Denpasar, (Metrobali.com)

Rencana pembatalan debat Cawapres oleh KPU mengundang reaksi rakyat Indonesia. Tentu rencana Pembatalan Debat Cawapres, dibuat dalam bentuk parodi politik dinasti dan terkesan direkayasa aturan

Hal itu dikatakan I Gde Sudibya, aktivis demokrasi, pengamat ekonomi politik, Sabtu 2 Desember 2023 menanggapi Rencana pembatalan debat Cawapres oleh KPU.

Beberapa Catatan Kritis Reflektif terhadap rencana tersebut.

Dikatakan, dari hasil gerakan reformasi (25 tahun lalu), Kita sepakat membangun demokrasi berbasis konstitusi, dengan melahirkan lembaga KPU yang independen, bebas dari intervensi politik partisan, untuk lahirnya pemilu JURDIL.

” Dengan keputusan KPU membatalkan rencana debat Cawapres, publik memperoleh kesan KPU telah diintervensi dan atau “menyerahkan” diri untuk diintervensi, diduga untuk menguntungkan posisi Cawapres Gibran,” katanya.

Menurutnya, timbul pertanyaan reflektif: begitu berambisi maju menjadi Cawapres, tetapi kesannya tidak punya cukup percaya diri dalam mengadu gagasan, program dan strategi dalam berbagai isu dengan pesaingnya.

“Timbul kesan, bak kata pepatah “lebih besar pasak dari tiang”, ambisi besar, tetapi keberanian diri sekadar adu gagasan di depan publik saja, kesannya takut. Sudah tentu memprihatinkan,” kata Gde Sudibya.

Dikatakan, dalam sebuah proses demokrasi yang diharapkan semakin berkualitas, debat publik dalam adu gagasan, program, kecerdasan dalam merespons isu, semestinya merupakan kesempatan emas untuk mempertontokan ke publik, kepiawaiannya dalam berpolitik, dalam konteks kampanye sebagai wahana pembelajaran politik dalam sebuah negara bangsa.

” Tamsilnya, rakyat pemilih “tidak ingin membeli kucing dalam karung”, konsekuensi logisnya dan dituntut oleh proses demokrasi yang sehat, tampil percaya di publik secara genuin, dengan kelebihan dan kekurangan yang ada. Bukankah kejujuran diri yang genuin di hadapan bisa melahirkan simpati publik?,” tanyanya.

Menurutnya, Negeri ini adalah negara besar dengan harapan besar, demikian pula dengan persoalan mendasar yang juga tidak kalah besarnya, sehingga memerlukan pemimpin yang berjiwa besar (greatness) tidak saja kecerdasan dalam mengelola isu publik,ketrampilan dalam mengelola krisis, amanah dalam menjalankan amanat konstitusi, dan juga cukup rendah hati mengakui keterbatan dan kekurangan yang ada.

“Bukankah sikap kerendahatian adalah modal dasar untuk memperbaiki kualitas diri, dalam konteks pembelajaran secara sosial?,” kata IGde Sudibya, aktivis demokrasi, pengamat ekonomi politik. (Adi Putra)