Rice

Jakarta (Metrobali.com)-

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan di Jakarta bahwa kenaikan harga beras yang terjadi beberapa bulan belakangan tidak ada kaitannya dengan ulah kartel atau mafia beras.

“Pedagang besar dan pengusaha penggilingan memang berpotensi menjadi spekulan. Namun, tidak bisa dikatakan kartel, karena tidak ada sifat-sifat yang seperti itu,” kata Komisioner KPPU Syarkawi Rauf, Senin (2/3).

Dia berpendapat pihak-pihak tersebut bisa disebut sebagai kartel apabila mereka memang terbukti melakukan koordinasi atau persekongkolan untuk menentukan produksi, harga, dan wilayah penjualan beras.

Namun, hal tersebut belum bisa dibuktikan karena dalam kondisi saat ini, kenaikan harga beras di tiap wilayah berbeda, ungkapnya.

“Kecenderungan sifat-sifat kartel di situasi ini tidak ada, karena kenaikan harga di tiap wilayah berbeda. Di Jakarta 30 persen, Jawa Barat 10 persen. Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi lebih rendah,” tukas Syarkawi.

Dengan struktur jalur suplai beras yang oligopolis, pedagang besar dan pengusaha penggilingan memang berpotensi menjadi kartel, namun ia enggan menilai hal tersebut lebih jauh.

Di antara jalur suplai beras, pedagang besar dan pengusaha penggilingan dilakukan oleh sedikit orang, jauh lebih kecil daripada petani, pengepul, dan pengusaha grosir atau eceran.

“Dari data pedagang besar dan pengusaha penggilingan yang kami himpun dari 2007, di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan ada empat, Sumatera Utara ada tujuh, di Jawa Timur dan Lampung juga ada beberapa,” ungkapnya.

Oleh karenanya, ia menilai bahwa jika memang terjadi spekulasi pada harga beras maka hal tersebut bersifat lokal dan tidak bisa disebut sebagai jaringan kartel.

“Jika spekulasi hanya dilakukan individual tidak bisa disebut kartel. Ini hanya sebuah respon ekonomi yang dilakukan masing2 pelaku usaha terhadap kecenderungan yg ada di pasar,” ujarnya, menegaskan. AN-MB