Krisis Ekonomi Telah Terjadi, Diperlukan Kepemimpinan dengan Hati
Denpasar, (Metrobali.com)
Krisis ekonomi telah terjadi, daya beli masyarakat bawah turun tajam, PHK puluhan ribu orang, jutaan kelas menengah “tersungkur” menjadi kelompok masyarakat yang rentan miskin, PHK besar-besaran di depan mata.
Hal itu dikatakan Jro Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi dan kebudayaan, Jumat 28 Maret 2025 menanggapi krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia.
Dikatakan, selain PHK besar-besaran, tekanan fiskal negara begitu berat, defisit yang terus membesar, dan pembayaran hutang luar negeri yang membesar, akibat merosotnya nilai rupiah terhadap dolar AS.
“Indikator ekonomi “setali tiga uang”: nilai rupiah terus merosot, melewati ambang batas psikologis Rp.16,500 per 1 dolar AS, IHSG turun, sedangkan pasar Bursa Asia stabil dan cendrung menguat,” katanya.
Di sisi lain, lanjutnya, suhu politik terus menaik, akibat penolakan massif mahasiswa terhadap Revisi UU TNI. Ketidakpuasan publik terhadap revisi: UU Minerba, UU BUMN yang melahirkan Danantara.
“Ada risiko terjadinya titik silang, titik “ledak” krisis ekonomi dan politik yang bisa merubah perjalanan sejarah bangsa, jika menyimak pengalaman sejarah tahun 1998 dan 1966,” katanya.
Mengatasi hal ini, lanjut Jro Gde Sudibya diperlukan kepemimpinan dengan hati dengan mengelola krisis.
“Kepemimpinan dengan hati, yakni berempati pada kepentingan rakyat. Bisa merasakan derita rakyat, bukan mencari pembenaran terhadap kebijakan yang melukai hati publik, sebatas permainan pat gulipat dari kepentingan elite,” kata Jro Gde Sudibya.
Dikatakan, pemimpin mestinya punya “sense of crisis”. Jutaan orang tidak bisa mudik di Hari Raya Lebaran, karena menurunnya daya beli mereka. Tetapi tidak ada program penyelamatan ekonomi jangka pendek. Tetap berkutat dengan pencitraan, dan tidak lagi mengenal malu untuk terus mempertebal “kantong”sendiri, “aji mumpung”.
Menurutnya, di menjelang HR yang akan berlangsung, Hari Nyepi dan Idul Fitri, dipergunakan sebagai momentum memperbaiki kualitas diri: integritas, empati, dedikasi, bukan sebaliknya, perayaan hari raya sebagai sesuatu yang rutin, tidak memperbaiki kualitas pengelolaan kekuasaan yang punya kecenderungan salah guna, “power tend to corrupt”.
Jurnalis : Nyoman Sutiawan