Ilustrasi– Kota-Kota Hadapi Peningkatan Suhu Secara Dramatis dan Risiko Banjir Jelang 2050

 Jakarta (Metrobali.com)-

Dalam jangka waktu 30 tahun mendatang, kota-kota akan menghadapi risiko suhu panas, banjir di kawasan pesisir, terputusnya pasokan listrik, dan kelangkaan pangan dan air secara dramatis kecuali emisi yang dapat mengubah iklim diminimalisir, demikian peringatan dari para pakar perkotaan hari Selasa.

Saat ini, contohnya, lebih dari 200 juta orang di 350 kota menghadapi suhu panas yang membara dimana suhu puncak harian rata-rata mencapai 35 derajat Celsius selama tiga bulan dalam setahun, menurut studi yang dirilis oleh C40 Cities, sebuah jaringan kota-kota besar dunia yang berusaha mendorong tindakan untuk meminimalisir dampak perubahan iklim.

Namun menjelang tahun 2050, lebih dari 1,6 miliar orang di 970 kota akan menghadapi semua kondisi ini, demikian perkiraan para peneliti.

Jumlah penduduk yang karena kemiskinan dan menghadapi panas ekstrim – biasanya tidak memiliki pendingin udara – akan meningkat sepuluh kali lipat, ujar mereka.

“Seharusnya ini menjadi penggugah,” ujar Kevin Austin, wakil direktur eksekutif C40 Cities, pada sebuah pertemuan internasional di kota Cape Town di Afrika Selatan dalam rangka beradaptasi pada perubahan iklim.

“Skala orang yang terdampak oleh suhu panas akan jauh lebih besar dibandingkan hari ini apabila kita terus meningkatkan gas-gas rumah kaca pada laju saat ini.”

Namun kota-kota dapat mengambil tindakan langsung dengan meminimilasir risiko-risiko yang ada, disamping berupaya untuk menekan tingkat emisi, ujarnya.

Di Seoul, contohnya, sebuah jalan layang utama yang membelah pusat kota telah dibongkar, sehingga membuka akses kepada sungai dan menurunkan tingkat suhu panas di perkotaan paling tidak setengah derajat Celsius, ujarnya.

Ibukota Korea Selatan juga telah menanam lebih dari 16 juta pohon dan menciptakan tempat-tempat yang memungkinkan mereka yang tidak memiliki penyejuk udara untuk mendapatkan kesejukan.

“Kami ingin mendorong kota-kota untuk mengadopsi solusi-solusi ini dan menerapkannya sesegera mungkin. Dalam skenario terburuk, kami akan perlu untuk melakukannya dengan cepat,” ujar Austin.

Lebih banyak bencana kekeringan, lebih sedikit pasokan air

Penelitian, yang dilakukan oleh Urban Climate Change Research Network, yang berpusat di New York menyimak data dari lebih 2.500 kota dan memperkirakan kondisi yang mungkin apabila emisi terus meningkat pada laju saat ini.

Kelompok itu menemukan pergulatan Cape Town yang terus menerus akibat kelangkaan air akibat bencana kekeringan bisa jadi lebih sering terjadi, dengan lebih dari 650 juta orang yang tinggal di 500 kota – di antaranya Sao Paulo dan Tehran – yang kemungkinan akan mengalami penurunan pasokan air menjelang tahun 2050.

Banyak kota yang mengalami kelangkaan pasokan air telah berusaha untuk menentukan batas maksimum konsumsi air per orang, dengan Los Angeles yang membatasi konsumsi air 200 liter per hari, Melbourne 155 liter, dan Cape Town dengan 50 liter, ujar Austin.

U.S. Geological Survey memperkirakan rata-rata warga Amerika menggunakan 300 liter air per hari.

Berbagi nasihat tentang cara untuk mengurangi penggunaan air – termasuk wawasan yang diperoleh dari Cape Town – yang telah berhasil mengurangi penggunaan air oleh warganya hingga setengahnya dalam menghadapi bencana kekeringan ekstrim – dapat menghemat waktu bagi kota-kota dan membantu mereka membuat perubahan lebih cepat, ujar Austin.

Namun lebih banyak kota “perlu untuk melakukan perubahan dengan cara yang terencana, bukan karena sebagai tanggapan terhadap bencana kekeringan,” tambahnya.

Walikota Cape Town, Patricia de Lille mengatakan berusaha untuk mengatasi krisis saat krisis sudah di depan mata tidak memberikan cukup ruang untuk bermanuver.

“Dalam kondisi krisis seperti ini tidak cukup waktu untuk coba-coba. Sayangnya anda harus mengambil langkah yang tepat di saat pertama kali,” ujarnya dalam konferensi Adaptation Futures di Cape Town.

Risiko pemadaman listrik karena banjir

Studi yang dilakukan oleh C40 Cities juga menemukan bahwa menjelang pertengahan abad ini lebih dari 800 juta orang akan tinggal di 570 kota yang terletak di pesisir dan berisiko mengalami kebanjiran akibat cuaca ekstrim dan meningkatnya permukaan air laut.

Banjir menimbulkan risiko khusus bagi pasokan tenaga listrik ke perkotaan, dengan banyaknya pembangkit tenaga listrik yang berlokasi di daerah-daerah yang rawan banjir – dan segalanya dari transportasi hingga pemanas ruangan dan rumah sakit berisiko apabila pebangkit tenaga listrik di kota-kota dari London hingga Rio de Janeiro kebanjiran, demikian catatan dalam studi itu.

Desentralisasi sistem pembangkit tenaga listrik – termasuk pengadaan energi bersih dari pembangkit listrik berukuran lebih kecil dalam jumlah yang lebih besar – dapat membantu meminimalisir risiko yang ada, ujar para peneliti.

Namun risiko banjir bisa jadi tiba lebih cepat dari yang diperkirakan.

Patrick Child, wakil direktur jendral untuk penelitian dan inovasi pada Komisi Eropa, menyatakan perkiraan meningkatnya permukaan air laut secara global setinggi satu meter, yang sebelumnya diantisipasi akan terjadi menjelang tahun 2100, sekarang diperkirakan akan terjadi menjelang tahun 2070.

Tahun lalu kita telah menyaksikan kerugian ekonomi terbesar yang pernah didokumentasi akibat cuaca buruk dan perubahan iklim di tingkat global, ujarnya.

Para pakar dalam rapat adaptasi juga memprediksikan cuaca ekstrim dapat menyebabkan masalah berganda di kota-kota, dengan banjir, contohnya, yang dapat menimbulkan wabah penyakit hingga tidak berfungsinya jaringan jalan raya, kelangkaan pangan dan ditutupnya sekolah-sekolah.

Dengan hanya memandang pada satu jenis masalah – seperti ancaman risiko kesehatan akibat suhu panas ekstrim, atau meningkatnya permukaan air laut – tidak cukup untuk memahami seluruh risiko yang mungkin timbul, ujar Cynthia Rosenzweig, seorang pakar cuaca di Goddard Institute for Space Studies milik NASA yang juga adalah salah satu penulis dari laporan ini.

“Di kota-kota, semua dampak ini berhubungan antara satu dengan lainnya, dan seluruhnya terjadi pada saat yang sama,” ujarnya.

Solusi yang ditawarkan juga harus berupa pendekatan gabungan, dengan berbagai upaya rekayasa untuk meminimalisir risiko banjir, contohnya, bekerja sama dengan hal-hal seperti perlindungan yang lebih baik terhadap lahan basah yang dapat menyerap banjir, ujar Rosenzweig.

Ia berkata harapannya agar penelitian ini akan membantu para pejabat perkotaan untuk memprioritaskan perubahan apa yang perlu dilakukan terlebih dahulu untuk melindungi waga dengan lebih baik dari berbagai ancaman iklim.

Di kota-kota “acapkali permasalahannya begitu besar, dengan berbagai hal yang harus dilakukan,” ujarnya. [ww]

Editor : Whraspati Radha