ilustrasi air

Jakarta (Metrobali.com)-

Krisis pengelolaan air yang terjadi di Indonesia terbagi atas dua macam yang masing-masing terjadi pada musim kemarau dan musim penghujan sehingga dibutuhkan pengelolaan yang memadai guna mengatasinya.

“Ada dua krisis pengelolaan air yaitu saat musim kemarau kekurangan air dan saat musim hujan terjadi banjir,” kata Plt Dirjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Mudjiadi dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (25/3).

Untuk itu, ujar dia, penting agar pengelolaan air dapat dilakukan dengan baik hingga sepanjang tahun terutama mengingat jumlah air di Indonesia merupakan urutan kelima di dunia.

Mudjiadi juga mengutarakan harapannya agar pembangunan pengelolaan air tidak dilakukan untuk kepentingan sesaat tetapi berkelanjutan dan bisa digunakan pada masa datang.

“Seperti membangun di daerah tangkapan air, itu hanya membantu sesaat tapi ke depan menjadi masalah. Jadi, ke depan yang dilakukan adalah ‘integrated water resource management’ (pengelolaan sumber daya air terpadu),” katanya.

Ia memaparkan, langkah-langkah untuk itu dapat dimulai dengan penataan tata ruang seperti daerah konservasi haus sesuai fungsi awalnya.

Menurut dia, pihaknya juga meminta masukan dari seluruh lapisan masyarakat terkait pengelolaan air, yang berguna untuk menyusun rancangan undang-undang baru yang dapat digunakan untuk menggantikan UU Sumber Daya Air yang telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebagaimana diwartakan, pengelolaan sistem penyediaan air yang selama ini berjalan di Indonesia sempat geger karena MK menghapus Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

Putusan MK menyatakan bahwa UU No. 7/2004 bertentangan dengan UUD 1945, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan diberlakukannya kembali UU No. 11/1974 tentang Pengairan.

MK dalam putusannya yang progresif tersebut menyatakan UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air dalam pelaksanaannya belum menjamin terwujudnya amanat konstitusi tentang hak penguasaan negara atas air.

Padahal seharusnya, tegas MK, negara secara tegas melakukan kebijakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan.

Selain itu, UU Sumber Daya Air yang dihapus tersebut dinilai MK juga belum memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air, yaitu antara lain pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, menyampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air.

Prinsip dasar lainnya adalah negara harus memenuhi hak rakyat atas air, kelestarian lingkungan hidup, pengawasan dan pengendalian oleh negara sifatnya mutlak, prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN atau BUMD, serta pemberian izin kepada usaha swasta harus dengan syarat-syarat tertentu. AN-MB