kpk 1

Jakarta (Metrobali.com)-

Pelaksana tugas (plt) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiqurrachman Ruki menyambut baik penolakan Presiden Joko Widodo terkait revisi UU No 30 tahun 2002 tentang KPK.

“Suka sekali saya, jadi saya tidak perlu memikirkan hal-hal lain, Alhamdulillah,” kata Ruki di Gedung KPK Jakarta, Jumat (19/6).

Menurut Ruki, keputusan Presiden Jokowi itu diambil dalam rapat terbatas hari Jumat bersama dengan sejumlah menteri, Ketua KPK, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Kapolri, dan Jaksa Agung.

“Yang paling penting buat saya cuma satu, yaitu Presiden atas nama pemerintah dengan tegas menyatakan menolak revisi UU KPK, menolak dengan tegas revisi UU KPK ini,” ungkap Ruki.

Menurut Ruki, alasan Presiden Jokowi menolak revisi UU KPK adalah karena menurut Presiden tidak ada hal yang perlu diganti dari Undang-undang itu.

“Tidak ada yang perlu diubah, tidak ada yang perlu diganti-ganti, dari pada bikin persoalan? Biarkan saja usul biarkan usul tapi kan pembahasan dengan pemerintah, kami pemerintah tidak bersedia mengubah itu,” tambah Ruki menirukan pernyataan Presiden Jokowi.

Ruki juga mengungkapkan penolakan itu bukan atas permintaan KPK dan dirinya.

“Enggak minta saya, memang inisiatif Presiden. Presiden punya komitmen tentang yang satu ini,” jelas Ruki.

Sedangkan terkait keinginan KPK untuk menegaskan status penyelidik dan penyidik KPK yang diatur dalam UU itu, menurut Ruki harus dilakukan setelah harmonisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan UU No 6 tahun 2007 tentang ratifikasi atas United Nation Convention Agains Corruption (UNCAC) atau Konvensi PBB Antikorupsi.

“Menunggu sinkronisasi dan harmonisasi dari KUHP, KUHAP, dan UNCAC yaitu UU 6 tahun 2007 supaya jangan tersebar dulu di mana-mana materinya ya itu yang paling penting. Kalau belum ya jangan dulu, ngapain?” tegas Ruki.

Pada Selasa (16/6), dalam rapat Badan Legislasi DPR, Menteri Hukum Yasonna Hamonangn Laoly menyatakan revisi UU KPK masuk Proyeksi Legislasi Nasional (Proglegnas) 2015 sebagai inisiatif DPR karena perlu dilakukan peninjauan terhadap beberapa ketentuan dalam upaya membangun negara yang bersih dan penguatan terhadap lembaga terkait dengan penyelesaian kasus korupsi yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK.

Peninjauan itu terkait (1) kewenangan penyadapan agar tidak menimbulkan pelanggaran HAM yaitu hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang telah diproses “pro-justisia”, (2) peninjauan terkait kewenangan penuntutan yang perlu disinergikan dengan kewenangan Kejaksaan Agung, (3) terkait perlu dibentuknya Dewan Pengawas, (4) pengaturan terkait pelaksanaan tugas pimpinan jika berhalangan dan (5) penguatan terhadap pengaturan kolektif kolegial.

Ruki sendiri mengusulkan agar ada (1) pemberian kewenangan KPK untuk mengangkat penyidik sendiri, di luar penyidik  dari Polri dan Kejaksaan, (2) peningkatan peran, fungsi, status dan struktur penasihat KPK, menjadi Komite Pengawas KPK yang bertugas mengawasi pelasanaan tugas KPK, menasihati dan memberi saran kepada Pimpinan KPK dan (3) pemberian izin penghentian penyidikan dengan seizin penasihat KPK, dan (4) memeriksa pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pimpinan KPK. AN-MB