Oleh : I Gde Sudibya
Data yang dipublikasikan BPS, kinerja ekonomi Indonesia tahun 2020 yang baru saja berlalu, tumbuh negatif 2,07 persen. Sedangkan Bali mengalami pertumbuhsn negatif 9,31 persen. DKI Jaya dan DI Yogyakarta, yang perekonomiannya mirip Bali, tergantung pada industri jasa, masing-masing tumbuh negatif 2,36 persen dan 2,69 persen.
Berdasarkan publikasi oleh CNBC yang beredar di sosial media, pertumbuhan ekonomi triwulan ke tiga 2020, yang diperhitungkan secara tahunan, di tiga provinsi di atas, ketiganya mengalami pertumbuhan negatif sebagai berikut. Bali 12,28 persen, DKI Jaya 3,82 persen dan DI Yogyakarta 2,84 persen.
Bali mengalami kontraksi atau penciutan ekonomi terbesar. Rasa keterkejutan dan kekagetan semestinya sudah berlalu, hampir dari satu tahun.Tantangannya, bagaimana memberikan jawaban, respons terhadap keterpurukan ekonomi dari sisi: ekonomi, kesiapan mental psikologis dan perlunya pemimpin dengan karakter kuat, pemberi solusi.
Jawaban dari perspektif ekonomi
Dari perspektif kebijakan makro ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi Bali, dari sisi pengeluaran ditentukan oleh: belanja masyarakat, investasi swasta, belanja modal pemerintah dan ekspor netto ( untuk di Bali, kedatangan para turis dengan pengeluarannya ), yang menjadi pengungkit utama pertumbuhan ekonomi selama ini. Dari kedatangan para turis dan investasi swasta, selama wabah masih berlangsung tidak bisa diharapkan.
Harapan tergantung penuh pada: belanja modal pemerintah dan pengeluaran masyarakat. Belanja modal pemerintah yang lebih fokus ke kebijakan penyelamatan sosial masyarakat, social safety net, aneka bantuan tunai dan sejenisnya, berbasis data yang lebih akurat, tidak dikorupsi, dan tidak dijadikan instrumen politik dalam konteks menciptakan kepopuleran ( populair votes ).
Kebijakan dan langkah awal dari Menteri Sosial yang baru Ibu Risma sangat pantas ditiru. Kebijakan yang memperyaratkan empati sosial tinggi, sense of crisis, pada masyarakat yang penghasilannya merosot tajam, sebagian kehilangan pekerjaan dan usahanya di ambang kebangkutan.
Dari belanja masyarakat yang sumbangan terbesar dalam pembentukan pendapatan masyarakat, baca pertumbuhan ekonomi Bali, pada perkiraan pusaran 55 persen – 60 persen, dan bahkan bisa lebih, tantangannya di sini adalah: peningkatan daya beli masyarakat terutama di sektor non industri pariwisata.
Daya beli para petani, yang dalam jangka pendek dapat dilakukan dengan membenahi pengaturan kembali distribusi, pengawasan harga, yang jika efektif dilakukan bisa memperbaiki harga komoditas pertanian di tingkat petani. Pada sejumlah komoditas: beras, kelapa, coklat, cengkeh, vanili dan aneka rupa produk holtikultura. Kebijakan ini, sangat menuntut empati kepada masyarakat petani, untuk mampu keluar dari kebijakan rutin, monoton, nir trobosan dan tidak memihak petani.
Pada sisinya yang lain, agenda penyelamatan ekonomi Bali, juga mencakup penyelamatan usaha dari risiko kebangkrutan. Kebijakan dana talangan yang dijanjikan pemerintah, harus diperjuangkan secara keras oleh elite lokal Bali. Karena pemerintah pusat sanggup menanggungnya, para pengambil kebijakan Otoritas Moneter: Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan Ketua OJK , punya kapisitas dan pengalaman untuk itu.
Dari perpektif mental psikoligis
Bagi sebagian masyarakat yang sudah terlalu nyaman, cendrung dinina-bobokkan oleh kenikmatan dan kenyamanan ekonomi yang dibawakan industri pariwisata, dalam beberapa dasa terakhir, nikmat di zona nyaman ( comfort zone ), paceklik pariwisata ini seperti mimpi di siang bolong yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Membawa tekanan mental psikologis yang luar biasa berat, terutama bagi mereka yang tidak terlatih dalam mengelola risiko kehidupan, dan menggunakan tolok ukur ekonomi pada tempatnya yang tinggi. Rentan menjadi stres, stres berkepanjangan dan bahkan risiko mengalami depresi, dengan seluruh konsekuensi yang dibawakannya. Pandemi nyaris berlangsung satu tahun, waktu yang semestinya cukup untuk mengakui secara psikologis realitas tekanan berat ekonomi, dan mengambil ancang-ancang adaptasi untuk merespons perubahan.
Perlunya sikap hidup untuk besar hati menerima ” hukum besi ” perubahan, perubahan yang merupakan keniscayaan kehidupan, betapun pahitnya perubahan
yang dimaksud. Para pengawi di Bali, umumnya mendidik putra-putra mereka, antara lain melalui nasehat Rsi Naradha ( simbolik Tuhan Wisnu ) kepada Panca Pandawa setelah Abimanyu gugur:”Suka muang duka awasya wates iki, Lawan Pati Urip ” .
Suka dan duka datang silih berganti dalam kehidupan, suka dan duka ini ada batasnya. Jangankan suka-duka, kelahiran dan kematianpun akan datang. Nasehat tetua Bali ini, merujuk bagian dari Asta Dasa Parwa,.pantas direnungi, dijadikan batu penjuru untuk kembali bangkit di era baru, yang sangat berbeda dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
Kepemimpinan kuat, pembawa solusi
Menyimak tulisan sejarahwan ternama Yuval Noah Harari dalam bukunya HOMODEUS, perjalanan sejarah manusia secara periodik ditandai oleh catan ” merah ” peristiwa besar: kelaparan, wabah atau pandemi dan perang, yang berdampak besar terhadap kehidupan masyarakat
negara bangsa setelah ketiga peristiwa ydm. berlalu.
Pada sisinya yang lain, terjadinya pandemi Covid-19 yang sedang berlangsung di seluruh dunia, jumlah orang terpapar di atas 100 juta orang, dengan korban meninggal beberapa juta orang, ternyata tidak ada pemimpin, pengambil kebijakan publik yang relatif siap dengan risiko besar pandemi ini. Catatan sejarah sering membuktikan, masyarakat, negara bangsa yang dihadapkan pada krisis,sangat memerlukan pemimpin yang berani melangkah dan berani menanggung risiko dari keputusan yang diambil, bukan mereka yang maunya bermain aman ( play it safe ).
Sehingga kebijakannya dalam kosa kata bahasa Bali: gabeng dan saru gremeng. Peminpin yang punya empati besar buat rakyatnya, memegang teguh dharma dan swadharmanya, pemegang amanah publik, bukan orang yang hanya melakukan politik sempit, politicking, untuk kepentingan
kelompoknya. Pemimpin yang siap menderita, merujuk ” nasehat ” putra Minang Haji Agus Salim, salah seorang pendiri republik negeri ini.
Catatan : I Gde Sudibya, ekonom, konsultan ekonomi Bali, pengamat ekonomi dan kebijakan publik.