindu yang universal dan telah terealisasi dalam kehidupan seni budaya Bali secara mendunia.

Dosen Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar ini menegaskan bahwa saat Kuningan diyakini perayaan turunnya Batara-Batari dari kahyangan, dan kemudian kembali lagi ke alamnya. Maka itulah, umat Hindu biasanya berupaya menghaturkan upacara sedini mungkin (pagi hari) pada saat Kuningan. Karena, diyakini pada siang hari Batara-Batari telah kembali ke alamnya, kahyangan.

Dikatakannya, pada saat perayaan Kuningan umat Hindu berdoa untuk memeroleh keselamatan dan diberikan kemampuan untuk melindungi diri dan alam semesta agar terhindar dari hal-hal yang bersifat membahayakan. Dalam konteks ini, masyarkat dituntut untuk menjaga hati dan pikiran secara harmonis dan dinamis untuk menata Bali menuju kehidupan yang lebih menyejahterakan dalam kedamaian dan demokrasi yang berkeadilan. Intinya, masyarakat harus mampu mawas diri dan proaktif dalam mencermati setiap gejolak perubahan dari peradaban budaya global sehingga tidak mudah tergerus dan kehilangan jati diri sebagai orang Bali yang religius spiritualis dalam kemajemukan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Lebih jauh, Sudiana menegaskan hendaknya perayaan Kuningan tidak sebatas serimonial dalam bentuk ritual upacara (banten) semata, tapi lebih pada penyadaran diri untuk menjadi pribadi yang unggul, mandiri dan kreatif serta memiliki jiwa kepemimpinan yang mengayomi kepentingan khalayak publik dan rela berkorban dalam membela kebenaran. Makanya, masyarakat harus membekali diri dengan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari dunia pendidikan, agar memiliki kecerdasan pikiran dalam menjaga diri dan alam semesta demi taksu Bali.

Diakuinya, yang paling utama adalah para elite politik penguasa pemangku kebijakan (pemimpin) Bali di segala sektor kehidupan dituntut mampu menunjukkan dedikasi dan loyalitas serta komitmennya dalam mengayomi kepentingan khalayak publik, masyarakat luas secara konkret dan berkelanjutan. Artinya, mampu menjaga ketahanan dan keutuhan tata nilai adiluhung ruh dan taksu Bali secara holistik dan komprehensif. “Jangan hanya hangat-hangat tahi ayam, ketika ada masalah baru sibuk berbuat dan mencari simpatik,” sentilnya.

Masyarakat dan pemerintah harus mampu menata kehidupan yang harmonis dan dinamis sesuai dengan tujuan ajaran Hindu, yang berpegang teguh pada ajaran wiweka untuk menuju pemikiran yang waskita. Wiweka artinya masyarakat dituntut harus mampu membedakan antara baik dan buruk, sedangkan waskita artinya harus mampu mengetahui atau meramal segala sesuatu yang akan terjadi.

Jangan mudah terprovokasi oleh hal-hal yang dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai ke-Indonesia-an berdasarkan UUD’45 dan Pancasila yang Berbhinneka Tunggal Ika. Kemajemukan dalam kebersamaan yang damai, dinamis dan harmonis serta menyejahterakan dengan keagungan kebudayaan bangsa berbasis kearifan budaya lokal Bali. “Mari kita tingkatkan sradha dan bhakti demi taksu Bali secara mendunia,” ajaknya, sembari mengucapkan selamat Hari Raya Kuningan bagi umat Hindu.(nyoman wija)