CR_I_Nengah_Muliarta-2

Denpasar (Metrobali.com)-
Komisioner Bidang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali, I Nengah Muliarta, mengatakan Bali saat ini mengalami krisis sumber daya manusia bidang penyiaran, baik untuk radio maupun televisi.

“Padahal di Bali cukup banyak perguruan tinggi yang memiliki fakultas ilmu sosial dan politik. Salah satu bukti adanya krisis SDM penyiaran di Bali adalah pengakuan dari para pemilik dan pengelola lembaga penyiaran, terutama radio yang kesulitan untuk mendapatkan karyawan,” katanya di Denpasar, Minggu (10/5).

Ia mengatakan pihak pemilik radio mengakui walau mendapat SDM tetapi kemampuannya masih sangat terbatas. Bukti lain yang menjadi indikator bahwa Bali mengalami krisis SDM penyiaran adalah adanya sistem bajak karyawan antara satu lembaga penyiaran dengan lembaga penyiaran lainnya.

“Harus diakui krisis SDM penyiaran ini terjadi, lembaga penyiaran inginnya SDM yang sudah jadi, sudah jago, tetapi yang tersedia terbatas,” kata mantan jurnalis itu.

Muliarta mengatakan akibat krisis SDM penyiaran tidak jarang lembaga penyiaran menerima penyiar yang asal bisa bicara dan terlihat cantik di layar kaca.

Akibatnya lembaga penyiaran tersebut membayar SDM tersebut dengan harga yang sangat rendah. Sebagai contoh, seorang penyiar radio saat bersiaran hanya dihargai dengan honor Rp6.000 hingga Rp15.000 per jam siar.

Sedangkan untuk penyiar televisi terkadang hanya menerima Rp50.000 hingga Rp300.000 untuk sekali siaran.

“Bagaimana mau mendapatkan siaran sehat dan mendidik jika kondisi SDM penyiaran seperti ini,” ucap Muliarta yang juga mantan reporter VOA tersebut.

Menurut Muliarta, krisis SDM penyiaran di Bali bukan hanya dari segi jumlah, tetapi juga dari segi pengetahuan dan kemampuan. Karena masih cukup banyak SDM penyiaran yang tidak mengetahui tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SP).

Padahal, seharusnya seorang pekerja penyiaran setidaknya pernah membaca atau pernah mendapatkan pelatihan terkait P3 dan SPS. Sehingga sering dijumpai program siaran atau tayangan iklan yang tidak sesuai.

Begitu juga terjadi kesalahan dalam penempatan program sesuai dengan jam tayang. Seperti program program pengobatan alternatif atau iklan obat kuat di jam menonton anak. Celakanya lagi, iklan obat kuat dalam program dikemas khusus untuk acara anak-anak.

“Ini bukti bahwa pengetahuan dan kemampuan SDM penyiaran masih rendah,” kata pria asal Besan, Kabupaten Klungkung.

Muliarta mengatakan sudah saatnya upaya peningkatan SDM baik dari segi kualitas dan kuantitas dilakukan. Lembaga penyiaran memiliki tugas penting untuk terus meningkatkan kualitas SDM yang dimiliki, jika masih menganggap SDM adalah sumberdaya yang penting.

Lembaga penyiaran juga harus mulai mewajibkan SDM-nya untuk mengikuti sertifikasi. Jangan sampai sebuah lembaga penyiaran seperti radio mengaku radio berita tetapi beritanya dari membaca berita koran.

“Ini aneh dan lucu, radio sebagai lembaga penyiaran yang mengandalkan kecepatan informasi malah mengambil informasi dari koran, lucunya lagi sumber berita tidak disebutkan. Ini termasuk tindakan plagiat terselubung. Ini bisa dituntut oleh media yang mempunyai berita tersebut,” katanya. AN-MB